Pouw Kui Lok terkejut mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suhengnya itu lenyap. Dengan penuh khawatir dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok.
Kui Lok mengerahkan tenaganya dan hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.
“Wuuuttt.... crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu memyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.
Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebasan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biarpun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya. Kui Lok terpelanting dan hanya dapat mengeluarkan suara
“Oughhh....?” dan iapun tak sadarkan diri.
Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang di pergunakan Tek Ciang untuk memukul sutenya sendiri. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itupun roboh pingsan.
Tek Ciang terpaksa memukul sutenya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini ia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat.
Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian diapun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok. Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas!
Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suhengnya sendiri yang keji dan curang. Setelah mendapat kenyataan bahwa sutenya telah tewas, Tek Ciang menyeringai, kini membalik kepada Kui Eng yang biarpun dalam keadaan tidak berdaya, tidak mampu bergerak maupun bersuara, dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.
Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biarpun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.
Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena diapun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadap wanita-wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi malapetaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa dapat bergerak maupun berteriak. Malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan iapun pingsan dan hal ini baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.
Setelah selesai dengan perbuatannya yang amat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.
Sungguh amat kasihan nasib gadis itu. Baru saja ia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojot sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.
Kui Lok mengerahkan tenaganya dan hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.
“Wuuuttt.... crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu memyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.
Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebasan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biarpun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya. Kui Lok terpelanting dan hanya dapat mengeluarkan suara
“Oughhh....?” dan iapun tak sadarkan diri.
Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang di pergunakan Tek Ciang untuk memukul sutenya sendiri. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itupun roboh pingsan.
Tek Ciang terpaksa memukul sutenya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini ia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat.
Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian diapun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok. Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas!
Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suhengnya sendiri yang keji dan curang. Setelah mendapat kenyataan bahwa sutenya telah tewas, Tek Ciang menyeringai, kini membalik kepada Kui Eng yang biarpun dalam keadaan tidak berdaya, tidak mampu bergerak maupun bersuara, dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.
Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biarpun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.
Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena diapun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadap wanita-wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi malapetaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa dapat bergerak maupun berteriak. Malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan iapun pingsan dan hal ini baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.
Setelah selesai dengan perbuatannya yang amat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.
Sungguh amat kasihan nasib gadis itu. Baru saja ia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojot sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.
Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu seperti orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri sudah merapikan pakaian dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.
“Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!”
Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.
Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.
Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali.
Sutenya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedang sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu.
Dilihat sepintas lalu saja jelaslah bahwa gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri. Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu.
Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sutenya berjina dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sutenya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.
“Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.
Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali.
“Ah, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... ah, totiang, kalau aku berdosa, silahkan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Diapun terisak menangis.
Tosu tua itu mengerutkan alisnya.
“Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”
“Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan akupun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
“Dia.... dia telah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu.”
“Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!”
Hong Tan Tosu mendesak sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.
“Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka akupun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka akupun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja.”
Hong Tan Tosu menunduk dan memandang kepada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang. Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.
“Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya kutinggalkan di atas meja telah lenyap.”
“Apa....?” Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan dan kecurigaan. “Sicu, harap jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri.
“Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”
“Hemm, dugaan apakah?”
“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu.”
“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”
“Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!”
Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.
“Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!”
Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.
Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.
Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali.
Sutenya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedang sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu.
Dilihat sepintas lalu saja jelaslah bahwa gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri. Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu.
Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sutenya berjina dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sutenya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.
“Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.
Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali.
“Ah, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... ah, totiang, kalau aku berdosa, silahkan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Diapun terisak menangis.
Tosu tua itu mengerutkan alisnya.
“Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”
“Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan akupun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
“Dia.... dia telah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu.”
“Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!”
Hong Tan Tosu mendesak sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.
“Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka akupun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka akupun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja.”
Hong Tan Tosu menunduk dan memandang kepada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang. Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.
“Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya kutinggalkan di atas meja telah lenyap.”
“Apa....?” Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan dan kecurigaan. “Sicu, harap jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri.
“Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”
“Hemm, dugaan apakah?”
“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu.”
“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”
“Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!”
Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.
**** 098 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar