FB

FB


Ads

Senin, 18 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 110

Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para perajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!

"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga datangnya!"

Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban.

Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya.

Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di "hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi, mungkin dia akan terlambat.

Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi, "Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.

Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.

"Haaaaiiiiittttt!!!"

Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.

"Bresss....!!"

Perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan. Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kukra-kura itu.

Sementara itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar ribut-ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.

"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!

Didorongnya dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya.

"Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!"

Gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.

Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih,
"Aduhh....pening kepalaku....."

"Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang menolongmu......" Ahmed mengguncang-guncang dara itu.

Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kau cium ini....." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.

Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis.

“Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.






"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pel hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."

Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.

"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."

"Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari keluar.

"Nanti dulu, Nona."

Swat Hong berhenti.
"Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih kepadamu."

"Bukan itu. kau.... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."

Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri.

"Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku..... dan ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed, nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"

Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,

"Selamat tinggal! Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."

Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata,

" Kau..... setangkai bunga di padang pasir........"

Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang.

Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan.

Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.

Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.

"Nona Han....!"

"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.

Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!

"Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"

"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!"

Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...."

Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata....!!"

Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apalagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beritikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap......!"

"Bunuh.....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun......!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"

Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."

"Kalau begitu, marilah mati bersama!"

Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar