“Pouw-sute, engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun-lun-pai yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tidak ada seorangpun murid Kun-lun-pai, tiada terkecualinya, yang boleh membuka dan membaca kitab ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto untuk melanggar peraturan itu?”
Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu, ketua Kun-lun-pai di Tung-keng. Tosu tinggi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka.
Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok menuruti permintaan suhengnya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam.
Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sutenya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sutenya.
Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawap dan Tek Ciang cepat maju memberi hormat kepada tosu tua itu.
“Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”
“Siancai, siancai....!” Tosu itu mengangguk-angguk. “Louw-sicu, hendaknya suka memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu yang keji dan sesat, kalau dipergunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi kecil hati.”
Kembali Tek Ciang memberi hormat.
“Maaf, totiang. Sayapun cukup mengerti dan dapat menerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya kepada penggunaannya, bukan? Betapapun keji kelihatannya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”
“Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri? Sebaliknya, biarpun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”
Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan kekecewaan ataupun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.
“Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”
Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk.
“Tentu saja, mereka adalah keluarga yang sakti dan gagah perkasa, pinto ikut merasa gembira sekali bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”
“Totiang, di antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat kesetiaan dan pembelaan, bukan?”
“Tentu, tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Jadi, andaikata ada suatu malapetaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”
“Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?”
Dan tosu inipun menoleh dan memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat yang dijalankan oleh Tek Ciang.
“Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid seperti kami ini. Ketahuilah bahwa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”
“Apa yang telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.”
Tosu itu kini menoleh kepada sutenya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biarpun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat sutenya dan kini bahkan menjadi suheng dari sutenya itu karena mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.
“Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Karena itulah maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”
Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu, ketua Kun-lun-pai di Tung-keng. Tosu tinggi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka.
Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok menuruti permintaan suhengnya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam.
Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sutenya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sutenya.
Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawap dan Tek Ciang cepat maju memberi hormat kepada tosu tua itu.
“Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”
“Siancai, siancai....!” Tosu itu mengangguk-angguk. “Louw-sicu, hendaknya suka memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu yang keji dan sesat, kalau dipergunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi kecil hati.”
Kembali Tek Ciang memberi hormat.
“Maaf, totiang. Sayapun cukup mengerti dan dapat menerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya kepada penggunaannya, bukan? Betapapun keji kelihatannya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”
“Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri? Sebaliknya, biarpun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”
Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan kekecewaan ataupun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.
“Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”
Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk.
“Tentu saja, mereka adalah keluarga yang sakti dan gagah perkasa, pinto ikut merasa gembira sekali bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”
“Totiang, di antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat kesetiaan dan pembelaan, bukan?”
“Tentu, tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Jadi, andaikata ada suatu malapetaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”
“Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?”
Dan tosu inipun menoleh dan memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat yang dijalankan oleh Tek Ciang.
“Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid seperti kami ini. Ketahuilah bahwa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”
“Apa yang telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.”
Tosu itu kini menoleh kepada sutenya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biarpun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat sutenya dan kini bahkan menjadi suheng dari sutenya itu karena mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.
“Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Karena itulah maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”
Kakek itu mengerutkan alisnya dan nampak bimbang.
“Siapakah lawan yang dapat mengalahkan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?”
Dia memang merasa heran sekali mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.
“Dia orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan keluarganya. Kamipun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute ada muka untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”
Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya, keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian di tangan seorang musuh yang tangguh.
Andaikata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu dia mempunyai alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.
“Louw-sicu, biar bagaimanapun juga, murid Kun-lun- pai tidak boleh mempelajari ilmu itu....”
“Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!”
“Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biarpun tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab kalau sampai kelak ilmu itu dipergunakan untuk membunuh orang.”
“Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya kepada Pouw-sute? Sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”
“Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syaratnya, totiang?”
“Pertama, sicu harus bersumpah bahwa ilmu itu hanya khusus dipelajari untuk menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto telah melakukan pelanggaran.”
“Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang juga.”
Louw Tek Ciang lalu diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang.
“Teecu Louw Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam, tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”
“Cukup, sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiripun tidak menduga akan hal ini, demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan bersandiwara.
“Pouw-sute, engkaulah yang mengawasi agar Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.” Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu.
Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnyapun hanya digelung secara sederhana sekali.
Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.
“Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”
Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini.
“Kui Eng, engkau belum pernah bertemu dengan susiokmu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu.”
Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.
Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biarpun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan ia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.
“Pouw-susiok, terimalah hormat Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”
Kui Lok cepat membalas penghormatan itu.
“Ah, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula? Nona....”
“Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.”
Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
“Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suhengku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru lain, namanya Louw Tek Ciang.”
Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat ia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.
“Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiokmu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar Louw-sicu dapat mempelajari kitab Sin- liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan.”
“Sin-liong Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhunya dengan penuh kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu....”
“Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawah pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiokmu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan.”
“Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!”
Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang dan juga merasa tidak senang melihat betapa suhunya mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Akan tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.
Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khi-kang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khi-kang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya.
Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat menggelegar, akan tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirim suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain.
Bahkan yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!
Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka diapun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak.
Memang dia licik dan cerdik. Tahulah dia bahwa tosu tua itu menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, akan tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.
“Tua bangka sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.
Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki gin-kang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai.
Kalau Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena dia sudah tentu saja amat percaya kepada Tek Ciang dan tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu. Kui Eng berjaga dengan amat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah ia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi!
Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan diapun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu. Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu kalau ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidurpun dia lakukan di dalam ruangan itu!
Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khi-kang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!
“Sialan....!” gerutunya dalam hati.
Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khi-kang di bawah sinar bulan purnama.
“Mengapa tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimanapun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannyapun tidak berapa tinggi.”
Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis tidak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba degan latihan menghimpun khi-kang.
Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan sekeliling kamar itu kini sepi saja.
Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan diapun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.
Setelah memyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke mana perginya gadis itu? Benarkah sekali ini Kui Eng meninggalkannya dan tidak mengawasinya?
Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia.
Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Diapun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.
Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang bisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.
“Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”
“Aih, Koan-koko, betapa inginku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!”
“Siapa? Mengapa? Apa yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhumu ini?”
“Tanpa kusangka-sangka, datang susiokku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya agar dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi.”
“Kalau begitu akan terlambat!”
“Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”
Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda lalu mendekapnya dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur.
“Sudahlah, Eng-moi, tak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Masih ada tugas untukmu dari kawan-kawan. Biarpun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini.”
“Tugas apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.
“Begini....” Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada surat untuk Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Karena, selama dia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biarpun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi.”
“Aih, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ih, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?”
Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat dan menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng.
“Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”
“Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu.”
“Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita sudah berjanji akan menikah kalau perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.”
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon. Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, ia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab! Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata,
“Nona masuklah sebentar.”
Kui Eng mengerutkan alisnya. Ia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!
“Ada urusan apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang amat penting tentang Koan-kokomu itu!”
Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang.
“Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”
Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar.
“Nona manis, tak perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun itu kepadaku!”
Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.
Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan diapun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara.
Gadis itu hanya memandang saja ketika jari-jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.
“Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?”
Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang. Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya sudah terbuka sehingga nampak dadanya.
“Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.
“Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute.”
“Siapakah lawan yang dapat mengalahkan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?”
Dia memang merasa heran sekali mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.
“Dia orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan keluarganya. Kamipun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute ada muka untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”
Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya, keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian di tangan seorang musuh yang tangguh.
Andaikata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu dia mempunyai alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.
“Louw-sicu, biar bagaimanapun juga, murid Kun-lun- pai tidak boleh mempelajari ilmu itu....”
“Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!”
“Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biarpun tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab kalau sampai kelak ilmu itu dipergunakan untuk membunuh orang.”
“Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya kepada Pouw-sute? Sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”
“Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syaratnya, totiang?”
“Pertama, sicu harus bersumpah bahwa ilmu itu hanya khusus dipelajari untuk menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto telah melakukan pelanggaran.”
“Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang juga.”
Louw Tek Ciang lalu diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang.
“Teecu Louw Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam, tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”
“Cukup, sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiripun tidak menduga akan hal ini, demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan bersandiwara.
“Pouw-sute, engkaulah yang mengawasi agar Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.” Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu.
Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnyapun hanya digelung secara sederhana sekali.
Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.
“Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”
Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini.
“Kui Eng, engkau belum pernah bertemu dengan susiokmu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu.”
Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.
Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biarpun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan ia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.
“Pouw-susiok, terimalah hormat Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”
Kui Lok cepat membalas penghormatan itu.
“Ah, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula? Nona....”
“Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.”
Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
“Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suhengku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru lain, namanya Louw Tek Ciang.”
Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat ia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.
“Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiokmu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar Louw-sicu dapat mempelajari kitab Sin- liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan.”
“Sin-liong Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhunya dengan penuh kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu....”
“Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawah pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiokmu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan.”
“Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!”
Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang dan juga merasa tidak senang melihat betapa suhunya mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Akan tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.
Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khi-kang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khi-kang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya.
Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat menggelegar, akan tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirim suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain.
Bahkan yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!
Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka diapun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak.
Memang dia licik dan cerdik. Tahulah dia bahwa tosu tua itu menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, akan tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.
“Tua bangka sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.
Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki gin-kang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai.
Kalau Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena dia sudah tentu saja amat percaya kepada Tek Ciang dan tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu. Kui Eng berjaga dengan amat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah ia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi!
Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan diapun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu. Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu kalau ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidurpun dia lakukan di dalam ruangan itu!
Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khi-kang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!
“Sialan....!” gerutunya dalam hati.
Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khi-kang di bawah sinar bulan purnama.
“Mengapa tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimanapun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannyapun tidak berapa tinggi.”
Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis tidak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba degan latihan menghimpun khi-kang.
Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan sekeliling kamar itu kini sepi saja.
Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan diapun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.
Setelah memyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke mana perginya gadis itu? Benarkah sekali ini Kui Eng meninggalkannya dan tidak mengawasinya?
Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia.
Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Diapun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.
Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang bisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.
“Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”
“Aih, Koan-koko, betapa inginku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!”
“Siapa? Mengapa? Apa yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhumu ini?”
“Tanpa kusangka-sangka, datang susiokku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya agar dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi.”
“Kalau begitu akan terlambat!”
“Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”
Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda lalu mendekapnya dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur.
“Sudahlah, Eng-moi, tak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Masih ada tugas untukmu dari kawan-kawan. Biarpun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini.”
“Tugas apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.
“Begini....” Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada surat untuk Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Karena, selama dia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biarpun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi.”
“Aih, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ih, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?”
Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat dan menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng.
“Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”
“Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu.”
“Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita sudah berjanji akan menikah kalau perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.”
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon. Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, ia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab! Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata,
“Nona masuklah sebentar.”
Kui Eng mengerutkan alisnya. Ia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!
“Ada urusan apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang amat penting tentang Koan-kokomu itu!”
Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang.
“Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”
Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar.
“Nona manis, tak perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun itu kepadaku!”
Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.
Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan diapun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara.
Gadis itu hanya memandang saja ketika jari-jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.
“Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?”
Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang. Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya sudah terbuka sehingga nampak dadanya.
“Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.
“Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute.”
Maaf ya mas,terlalu banyak ceritanya berulang.dan seringkali ceritanya terlompat.
BalasHapusJilid berapa yg melompat dan berulang ???
Hapus