FB

FB


Ads

Kamis, 17 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 032

"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? jadi kau... kau tidak cinta kepadaku?"

"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..."

"Ahhh...!!"

Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekagetan hebat, matanya terbelalak memandang kedepan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia.

Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba karena perahu mereka dilontarkan keatas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan.

Sin Liong berteriak,
"Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!" keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu.

Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang pemuda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret kebawah, seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor naga laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba diayun lagi keatas, ditarik ke kanan, didorong kekiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan!

Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya!

Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkram dan menelannya itu!

Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas.

"Brukkk...!"

Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecil-kecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi.

"Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!"

Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah.

Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit.

Batu karang besar, atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyala-nyala,

"Ouhhhh..!"






Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek.

"Tenanglah... tenanglah, Sumoi...."

Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali!

Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri!

Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun, akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk dipuncak batu karang yang amat tinggi!

Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher dan perut!

"Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang.

Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah.

"Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."

Swat Hong duduk didalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuh kegelisahan,
"Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng."

“Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." dia lalu menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung.

Perahu bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini.

Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil disekitar tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air.

Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah pulau keputihan memanjang di kaki langit, berkilauan tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka.

Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunya sudah menempel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak tampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya!

Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu belari-lari ketengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu.

"Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil.

"Mari kita ke istana, Sumoi!"

Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana

Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik prabot-prabotan istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!

"Oughhh...!!"

Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin Liong.

"Sumoi...!"

Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar.

Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun prabotannya. terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala diatas kedua lututnya sambil menangis. terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya.

Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu.

Setelah siuman, Swat Hong menangis,
"Aih, mengapa..? Mengapa...? ayah, kasihan sekali Ayah...!"

Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu terendam air.

Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap.

"Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.

Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu!

"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong."

Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu!

"Suheng lihat ini..."

Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkram dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkram dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatanya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu!

"Kasihan sekali suhu..." Sin Liong menghapus air matanya.

Swat Hong mengepal tinjunya.
"Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka Pulau Es, juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"

Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar