FB

FB


Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 033

"Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...."

"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm, apa pula artinya ini? Bukan putera ayah?"

"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?"

Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para suhengnya.

"Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tong-pai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya."

Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel.

"Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan membalaskan sakit hati ibu dan Ayah."

Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu mendamping sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam.

Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu diserahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah kosong itu, untuk mencari ibunya, dan kalalu masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin.

Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang kearah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu.

Mereka berdua mendayaung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan ini mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sama sekali dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk.

Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama sekali tetumbuhan atasnya. diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan mejadi kiamat

Melihat keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis?

"Agaknya ibumu tidak berada diantara pulau-pulau ini," Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana."

"Hemm, agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, suheng."

Sian Liong mengerutkan alisnya.
"sumoi, kau...cemburu lagi?"

Wajah dara itu menjadi merah.
"Aku hanya berkata sewajarnya."






"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang.

Hening sejenak dan mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.

"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata.

"Ehhh...??"

"Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku."

"Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."

"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras.

Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras seperti baja.

"Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."

"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada...."

"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."

Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga.
"Baiklah, kita lihat saja nanti."

Dan mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung-gunung es yang amat besar sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es. Mereka mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.

"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.

"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."

Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor biruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depanya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan.

Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata biruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar.

Sin Liong segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali.

Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan beruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.

"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.

"Auuughh..!"

Beruang itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, biruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkram sampai ada tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan saputangannya.

Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja, karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu.

"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati,"

Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.

"Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu," katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.

"Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.

Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong dengan marah.

"Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.

"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus mengobatinya sampai sembuh."

Swat Hong mengerutkan alisnya,
"Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."

"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya, sumoi."

"Wah, kau lebih mementingkan dia..."

"Hei..., ada apa engkau...?"

Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ!

Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakkan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.

"Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?"

Sin Liong memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret oleh beruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan.

Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!

Sin Liong berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul biruang itu.
"Terima kasih, kakak biruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar