FB

FB


Ads

Kamis, 24 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 054

"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?"

"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"

Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"

"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"

"Keparat!"

"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku minta kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?"

Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk.

"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.

Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.

Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata,

"Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."

Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.

"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.

Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.

"Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."

"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia?"

Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."

"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"

Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang itu.






"Tar.....! Tar....! Tar........!"

Semua orang terbelalak memandang, penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya!

Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja!

Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian.

Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!

Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.

"Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!"

"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu.

"Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa Ayah tak bisa melihat orang.....?"

Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu!

"Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lusan Lojin.....?"

"Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya, menangis.

Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?

"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"

Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus,
"Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe."

"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"

"Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....."

Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.

"Bertemu? Di mana?"

Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata,

"Di lereng Jeng-hoa-san, bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......"

"Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!"

Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong.

Sin Liong tersenyum.
"Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."

"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"

"Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan."

"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarang.....?"

Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.

"Locianpwe magsudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."

"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"

Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.

Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.

"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"

"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."

"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."

"Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."

"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."

"Locianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."

"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?'

Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup.
"Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...."

"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!"

Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar