Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang dan tak tahu malu.
"Pat-jiu Sin-ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!"
Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sing-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan Pat-sian-kiam !" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang ! Dia tidak mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi !
Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun ! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan terangnya.
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian.
Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek Ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya. Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan.
Sambil mengerahkan tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkkk!"
Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng ! Apa kau kira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kau lakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong."
Jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga karena ternyata Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng. Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat-mo-kun!"
Kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya.
Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak dipakai. Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin-kangnya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
"Pat-jiu Sin-ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!"
Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sing-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan Pat-sian-kiam !" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang ! Dia tidak mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi !
Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun ! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan terangnya.
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian.
Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek Ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya. Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan.
Sambil mengerahkan tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkkk!"
Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng ! Apa kau kira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kau lakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong."
Jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga karena ternyata Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng. Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat-mo-kun!"
Kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya.
Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak dipakai. Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin-kangnya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga, karena ia tidak mengira bahwa serangan pertamanya itu seakan-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan!
Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher!
Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini baginya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali dan benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki, gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak.
Kwee Seng cepat mengerahkan sin-kangnya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari Ketua Beng-kauw. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa jantungnya pecah dan tewas seketika !
Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan) berkata,
"Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kau bantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab.
"Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas.
Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu "tertindih" oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun.
Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan "menggulung" lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong !
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu ! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng ! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itupun belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku ! Apa artinya Pat-sian-kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali !
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala harus tetap dingin!"
Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher!
Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini baginya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali dan benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki, gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak.
Kwee Seng cepat mengerahkan sin-kangnya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari Ketua Beng-kauw. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa jantungnya pecah dan tewas seketika !
Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan) berkata,
"Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kau bantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab.
"Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas.
Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu "tertindih" oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun.
Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan "menggulung" lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong !
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu ! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng ! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itupun belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku ! Apa artinya Pat-sian-kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali !
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala harus tetap dingin!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar