Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengangkat seorang bengcu (pemimpin rakyat) agar perjuangan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur.
Pemuda tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak.
Sebagai seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat.
Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara.
Hutan Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun, juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat.
Hutan-hutan lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar dan rimbun, penuh dengan binatang-binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan menimbulkan perhatian.
Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang berpakaian pengemis!
Biarpun di antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka kagumi.
Di antara banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu, kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka.
Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak.
Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!
Para pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong dalam perjalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya memandang kepada pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pemuda yang wajahnya cerah akan tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata naga itu.
Dan Ceng Liong yang selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus memperkenalkan diri karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah mendengar bahwa dia she Suma, tentu lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es. Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-benar cucu asli dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berobah, penuh kagum, juga mengandung iri!
Semuda itu, karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya, Ceng Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepalsuan yang menguasai hati dan tindakan manusia tanpa disadari lagi oleh manusia. Manusia telah semenjak dahulu mempunyai kebiasaan turun-temurun untuk membentuk gambar-gambar dari diri sendiri atau dari diri orang-orang lain.
Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya itu, kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri. Bahkan ada pula yang menilai seseorang dari tindakannya pada suatu saat, tindakan yang langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai!
Tentu saja hal ini menimbulkan penilaian-penilaian palsu, menimbulkan sikap menjilat-jilat kepada yang dinilainya tinggi dan ada sikap memandang sebelah mata atau menghina kepada yang dinilainya rendah. Juga terdapat penilaian palsu terhadap seseorang yang melakukann satu perbuatan saja yang akibatnya langsung dirasakan si penilai.
Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai, maka orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap sebagai orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu, gambar orang baik atau gambar orang jahat.
Tentu saja penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin dinilai dari satu perbuatannya saja. Bahkan tidak mungkin dapat dinilai melihat perbuatannya itu saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan itu sendiri. Sudah lajim bahwa pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh ganda yang disebut baik dan buruk.
Pemuda tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak.
Sebagai seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat.
Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara.
Hutan Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun, juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat.
Hutan-hutan lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar dan rimbun, penuh dengan binatang-binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan menimbulkan perhatian.
Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang berpakaian pengemis!
Biarpun di antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka kagumi.
Di antara banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu, kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka.
Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak.
Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!
Para pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong dalam perjalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya memandang kepada pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pemuda yang wajahnya cerah akan tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata naga itu.
Dan Ceng Liong yang selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus memperkenalkan diri karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah mendengar bahwa dia she Suma, tentu lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es. Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-benar cucu asli dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berobah, penuh kagum, juga mengandung iri!
Semuda itu, karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya, Ceng Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepalsuan yang menguasai hati dan tindakan manusia tanpa disadari lagi oleh manusia. Manusia telah semenjak dahulu mempunyai kebiasaan turun-temurun untuk membentuk gambar-gambar dari diri sendiri atau dari diri orang-orang lain.
Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya itu, kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri. Bahkan ada pula yang menilai seseorang dari tindakannya pada suatu saat, tindakan yang langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai!
Tentu saja hal ini menimbulkan penilaian-penilaian palsu, menimbulkan sikap menjilat-jilat kepada yang dinilainya tinggi dan ada sikap memandang sebelah mata atau menghina kepada yang dinilainya rendah. Juga terdapat penilaian palsu terhadap seseorang yang melakukann satu perbuatan saja yang akibatnya langsung dirasakan si penilai.
Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai, maka orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap sebagai orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu, gambar orang baik atau gambar orang jahat.
Tentu saja penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin dinilai dari satu perbuatannya saja. Bahkan tidak mungkin dapat dinilai melihat perbuatannya itu saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan itu sendiri. Sudah lajim bahwa pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh ganda yang disebut baik dan buruk.
Perbuatan yang dianggap baik dan buruk itu silih berganti dilakukan manusia, mungkin hari ini baik, mungkin besok buruk, mungkin hari ini pemarah dan besok menjadi ramah. Mungkin hari ini penuh kecurangan dan besok amat jujur atau sebaliknya. Karena kita sudah biasa menilai berdasarkan untung rugi kita, berdasarkan rasa senang tidak senang kita, maka akibatnya tidak ada sesuatupun benda di dunia ini, yang mati atau yang hidup, yang hanya mempunyai satu sifat saja. Kesemuanya itu mempunyai sifat ganda, baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Mengapa kita tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya? Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi siapapun dengan hati dan pikiran bebas, kita tidak akan membeda-bedakan antara orang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah, menguntungkan atau merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan menghormat di samping sikap meremehkan dan memandang rendah. Kalau kita sudah bebas dari pada penilaian, maka kita berhadapan dengan MANUSIA saja, tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu dengan sebutan kedudukan, kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya.
Dan tanpa penilaian kita tidak akan menciptakan gambaran- gambaran tentang diri sendiri maupun manusia lain. Lenyaplah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang selalu salah. Mengapa kita tidak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan seluruh kewaspadaan ke arah diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas oleh kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang, ingin benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang menjerumuskan kita sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang meniadakan kebahagiaan, yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia, menciptakan iri hati, cemburu, dengki dan dendam?
Karena hari pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat keadaan. Selama ini timbul keraguan dalam hatinya. Walaupun dia sudah mendengar penjelasan ayahnya, juga penjelasan orang gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot, tentang penjajahan negara dan bangsa oleh Bangsa Mancu, namun dia masih ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Kian Liong.
Dia teringat betapa tadinya para pendekar mendukung Kian Liong sebelum menjadi kaisar. Dan kini, sikap dan keinginan hendak memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima begitu saja.
Katakanlah memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan dengan wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang banyak jumlahnya. Akan tetapi apa hubungannya kelemahan pribadi ini dengan roda pemerintahan? Bagaimanapun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang benar adalah satu perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang pemerintahannya, bukan karena kebencian pribadi.
Jadi, bukan kelemahan pribadi kaisar itulah yang mendorong pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya, yaitu pemerintah penjajah! Betapapun baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing, seorang berbangsa Mancu yang menjajah Bangsa Han. Dan nampak olehnya kini betapa semua pejabat tinggi adalah orang-orang Mancu belaka.
Memang ada pula orang-orang Han yang menduduki pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada peraturan-peraturan dari pemerintah Mancu yang dianggap menghina bangsa pribumi, seperti keharusan mengenakan kuncir dan sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu, walaupun tetap saja hatinya diliputi keraguan.
Karena masih ada waktu dua hari, malam itu Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan Cemara yang dijadikan tempat pertemuan, menuju ke sebuah bukit kecil tak jauh dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang sunyi dan indah itu menarik perhatiannya.
Bagaimanapun juga keraguan hatinya, ingatan bahwa keluarga Pulau Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat hatinya terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri. Untung bahwa neneknya sudah meninggal, pikir Ceng Liong sambil berjalan menuju ke bukit kecil yang nampak dari jauh seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan purnama.
Nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, pikirnya. Andaikata neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini ikut menghadiri pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa akan dikata oleh neneknya itu? Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng Liong teringat akan hal ini.
Mengapa manusia terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bangsa ini dan bangsa itu, beragama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu? Perpecahan dan pemisahan-pemisahan ini selalu menimbulkan pertentangan.
Setelah tiba di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar sayup-sayup suara orang laki-laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya kepada suara yang datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap kata-kata nyanyian itu dengan jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di dalam suara nyanyian terkandung getaran orang yang sedang dirundung kedukaan atau kegetiran hati.
“Masa bodoh bulan tak bersinar
Masa bodoh bintang tak berpijar
Asal kau cinta padaku!
Tak perduli burung tak menembang
Tak perduli bunga tak berkembang
Asal kau cinta padaku!
Masa bodoh bumi tak berputar
Tak perduli dunia akan kiamat
Masa bodoh matahari tak bercahaya
Tak perduli langit tiada awan
Asal kau cinta padaku, sayang
Asal kau cinta padaku!”
Ceng Liong tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam perasaan cinta menguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung getaran-getaran duka atau kekecewaan.
Hati Ceng Liong merasa terharu dan tertarik, maka diapun menggerakkan kakinya, dengan hati-hati dia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya dia melihatnya. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki yang sedang menatap bulan purnama seolah-olah kepada bulanlah dia tadi bernyanyi.
“Kak Ciang Bun....!”
Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biarpun laki-laki itu kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaannya sembilan tahun yang lalu, akan tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang tampan.
Laki-laki itu menoleh dengan kaget, akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak dia terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng Liong dengan ragu-ragu.
Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang kepada Ceng Liong dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan tetapi perobahan yang terjadi atas diri Ceng Liong memang amat besar.
Ketika dia bertemu dengan adik misannya ini untuk yang terakhir kalinya, yaitu semenjak mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, bertubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh tahun!
“Kau.... kau....” Dia berkata ragu.
Ceng Liong melangkah lebar menghampiri sampai berada di depan Ciang Bun, tersenyum lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri.
“Bun-ko, apakah engkau lupa kepadaku, adikmu Ceng Liong?”
“Ceng Liong....? Ah, Ceng Liong ....!”
Ciang Bun maju dan merangkul. Keduanya berangkulan dengan hati gembira bukan main dan Ciang Bun menjadi demikian terharu sampai kedua matanya menjadi basah.
Melihat ini, diam-diam Ceng Liong merasa heran. Kakak misannya ini sampai sekarang masih saja memperlihatkan kehalusan perasaannya.
Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.
“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar daripada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”
“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tak kusangka akan bertemu denganmu ketika tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkau yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”
Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu teringat kepada gadis yang meninggalkannya itu, diapun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan diapun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.
“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong.?”
Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Bun-toako, itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran.”
“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan tewasnya kakek dan kedua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”
“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dulu keteranganku tentang itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, dan melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”
Kemudian Ceng Liong menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai mejadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Dia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya sehingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.
Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang sejak tadi mendengarkan dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiripun tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Kini dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya walaupun tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.
“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi.” katanya memandang tajam.
Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.
“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu.”
“Liong-te, engkau kenal padanya?”
“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”
Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main.
“Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tidak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”
“Ha-ha, ia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”
“Ahh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?”
Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali. Kenapa gadis Bhutan itu tidak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es, dan diapun sudah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.
Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, walaupun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa ia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”
Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tidak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara. Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu,
“Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan malapetaka yang menimpa keluargaku.” Pemuda itu menarik napas panjang.
Ceng Liong mengangguk-angguk.
“Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”
“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang, biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan.”
Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat dan seperti orang kebingungan. Maka diapun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya,
“Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”
“Hong Bwee....?”
“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”
Ciang Bun menggeleng kepala dan menjawab lesu.
“Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja.”
“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau sekarang gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak perduli segala hal lain yang terjadi?”
Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengan saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.
“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”
“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.
“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak bisa disalahkan, dan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian.”
Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali. Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi akan tetapi kini menangis, karena seorang gadis!
Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita. Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.
“Bun-toako, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”
Sampai lama Ciang Bun menundukan mukanya, lalu dia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat.
Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantuannya mencari jalan yang terbaik untuknya.
“Liong-te, kesinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya demikian serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah.
Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya. Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita karena hawa dingin. Ketika mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suana jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.
Kemudian terdengar suara Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.
Biarpun Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, disamping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila.
Mengapa kita tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya? Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi siapapun dengan hati dan pikiran bebas, kita tidak akan membeda-bedakan antara orang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah, menguntungkan atau merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan menghormat di samping sikap meremehkan dan memandang rendah. Kalau kita sudah bebas dari pada penilaian, maka kita berhadapan dengan MANUSIA saja, tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu dengan sebutan kedudukan, kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya.
Dan tanpa penilaian kita tidak akan menciptakan gambaran- gambaran tentang diri sendiri maupun manusia lain. Lenyaplah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang selalu salah. Mengapa kita tidak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan seluruh kewaspadaan ke arah diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas oleh kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang, ingin benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang menjerumuskan kita sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang meniadakan kebahagiaan, yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia, menciptakan iri hati, cemburu, dengki dan dendam?
Karena hari pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat keadaan. Selama ini timbul keraguan dalam hatinya. Walaupun dia sudah mendengar penjelasan ayahnya, juga penjelasan orang gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot, tentang penjajahan negara dan bangsa oleh Bangsa Mancu, namun dia masih ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Kian Liong.
Dia teringat betapa tadinya para pendekar mendukung Kian Liong sebelum menjadi kaisar. Dan kini, sikap dan keinginan hendak memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima begitu saja.
Katakanlah memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan dengan wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang banyak jumlahnya. Akan tetapi apa hubungannya kelemahan pribadi ini dengan roda pemerintahan? Bagaimanapun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang benar adalah satu perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang pemerintahannya, bukan karena kebencian pribadi.
Jadi, bukan kelemahan pribadi kaisar itulah yang mendorong pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya, yaitu pemerintah penjajah! Betapapun baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing, seorang berbangsa Mancu yang menjajah Bangsa Han. Dan nampak olehnya kini betapa semua pejabat tinggi adalah orang-orang Mancu belaka.
Memang ada pula orang-orang Han yang menduduki pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada peraturan-peraturan dari pemerintah Mancu yang dianggap menghina bangsa pribumi, seperti keharusan mengenakan kuncir dan sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu, walaupun tetap saja hatinya diliputi keraguan.
Karena masih ada waktu dua hari, malam itu Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan Cemara yang dijadikan tempat pertemuan, menuju ke sebuah bukit kecil tak jauh dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang sunyi dan indah itu menarik perhatiannya.
Bagaimanapun juga keraguan hatinya, ingatan bahwa keluarga Pulau Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat hatinya terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri. Untung bahwa neneknya sudah meninggal, pikir Ceng Liong sambil berjalan menuju ke bukit kecil yang nampak dari jauh seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan purnama.
Nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, pikirnya. Andaikata neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini ikut menghadiri pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa akan dikata oleh neneknya itu? Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng Liong teringat akan hal ini.
Mengapa manusia terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bangsa ini dan bangsa itu, beragama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu? Perpecahan dan pemisahan-pemisahan ini selalu menimbulkan pertentangan.
Setelah tiba di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar sayup-sayup suara orang laki-laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya kepada suara yang datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap kata-kata nyanyian itu dengan jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di dalam suara nyanyian terkandung getaran orang yang sedang dirundung kedukaan atau kegetiran hati.
“Masa bodoh bulan tak bersinar
Masa bodoh bintang tak berpijar
Asal kau cinta padaku!
Tak perduli burung tak menembang
Tak perduli bunga tak berkembang
Asal kau cinta padaku!
Masa bodoh bumi tak berputar
Tak perduli dunia akan kiamat
Masa bodoh matahari tak bercahaya
Tak perduli langit tiada awan
Asal kau cinta padaku, sayang
Asal kau cinta padaku!”
Ceng Liong tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam perasaan cinta menguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung getaran-getaran duka atau kekecewaan.
Hati Ceng Liong merasa terharu dan tertarik, maka diapun menggerakkan kakinya, dengan hati-hati dia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya dia melihatnya. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki yang sedang menatap bulan purnama seolah-olah kepada bulanlah dia tadi bernyanyi.
“Kak Ciang Bun....!”
Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biarpun laki-laki itu kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaannya sembilan tahun yang lalu, akan tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang tampan.
Laki-laki itu menoleh dengan kaget, akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak dia terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng Liong dengan ragu-ragu.
Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang kepada Ceng Liong dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan tetapi perobahan yang terjadi atas diri Ceng Liong memang amat besar.
Ketika dia bertemu dengan adik misannya ini untuk yang terakhir kalinya, yaitu semenjak mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, bertubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh tahun!
“Kau.... kau....” Dia berkata ragu.
Ceng Liong melangkah lebar menghampiri sampai berada di depan Ciang Bun, tersenyum lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri.
“Bun-ko, apakah engkau lupa kepadaku, adikmu Ceng Liong?”
“Ceng Liong....? Ah, Ceng Liong ....!”
Ciang Bun maju dan merangkul. Keduanya berangkulan dengan hati gembira bukan main dan Ciang Bun menjadi demikian terharu sampai kedua matanya menjadi basah.
Melihat ini, diam-diam Ceng Liong merasa heran. Kakak misannya ini sampai sekarang masih saja memperlihatkan kehalusan perasaannya.
Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.
“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar daripada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”
“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tak kusangka akan bertemu denganmu ketika tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkau yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”
Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu teringat kepada gadis yang meninggalkannya itu, diapun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan diapun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.
“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong.?”
Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Bun-toako, itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran.”
“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan tewasnya kakek dan kedua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”
“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dulu keteranganku tentang itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, dan melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”
Kemudian Ceng Liong menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai mejadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Dia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya sehingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.
Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang sejak tadi mendengarkan dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiripun tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Kini dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya walaupun tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.
“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi.” katanya memandang tajam.
Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.
“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu.”
“Liong-te, engkau kenal padanya?”
“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”
Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main.
“Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tidak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”
“Ha-ha, ia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”
“Ahh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?”
Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali. Kenapa gadis Bhutan itu tidak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es, dan diapun sudah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.
Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, walaupun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa ia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”
Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tidak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara. Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu,
“Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan malapetaka yang menimpa keluargaku.” Pemuda itu menarik napas panjang.
Ceng Liong mengangguk-angguk.
“Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”
“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang, biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan.”
Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat dan seperti orang kebingungan. Maka diapun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya,
“Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”
“Hong Bwee....?”
“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”
Ciang Bun menggeleng kepala dan menjawab lesu.
“Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja.”
“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau sekarang gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak perduli segala hal lain yang terjadi?”
Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengan saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.
“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”
“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.
“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak bisa disalahkan, dan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian.”
Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali. Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi akan tetapi kini menangis, karena seorang gadis!
Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita. Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.
“Bun-toako, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”
Sampai lama Ciang Bun menundukan mukanya, lalu dia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat.
Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantuannya mencari jalan yang terbaik untuknya.
“Liong-te, kesinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya demikian serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah.
Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya. Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita karena hawa dingin. Ketika mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suana jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.
Kemudian terdengar suara Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.
Biarpun Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, disamping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar