Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.
Akan tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong!
Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya.
Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahun mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan!
Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan.
Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.
Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.
Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada.
Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain.
Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan kenakalan.
Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.
Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain.
Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.
Beberapa orang penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya.
Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya.
Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.
Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah?
Akan tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong!
Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya.
Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahun mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan!
Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan.
Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.
Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.
Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada.
Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain.
Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan kenakalan.
Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.
Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain.
Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.
Beberapa orang penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya.
Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya.
Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.
Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah?
Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor. Ah, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?
Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.
“Siapa di luar?”
Suara ibunya! Tak mungkin dia salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya,
“Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun.
Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah.
“Hemm, siapa engkau berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?”
Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak.
Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya.
Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapapun.
Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!”
Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.
Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.
“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalam mimpi.
Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.
“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng.... Ceng Liong....?”
Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.
“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!”
Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!”
Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.
“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?”
Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dan kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata.
“Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum.
“Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In melepaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak.
“Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong.?”
“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”
“Haiiiittt....!”
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga tidak dapat dikenal mukanya.
“Eh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran.
Akan tetapi orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukk....!”
Kedua pihak merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?”
Akan tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini.
Dia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia mengerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!”
Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akan tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas.
Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun juga.
Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.
“Blarrrr....!”
Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!”
Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Yang dimaksud kau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah.
Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah?
Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong.
Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis! Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar.
“Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”
Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!
“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”
Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.
“Arak? Ah, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tunggu, akan kumasak untuk kalian.!”
“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu.
Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa. Tak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam.
Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee.
Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong.
Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka.
Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.
“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum.
“Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu menggeleng kepala.
“Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar demikian?”
“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak membunuhku?”
“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”
“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han.”
“Ahhh....?”
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.
“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk.
Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinan tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi benda baik.
Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan. Suma Kian Bu menarik napas panjang.
“Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”
Pemuda itu mengangguk.
“Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka.”
Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.
“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih oleh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya.
Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.
Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!
Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.
“Siapa di luar?”
Suara ibunya! Tak mungkin dia salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya,
“Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun.
Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah.
“Hemm, siapa engkau berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?”
Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak.
Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya.
Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapapun.
Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!”
Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.
Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.
“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalam mimpi.
Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.
“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng.... Ceng Liong....?”
Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.
“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!”
Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!”
Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.
“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?”
Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dan kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata.
“Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum.
“Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In melepaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak.
“Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong.?”
“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”
“Haiiiittt....!”
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga tidak dapat dikenal mukanya.
“Eh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran.
Akan tetapi orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukk....!”
Kedua pihak merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?”
Akan tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini.
Dia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia mengerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!”
Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akan tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas.
Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun juga.
Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.
“Blarrrr....!”
Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!”
Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Yang dimaksud kau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah.
Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah?
Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong.
Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis! Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar.
“Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”
Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!
“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”
Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.
“Arak? Ah, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tunggu, akan kumasak untuk kalian.!”
“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu.
Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa. Tak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam.
Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee.
Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong.
Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka.
Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.
“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum.
“Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu menggeleng kepala.
“Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar demikian?”
“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak membunuhku?”
“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”
“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han.”
“Ahhh....?”
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.
“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk.
Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinan tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi benda baik.
Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan. Suma Kian Bu menarik napas panjang.
“Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”
Pemuda itu mengangguk.
“Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka.”
Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.
“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih oleh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya.
Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.
Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!
**** 077 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar