FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 026

“Dengar, orang she Pouw!” kata penjaga itu dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu. “Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!” Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu. “Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!”

Sastrawan itu tersenyum,
“Ah, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siociamu.”

Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu.

“Kau tunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi.”

Kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu. Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik.

Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda.

Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.

“Pamankah yang ingin bertemu dengan aku?” Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.

Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu.

Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan depannya itu sepuasnya!

“Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?”

Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang berlebihan, akan tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa? Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih tersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.

“Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari?”

Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona.
“Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Kau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona daripada sekedar gambaran kosong belaka!”

Heran sekali, ucapan ini jelas mengandung pujian yang disertai celaan akan kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.

“Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang.”

Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk.
“Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu adalah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kau coba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona.”

Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu.

“Engkau seorang ahli peramal?”

“Ha-ha-ha!”

Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin.

“Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang?”

“Paman, siapakah engkau?”

“Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta.”

“Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa?” Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu sebetulnya adalah buatannya sendiri! “Apakah tulisan itu buruk?”

Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu.
“Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!”






Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran.
”Ah, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kau katakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukan termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya.”

“Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!”

Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara lantang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.

“Cinta membutakan mata menulikan telinga pedih perih nyeri merobek-robek hati. Akan tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa selalu mendambakan cinta?”

Pouw Toan lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengarnya dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.

“Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah sama sekali karena hanya akan mendatangkan duka dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!” kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran.

Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisannya yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang.

Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan? Timbul keinginan tahunya.

“Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kau robah sajak itu bagaimana baiknya.”

Kakek itu menggeleng kepalanya.
“Kau kira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Merobahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!”

Syanti Dewi tersenyum.
“Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya.”

“Ahh....!”

Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak bersifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.

“Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merobahnya, Paman.”

Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar.
“Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah tulisan ini!”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak “hidup”, sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya!

Kemudian, ditempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!

Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!

Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, namun huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaannya, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!

“Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang mencinta tidak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan? Bukankah kita mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan tertentu?”

Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.

Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab.
“Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah ingin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan....”

“Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman....“ bantah Syanti Dewi.

“Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang memandangnya. Kalau ketampanannya pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!”

Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali. Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berobah benci!

Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian. Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat? Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia bergidik!

“Paman Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu?” Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.

Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini.
“Nona.... eh.... aku memohon padamu.... bolehkah aku melukis wajahmu....?” Dia pun berbisik.

Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu hampir sama dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!

“Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi.”

“Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu? Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih? Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!”

Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!

Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap.

Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.

“Kau tentu miskin sekali, Paman?”

Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di manapun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!”

“Eh, apa pula maksudmu, Paman?”

“Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian?”

“Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?”

“Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!”

Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.

“Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana?” Dia memancing.

“Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san.”

“Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya kini semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup ditempat masing-masing, sungguhpun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar.”

Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.

“Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu.” tambahnya.

Syanti Dewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin,

“Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?”

Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya.
“Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila....“

“Ehh....?” Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.

“Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tak terpelihara dan dia seringkali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heei, kenapa....?”

Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu! Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum.

Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak mengganggu, membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.

Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguhpun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berobah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.

“Maafkan sikapku, Paman. Akan tetapi aku ingin beristirahat dan tidak dapat menemanimu lebih lama lagi....“

“Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku dan memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini takkan terlupakan selama hidupku.” Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi.

Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah.

Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya “telanjang” sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.

“Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat menolongnya....“ Suaranya gemetar dan makin lirih.

Tanpa disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri.

“Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu.”

“Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi.”

Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata,

“Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya.”

Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya dengan penuh perhatian dan sinar matanya mengandung pertanyaan.

“Siociamu tentu akan memperhatikan nasibmu.” kata Pouw Toan dan giranglah penjaga itu.

Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan itu pun meninggalkan Kim-coa-to. Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.

“Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!” penjaga itu berkata.

Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan, menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.

“Biar siapapun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu.”

Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya.

Akan tetapi dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.

Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguhpun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!

Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguhpun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.

Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya?

Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri.

Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka!

Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!

Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka!

Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka.

Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu!

Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.

Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.

Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!

**** 026 ****