FB

FB


Ads

Minggu, 24 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 112

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.

Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja dan selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.

Akan teteapi, empat orang yang menunggang kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru,

"Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"

Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa "perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar.

Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu. Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! adapun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.

"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."

"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!"

Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.

"Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.

Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat orang ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.

"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapapun juga."

“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.

“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! kami tidak akan membagi pusaka kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau apa?" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.

Swi Nio dan Toan Ki menggerakan senjata dan melawan dengan mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya.






Namun, Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai karena selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi.

Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka.

Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi.

Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.

"Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas.

Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.

"Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.

Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.

"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.

"Benar, belum tentu mereka itu jahat."

"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.

Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung.
"Ada apakah?"

"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."

Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan.

Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga. jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biarpun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mujijat!

"Koko, apa..... apa maksudmu?"

Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu.

"Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok, sedangkan Thian-kok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di tai-hang-san! Kalau murid dari Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"

"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.

"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."

Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka.
"Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?'

"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."

"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"

"Lebih baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."

Demikianlah, dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.

"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.

Kakek itu mengangguk-angguk.
"Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"

"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-min dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga."

Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk.

"Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekalli. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"

"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."

"Ahhh....!"

"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."

"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandain Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar