Sang waktu meluncur dengan pasti, tak terelakkan oleh siapapun juga, menerkam dan menelan segala sesuatu di jagad raya ini. Kalau lepas dari perhatian, waktu meluncur dengan amat cepatnya, seolah-olah baru kita memejamkan mata sebentar saja, bertahun-tahun telah lewat tak terasa. Sebaliknya kalau diperhatikan, sang waktu merayap dengan amat lambatnya, kadang-kadang tak tertahankan oleh kesabaran kita.
Nampak jelas betapa cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita menengok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-kanak kita baru terjadi kemarin dulu! Waktu meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan normal seorang manusia antara enam puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek sekali. Dan hal ini membuat kita termenung memikirkan. Di dalam waktu sesingkat itu sebagai manusia hidup, apakah yang telah kita lakukan?
Apakah kita mengisi penuh waktu singkat dalam hidup itu hanya dengan mengejar kesenangan? Hanya untuk diombang-ambingkan oleh suka dan duka? Dihimpit bermacam penderitaan, kekecewaan, kegelisahan, kebencian dan lebih banyak sengsara daripada bahagia? Pernahkah kita mengisi waktu yang sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain? Kalau tidak atau belum, mengapa tidak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum terlambat, sebelum kita kembali ke dalam tiada? Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuatan yang lahir dan batin yang penuh cinta kasih.
Perbuatan apapun juga, tanpa dasar cinta kasih, adalah palsu dan hanya akan menimbulkan pertentangan batin. Sungguh amat menyedihkan melihat betapa kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu, sehingga hampir semua perbuatan di sekitar kita adalah perbuatan pura-pura, tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi untung, kebaikan-kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi untung, bahkan apa yang kita namakan cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi untung.
Sang aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan itu tak pernah lepas daripada perhitungan rugi untung ini, baik keuntungan lahir maupun keuntungan batin yang dicarinya. Karena itu, setiap gerak perbuatan adalah palsu.
Tanpa terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.
Seperti telah kita ketahui, enci adik inipun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau kedua orang anak mereka itu takkan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka menurunkan pula ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.
Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka yang jahat dan murtad itu, akan tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah menimbulkan malapetaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-kawan mereka.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.
Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang dahulu ke Thian-cin, berhasil maupun tidak.
Selama melakukan perjalanan bersama encinya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh encinya, dia berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merobahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.
Dari penyelidikannya bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama, pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki sejak kecil lebih dekat dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita daripada laki-laki biasa. Dan hal inipun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal sex terhadap seorang pria daripada terhadap seorang wanita.
Ke dua, terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat menyenangkan dan disayangnya.
Ke tiga, seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.
Dari penyelidikan dia dan encinya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani.
Akan tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri. Adakah dia menghendaki dirinya berobah? Dan jawabannya adalah: Tidak! Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya, bahkan terasa wajar. Kalaupun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa ganjil dan terasing.
“Bun-te,” kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya.
“Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimanapun juga beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta berahipun kita akan kuat! Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan kalau engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan berahi? Kita kan sudah terlatih.”
Nampak jelas betapa cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita menengok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-kanak kita baru terjadi kemarin dulu! Waktu meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan normal seorang manusia antara enam puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek sekali. Dan hal ini membuat kita termenung memikirkan. Di dalam waktu sesingkat itu sebagai manusia hidup, apakah yang telah kita lakukan?
Apakah kita mengisi penuh waktu singkat dalam hidup itu hanya dengan mengejar kesenangan? Hanya untuk diombang-ambingkan oleh suka dan duka? Dihimpit bermacam penderitaan, kekecewaan, kegelisahan, kebencian dan lebih banyak sengsara daripada bahagia? Pernahkah kita mengisi waktu yang sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain? Kalau tidak atau belum, mengapa tidak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum terlambat, sebelum kita kembali ke dalam tiada? Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuatan yang lahir dan batin yang penuh cinta kasih.
Perbuatan apapun juga, tanpa dasar cinta kasih, adalah palsu dan hanya akan menimbulkan pertentangan batin. Sungguh amat menyedihkan melihat betapa kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu, sehingga hampir semua perbuatan di sekitar kita adalah perbuatan pura-pura, tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi untung, kebaikan-kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi untung, bahkan apa yang kita namakan cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi untung.
Sang aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan itu tak pernah lepas daripada perhitungan rugi untung ini, baik keuntungan lahir maupun keuntungan batin yang dicarinya. Karena itu, setiap gerak perbuatan adalah palsu.
Tanpa terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.
Seperti telah kita ketahui, enci adik inipun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau kedua orang anak mereka itu takkan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka menurunkan pula ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.
Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka yang jahat dan murtad itu, akan tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah menimbulkan malapetaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-kawan mereka.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.
Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang dahulu ke Thian-cin, berhasil maupun tidak.
Selama melakukan perjalanan bersama encinya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh encinya, dia berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merobahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.
Dari penyelidikannya bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama, pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki sejak kecil lebih dekat dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita daripada laki-laki biasa. Dan hal inipun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal sex terhadap seorang pria daripada terhadap seorang wanita.
Ke dua, terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat menyenangkan dan disayangnya.
Ke tiga, seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.
Dari penyelidikan dia dan encinya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani.
Akan tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri. Adakah dia menghendaki dirinya berobah? Dan jawabannya adalah: Tidak! Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya, bahkan terasa wajar. Kalaupun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa ganjil dan terasing.
“Bun-te,” kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya.
“Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimanapun juga beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta berahipun kita akan kuat! Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan kalau engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan berahi? Kita kan sudah terlatih.”
Suma Ciang Bun mengangguk dan menarik napas panjang.
“Benar, enci. Memang hal ini tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Kalau kudiamkan saja dan kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, sebetulnya juga tidak ada apa-apa.”
Demikianlah, setelah berpisah dari encinya, Ciang Bun dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria ataupun berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!
Akan tetapi, hal inipun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia? Andaikata adapun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan andaikata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum tentu dia menyukai orang itu.
Maka, Ciang Bun mengambil keputusan untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangam hidupnya tanpa banyak mengeluh dan tanpa banyak menentang. Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Namun, untuk sementara, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia tidaklah menderita lagi.
Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang pendiam itu menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula.
Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali. Kalaupun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan inipun tidak akan mudah diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya.
Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata rahasiapun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya.
Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar daripada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya. Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-lalang membawa senjata tajam.
Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar, bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi. Bagaimanapun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kaisar.
Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan encinya, enam bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar dengan encinya, encinya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur. Dia telah merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung.
Banyak pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di manapun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak merekapun tidak pernah.
Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan encinya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya nampak semakin gagah.
Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu. Terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa buah pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.
Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun. Pemuda ini tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di manapun banyak dia menerima pandang mata seperti itu dari para wanita dan diapun bersikap wajar, tersenyum sedikit lalu memilih tempat duduk di sudut.
Seorang pelayan menghampirinya dan diapun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa minum arak di pagi hari. Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang tergantung di punggung itu.
Ciang Bun tidak memperdulikan semua perhatian yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke depan. Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh.
Dan kini pemuda itu sedang mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali. Berdebar rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Kenapa baru melihat saja seorang pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar?
Benarkah dia semata keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itupun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?
Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda, paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati.
Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya. Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.
Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja, sambil tersenyum-senyum sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang Bun membacanya cepat.
Pergi merantau seorang diri
Berkelana menjelajah negeri
Pamer senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya untuk menakuti?
Wajah Ciang Bun berobah merah. Biarpun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu menyindir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak.
Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada tulisan seorang asing.
Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan diapun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan tetapi menarik hati. Ingin dia berkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya dan pula, pemuda itu masih remaja dan diapun hanya ingin bersahabat, tidak lebih.
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek.
Ciang Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahahatan. Akan tetapi pemuda remaja itu membuang muka dan melangkah lebar keluar dari kedai arak.
Ciang Bun menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti ini, getaran yang hanya pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik oleh seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biarpun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria membuatnya berdebar seperti ini.
Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, diapun melangkah keluar dari kedai arak. Dia berjalan-jalan di taman itu dan tertarik oleh keadaan telaga buatan, dia menyewa sebuah perahu sambil membeli seguci arak karena akan nikmat sekali naik perahu minum arak nanti kalau matahari sudah naik agak tinggi.
Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar. Akan tetapi sejak kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, membuka taman itu menjadi taman umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.
Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya tiba di dekat sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.
“Ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi memamerkan pedangnya!”
Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi sedang nongkrong di pondok itu, menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sambil tersenyum ramah diapun berkata.
“Bersama pedang menjelajah negeri
bukan pamer bukan menakuti
sekedar alat pembela diri
harap adik jangan salah mengerti!”
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak.
“Aihh, kiranya engkau adalah seorang terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!”
Ciang Bun tersenyum.
“Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.”
Sepasang mata itu bersinar-sinar.
“Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah mengganggumu tadi?”
Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka kepada pemuda remaja itu yang biarpun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.
“Engkau gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.”
Pemuda remaja itu nampak semakin gembira.
“Ah, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut naik perahu bersamamu.”
Gembira sekali rasa hati Ciang Bun.
“Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....”
“Tidak usah. Awas, aku melompat turun!”
Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh.
Ciang Bun terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki gin-kang yang amat hebat.
“Aih, kiranya engkaulah sebenarnya seorang taihiap!” katanya jujur. “Sungguh malu sekali aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar lihai sepertimu ini.”
Pemuda rernaja itu tertawa dan wajahnya nampak semakin muda dan tampan.
“Sudahlah, toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati. Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?”
Seorang pemuda yang ahli gin-kang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga nada suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walaupun bicaranya cukup lancar. Tentu seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.
“Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh gin-kangmu yang kau perlihatkan tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?”
“Akupun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).”
“Ahh....! Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi kulitmu putih dan mukamu, biarpun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewasa benar.”
“Siapa bilang? Aku sudah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?”
Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.
“Namaku Suma Ciang Bun....”
“Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!”
Kini wajah Ciang Bun berobah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya. Biarpun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.
“Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!” kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.
“Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?”
Pemuda itu tertawa.
“Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?”
Kini Ciang Bun terbelalak memegang lengan pemuda remaja itu.
“Engkau mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?”
Ganggananda tersenyum.
“Tentu saja dia masih hidup, setidaknya dia masih hidup enam tujuh tahun yang lalu. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.” Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram. “Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu berobah ketika mendengar namanya?”
“Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.”
“Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi semakin terkejut.”
“Apa itu?”
“Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?”
“Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakek kami.”
“Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi murid seorang raja iblis.”
“Apa? Siapa?”
“Hek-i Mo-ong!”
“Ahhh....!”
Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget daripada berita bahwa adiknya itu masih hidup. Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liorg malah menjadi muridnya? Dia begitu terkejut sehingga dia memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berobah pucat ketika dia melihat dua orang pria berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.
“Kau.... kau kenapa....?”
Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Diamlah,” bisik Ciang Bun, “Dan jangan mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu dengan musuh besarku!”
Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biarpun kini sudah lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biarpun dia belum bertemu dengan encinya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah merusak kehidupan encinya!
Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun, akan tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.
“Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?”
“Benar, enci. Memang hal ini tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Kalau kudiamkan saja dan kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, sebetulnya juga tidak ada apa-apa.”
Demikianlah, setelah berpisah dari encinya, Ciang Bun dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria ataupun berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!
Akan tetapi, hal inipun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia? Andaikata adapun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan andaikata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum tentu dia menyukai orang itu.
Maka, Ciang Bun mengambil keputusan untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangam hidupnya tanpa banyak mengeluh dan tanpa banyak menentang. Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Namun, untuk sementara, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia tidaklah menderita lagi.
Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang pendiam itu menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula.
Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali. Kalaupun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan inipun tidak akan mudah diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya.
Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata rahasiapun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya.
Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar daripada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya. Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-lalang membawa senjata tajam.
Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar, bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi. Bagaimanapun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kaisar.
Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan encinya, enam bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar dengan encinya, encinya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur. Dia telah merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung.
Banyak pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di manapun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak merekapun tidak pernah.
Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan encinya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya nampak semakin gagah.
Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu. Terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa buah pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.
Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun. Pemuda ini tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di manapun banyak dia menerima pandang mata seperti itu dari para wanita dan diapun bersikap wajar, tersenyum sedikit lalu memilih tempat duduk di sudut.
Seorang pelayan menghampirinya dan diapun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa minum arak di pagi hari. Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang tergantung di punggung itu.
Ciang Bun tidak memperdulikan semua perhatian yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke depan. Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh.
Dan kini pemuda itu sedang mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali. Berdebar rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Kenapa baru melihat saja seorang pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar?
Benarkah dia semata keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itupun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?
Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda, paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati.
Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya. Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.
Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja, sambil tersenyum-senyum sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang Bun membacanya cepat.
Pergi merantau seorang diri
Berkelana menjelajah negeri
Pamer senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya untuk menakuti?
Wajah Ciang Bun berobah merah. Biarpun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu menyindir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak.
Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada tulisan seorang asing.
Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan diapun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan tetapi menarik hati. Ingin dia berkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya dan pula, pemuda itu masih remaja dan diapun hanya ingin bersahabat, tidak lebih.
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek.
Ciang Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahahatan. Akan tetapi pemuda remaja itu membuang muka dan melangkah lebar keluar dari kedai arak.
Ciang Bun menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti ini, getaran yang hanya pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik oleh seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biarpun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria membuatnya berdebar seperti ini.
Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, diapun melangkah keluar dari kedai arak. Dia berjalan-jalan di taman itu dan tertarik oleh keadaan telaga buatan, dia menyewa sebuah perahu sambil membeli seguci arak karena akan nikmat sekali naik perahu minum arak nanti kalau matahari sudah naik agak tinggi.
Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar. Akan tetapi sejak kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, membuka taman itu menjadi taman umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.
Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya tiba di dekat sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.
“Ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi memamerkan pedangnya!”
Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi sedang nongkrong di pondok itu, menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sambil tersenyum ramah diapun berkata.
“Bersama pedang menjelajah negeri
bukan pamer bukan menakuti
sekedar alat pembela diri
harap adik jangan salah mengerti!”
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak.
“Aihh, kiranya engkau adalah seorang terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!”
Ciang Bun tersenyum.
“Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.”
Sepasang mata itu bersinar-sinar.
“Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah mengganggumu tadi?”
Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka kepada pemuda remaja itu yang biarpun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.
“Engkau gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.”
Pemuda remaja itu nampak semakin gembira.
“Ah, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut naik perahu bersamamu.”
Gembira sekali rasa hati Ciang Bun.
“Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....”
“Tidak usah. Awas, aku melompat turun!”
Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh.
Ciang Bun terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki gin-kang yang amat hebat.
“Aih, kiranya engkaulah sebenarnya seorang taihiap!” katanya jujur. “Sungguh malu sekali aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar lihai sepertimu ini.”
Pemuda rernaja itu tertawa dan wajahnya nampak semakin muda dan tampan.
“Sudahlah, toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati. Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?”
Seorang pemuda yang ahli gin-kang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga nada suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walaupun bicaranya cukup lancar. Tentu seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.
“Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh gin-kangmu yang kau perlihatkan tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?”
“Akupun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).”
“Ahh....! Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi kulitmu putih dan mukamu, biarpun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewasa benar.”
“Siapa bilang? Aku sudah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?”
Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.
“Namaku Suma Ciang Bun....”
“Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!”
Kini wajah Ciang Bun berobah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya. Biarpun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.
“Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!” kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.
“Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?”
Pemuda itu tertawa.
“Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?”
Kini Ciang Bun terbelalak memegang lengan pemuda remaja itu.
“Engkau mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?”
Ganggananda tersenyum.
“Tentu saja dia masih hidup, setidaknya dia masih hidup enam tujuh tahun yang lalu. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.” Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram. “Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu berobah ketika mendengar namanya?”
“Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.”
“Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi semakin terkejut.”
“Apa itu?”
“Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?”
“Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakek kami.”
“Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi murid seorang raja iblis.”
“Apa? Siapa?”
“Hek-i Mo-ong!”
“Ahhh....!”
Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget daripada berita bahwa adiknya itu masih hidup. Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liorg malah menjadi muridnya? Dia begitu terkejut sehingga dia memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berobah pucat ketika dia melihat dua orang pria berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.
“Kau.... kau kenapa....?”
Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Diamlah,” bisik Ciang Bun, “Dan jangan mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu dengan musuh besarku!”
Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biarpun kini sudah lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biarpun dia belum bertemu dengan encinya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah merusak kehidupan encinya!
Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun, akan tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.
“Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar