FB

FB


Ads

Minggu, 24 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 111

Para perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa,

"Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata.......!"

Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit.

Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su.... Suhenggggg.....!"

Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!

"Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah........"

Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.

"Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi....."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!"

Tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit!

Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata,

"Kwa-taihiap, sukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."

Sin Liong tersenyum kepadanya.
"Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."

Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya,

"Akan tetapi.... mereka itu....?"

Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung.
"Tangkap mata-mata musuh!"

"Bunuh pemberontak!"

"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"

Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini.

Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar,

"Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan tepat, demi ketertiban."






Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.

"Kami hendak pergi sekarang!"

Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan.

Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat mereka!

Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temanya pergi jauh, barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!

Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata,

"Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"

"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."

Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sayang.

"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemulian duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”

"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu."

Swat Hong berkata kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.

"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"

"Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."

Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.

"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan dalam guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng? dan selama ini engkau kemana saja?"

Sin Liong tersenyum.
"Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu.

Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.

Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.

"Ahh, Ibunya yang mencelakakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"

"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan teteapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeryoyok para perajurit."

Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!

Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan,
"Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....."

Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.

"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.

"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."

Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak Suhengnya dan kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata,

"Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya....... saya mohon petunjuk......"

Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi.

"Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."

Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipanya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong.

Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata,

"Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."

Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.

Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong!

"Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.

"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.

"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"

"Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Liong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ.

Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!

**** 111 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar