FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 025

Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula.

Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa yang mematikan.

Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu.

Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang penting.

Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu gin-kang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia merupakan lawan yang amat berbahaya.

Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam terhadap pria.

Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat daripada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu berahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam.

Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah berahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw Yan Hui berobah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.

Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biarpun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yang Hwi adalah, seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya.

Akan tetapi, semenjak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya. Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biarpun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, namun dibandingkan dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!

Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang. Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah-olah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja.

Sepasang alisnya yang asli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah asli karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.

Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikapnya, caranya memandang dan caranya bicara, menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang telah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung seperti seorang puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri asli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!

Di dalam cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI sudah diceritakan dengan jelas tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es.

Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka berdua mengalami halangan-halangan yang amat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan yang penuh bahaya dan sengsara demi kekasihnya, ketika dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.

Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar sebagai dirinya.

Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara, dan dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam cerita JODOH RAJAWALI.






Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya.

Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri dari pulau itu!

Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda!

Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi dari Bueng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita kedua yang memiliki gin-kang amat hebatnya, Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun dan saling menyayang di pulau itu seperti seorang ratu dan seorang puteri.

Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu!

Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata, wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.

Syanti Dewi walaupun karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis.

Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar!

Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidak senangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!

Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai dengan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi.

Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut!

Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga.

Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syantti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.

“Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!”

Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak ketika dia tersenyum.

“Sahabat, seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi.”

Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.

“Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya hanyalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi”.

Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu.

Kakek itu tertawa.
“Ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasihat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya?”

Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat dari pada kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.

Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!

“Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian.”

Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak,

“Eh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!” Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.

Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan daripada aslinya.

Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata,

“Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu.”

Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berobah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata,

“Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia....“

“Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!” kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berobah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali!

Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata.

“Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia.”

“Dan aku akan menanti balasan di sini.” kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.

Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi.

Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.

“Dewi.” kata Ouw Yan Hui dengan halus.

Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu. Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi.

“Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah?”

“Benar, Enci Hui.” Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip kakak dan adik daripada guru dan murid. “Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu.”

“Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, daripada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan....“

“Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!”

Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.

Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius.

“Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan kehidupanmu. Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!”

“Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apabila terdapat cinta kasih di situ? Apakah kau kira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!”

“Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar? Dewi, apa artinya cinta kasih? Apa kau kira ada cinta kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan....“

“Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan yang kau maksudkan itu....”

“Hi-hi-hik, kau kira aku ini anak kecil, Dewi? Aku melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah berahi....“

“Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua....“

“Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu akan membuat engkau lebih mudah mengatasinya.”

“Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga, betapapun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta.”

“Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau....”

“Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!”

Ouw Yan Hui tertawa lagi.
“Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia berhati palsu! Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani maupun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!”

Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.

“Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini.”

Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.

“Ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

“Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia....”

“Siapa dia? Apa keperluannya?” tanya Syanti Dewi.

“Usir dia pergi!” bentak Ouw Yan Hui suaranya melengking marah sehingga mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.

“Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia....“ Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.

“Keparat berani kau....?”

Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat memegangi kepalanya untuk melihat apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel di lehernya! Ternyata tadi dalam kemarahannya, Ouw Yan Hui telah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.

“Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia.” kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya.

Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.

Kembang indah jelita nan cantik
menarik datangnya kumbang-kumbang beterbangan
membuat banyak tangan ingin memetik
banyak pria berlumba bersaing!
Aku, sastrawan tua pengagum segala nan indah
hanya ingin menikmati dengan pandangan Mata
sebelum kembang jelita dilayukan usia!
Kasihan kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri!
Kalian kembang, habis madu layu sendiri!

“Di mana dia sekarang?”

Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi.

“Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia.” jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.

“Kau persilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya.” kata Syanti Dewi dengan halus. “Nah, pergilah!”

Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh kehormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui.

“Terima kasih atas pengampunan Toanio....“ Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah dan yang baginya seperti neraka menakutkan itu.

“Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya.”

Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus.

“Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!”

Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.

“Siapa namamu?” begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak.

Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.

Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk.
“Namaku Pouw Toan, seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?”