FB

FB


Ads

Rabu, 08 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 057

Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.

“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.

Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat. Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan kedua tangannya mendorong dari bawah.

Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!

Biarpun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu.

Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!

Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.

“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merobah diri menjadi katak, yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!”

Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat.

Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!

Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah berbeda dari aslinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.

Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.

Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia mengenal betul, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa,

“Apakah kalian hendak terus melawak disini?”

Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya.

Akan tetapi, lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok!

Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara “kekk!”” dan tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan kini tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biarpun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!

Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.

“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.

“Apa ini....?”

Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan kedua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.

“Plakk!”

Kedua tangannya, seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.






“Brukkk....!”

Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia “berdiri” di atas kepala saja.

Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.

“Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!”

“Bedebah!” bentak Su-ok.

“Keparat sombong!”

Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka.

Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah! Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila.

Mana ada orang berkelahi duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya.

Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.

Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.

Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, dan di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini!

Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki bersilang di atas paha.

Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.

Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.

Ketika dua orang lawan itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari perutnya keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking,

“Hiiaaaattt....!”

Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.

“Dessss! Dessss!”

Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biarpun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang dan terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!

Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata,

“Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!”

Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sialan karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!

“Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!”

Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap cepat menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung.

Bu-taihiap merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran melihat seorang pria setengah tua membersihkan bibir dan dagunya dengan saputangan.

“Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”

Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya.

“Ah, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?”

“Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”

Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk.
“Benar, kulihat tadi engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?”


Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan.

“Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga, “mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.”

Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.

“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji.

Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut.

“Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun.

“Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!”

Souw Kee An terkejut dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin.

“Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang telah menyelamatkan Pangeran.”

Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran.

Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong,

“Pangeran, hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini tepat, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapapun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka”.

Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang mengkhawatirkan itu.

Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Kim-coa-to.

Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.

Manusia agaknya merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam daripada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa.

Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tidak dapat terjangkau oleh alam pikirannya, kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak maupun yang tidak.

Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa daripada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidup-nya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau tradisi atau agama masing-masing.

Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah mempersiapkan di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?

Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Namun pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu!

Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita mengagungkan sebutannya belaka sehingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku.

Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan
menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.

Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu!

Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat daripada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu.

Mengapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan? Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperikemanusiaan?

Manusia ber-Tuhan, berperikemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperikemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang.

Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinkah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, maka itu hanyalah ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula.

Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan.

Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan akan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperikemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lain? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!

“Harap Paduka suka hati-hati, karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Paduka memperoleh pengawalan yang kuat.” Bu-taihiap memberi nasihat.

Pangeran itu tertawa.
“Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to.”

“Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka.”

“Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana.”

“Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?”

Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn.
“Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!” Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.

Tidak mengherankan apabila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!

Memang nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tak pernah mengenal puas. itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.

“Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung....” Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh.

Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari tiga orang isterinya!

“Ehh.... ohh berkunjung ke sana mengawal Paduka....” sambungnya cepat.

“Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?” Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.

“Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui Bi.

“Dasar mata keranjang!” Nandini juga mengomel.

Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berobah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, akan tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata,

“Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah banyak dan kurasa mereka tidak berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi.”

Betapapun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap mempergunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niatnya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.

“Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, dia adalah seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan tiga orang isterinya memandang girang. “Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi.”

Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

“Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran.” kata Bu-taihiap. “Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana.”

Demikianlah, setelah mengawal pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.

Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah.

Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.

Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.