FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 024

“Aih, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu maka tidak mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kau beritahukan kepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhi janji dan untuk menebak teka-tekinya.”

Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subonya tentang hal itu merasa heran sekali.
“Menebak teka-teki....?”

Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara bisikan halus terbawa angin memasuki telinga,
“Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menanti disini!”

“Baik, Subo.” kata Yu Hwi dan diapun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim melalui ilmu mengirim suara dari jauh dan yang mendengar bisikan itu adalah dia seorang.

Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya itu berada di sampingnya dan bicara kepadanya! Demikian hebat kekuatan khi-kang dari subonya itu. Karena merasa malu bicara seperti kepada diri sendiri atau kepada bayangan yang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakek itu,

“Subo minta kepada kalian untuk menghadap kepadanya di taman. Silakan!” Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya tanpa menanti jawaban, lalu melangkah pergi.

“Hebat memang Ilmu Coan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li.” kata kakek itu dan kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapat mendengar bisikan Subonya?

Agaknya tidak mungkin karena sepanjang pengetahuannya, ilmu itu kalau dipergunakan hanya dapat didengar oleh orang yang ditujunya. Dia menoleh dan melihat kakek itu bersama gadis tanggung mengikutinya.

Yang dimaksudkan taman oleh Cui-bengSianli dan muridnya itu adalah sebuah tempat terbuka yang memang indah sekali. Di situ penuh dengan pohon akan tetapi karena ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon kehilangan daunnya yang tinggal hanya batang dan cabang berikut rantingnya yang kini penuh dengan salju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaput es yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauan dan memantulkan cahaya yang beraneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar biasa aneh dan indahnya.

Di tengah taman itu terdapat sebuah kupel, yaitu bangunan tak berdinding, di mana terdapat sebuah meja batu berikut bangku-bangkunya yang mengelilingi meja itu, juga terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada delapan buah, cocok dengan meja yang bentuknya segi delapan itu. Dan diatas sebuah diantara bangku-bangku itu nampak duduk seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.

“Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang,” kata Yu Hwi yang lalu berdiri di belakang subonya.

Wanita cantik itu memutar tubuh dan memandang kepada See-thian Coa-ong, lalu memandang kepada Ci Sian. Wajah yang cantik itu nampak suram seolah-olah dibayangi kedukaan atau kepahitan hidup. Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.

“Duduklah, See-thian Coa-ong.” katanya lembut.

“Terima kasih, Cui-beng Sian-li.” jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalang meja.

Ci-Sian yang tidak dipersilakan duduk tidak mau duduk dan hanya berdiri di belakang kakek itu, seperti yang dilakukan oleh Yu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tak disangkanya bahwa di tempat sunyi seperti ini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan dua orang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa yang menjadi musuh kakek itu, yang namanya begitu menyeramkan, ternyata adalah seorang wanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat menyeramkan.

“Engkau sungguh merupakan seorang kakek yang keras hati, Coa-ong. Tak kusangka bahwa kekalahanmu dahulu itu benar-benar kau tebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam guha itu. Tiga tahun lamanya! Bukan main!”

“Hemm, Sian-li. Seandainya ketika itu engkau yang kalah, apakah engkau juga tidak akan menjalani hukuman seperti yang kita pertaruhkan bersama?”

Wanita itu tersenyum pahit.
“Aku ragu-ragu apakah aku akan setekun engkau memegang janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkau baru tiga tahun bertapa di dalam guha itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapa engkau sudah keluar dan mencariku?”

“Karena sekarang aku sudah mendapat jawaban teka-tekimu!”

“Ah, benarkah? Hemm.... tidak mungkin!”

“Coba dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan tetapi apakah janji pertaruhan itu masih berlaku?”

“Tentu saja.”

“Jadi, kalau jawabanku keliru, aku harus melanjutkan bertapa di dalam guha itu dua tahun lagi, dan kalau benar engkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun.”

“Ya, begitulah, karena yang lima tahun itu telah lewat tiga tahun.”

Kakek itu tertawa.
“Ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah. Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini : Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita? Bukankah begitu pertanyaanmu?”






“Tepat sekali. Nah, kalau memang engkau tahu jawabannya, jawablah.” Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menantang.

“Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah Im. Pria adalah kasar dan kuat, wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memanjakan, ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanita bersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah menundukkan yang kuat. Bukankah begitu jawabannya?”

Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudian tiba-tiba saja dia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, YuHwi terkejut dan marah. Cepat dia melompat dan menyerang kakek itu sambil membentak.

“Kakek iblis, berani engkau membikin susah Guruku?”

Serangan Yu Hwi tentu saja hebat bukan main. Biarpun baru beberapa bulan dia menjadi murid Cui-beng Sian-li dan baru menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh karena sebelumnya memang kepandaiannya sudah tinggi, maka begitu dia menggerakkan Ilmu Kiam-to Sin-ciang, terdengar suara bercuitan dan angin yang amat tajam menyambar kearah kakek tinggi kurus hitam itu!

See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudah mencelat mundur dari bangkunya dan begitu Yu Hwi melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan kedua lengannya itu seperti berubah menjadi pedang tajam yang menyambar-nyambar, kakek ini hanya mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan lengannya yang hitam panjang.

“Hemm, beginikah sikap orang yang kalah taruhan?”

See-thian Coa-ong mendengus dan tiba-tiba terdengar suara melengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan datanglah ratusan ekor ular ketempat itu dari segenap jurusan!

Yu Hwi merasa terkejut sekali akan tetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak.

“Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah.”

Yu Hwi tidak berani membangkang dan dia menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke belakang gurunya. Cun Ciu sudah menghapus air matanya dengan saputangan sutera, kemudian berkata kepada kakek itu.

“Coa-ong, maafkanlah muridku. Simpan kembali ular-ularmu yang menjijikkan itu.”

See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik dan merayap pergi dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak terdengar suara mendesis seperti tadi dan bau amis dari ular-ular beracun telah lenyap pula.

“Ha-ha, aku sudah terlalu tua untuk menggunakan kekerasan, maka terpaksa minta bantuan ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti.” kata kakek itu.

“Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong? Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu? Sudahlah, engkau datang bukan untuk mengadu ilmu silat, melainkan untuk menebak teka-teki dan ternyata engkau menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan tetapi, engkau seorang pria yang selalu tidak pernah berhubungan dengan wanita, bagaimana engkau mampu menjawab dengan begitu tepat?” tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang agak merah.

“Ha-ha, sungguh mati aku tadinya sama sekali tidak mampu menjawab dan jangankan harus bertapa dua tahun lagi, biar dua puluh tahun lagi aku pasti takkan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, Bu-Ci Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu.”

Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnya dengan pandang mata tidak kalah tajamnya.

“Hemm, Coa-ong, muridmu itu sebenarnya masih terlalu kecil untuk dapat menyelami perasaan wanita jatuh cinta. Akan tetapi dia memiliki kecerdasan hebat.”

“Aku bukan murid See-thian Coa-ong!” tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring.

Tang-Cun Ciu memandang dengan heran sekali. Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengan sepasang mata berapi dan tiba-tiba dia seperti melihat seorang lain dalam diri gadis cilik itu.

“Kau.... kau she Bu? Ah, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!” Cui-beng-Sian-li berkata lirih dan sepasang mataya terbelalak. “Engkau.... engkau tentu puteri Bu-taihiap!” Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali. “Engkau.... serupa benar dengan Ibumu dan karena itu engkau harus mampus!”

“Wuuuuttt....!”

Hebat bukan main tamparan yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala Ci-Sian itu. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan agaknya nyawa gadis cilik itu takkan dapat tertolong lagi dari ancaman maut.

“Syuuuut.... dessss!”

Kedua orang sakti itu terhuyung ke belakang dan See-thian Coa-ong tersenyum pahit sambil berkata.

“Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tiga tahun yang lalu? Apakah engkau hendak menodai nama Lembah Suling Emas dengan membunuh seorang anak-anak yang tidak berdosa apa pun kepadamu?”

Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan diapun menarik napas panjang, lengan tangannya masih tergetar hebat oleh tangkisan kakek itu tadi,

“Ahhh.... aku telah lupa diri....! Ah, aku menyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamu segala peristiwa yang menimpa diriku dan mengapa aku bersedih mendengar jawaban teka-tekimu dan mengapa aku hendak membunuh Nona cilik ini.”

Tanpa mempedulikan bahwa yang mendengar ceritanya bukan hanya kakek itu seorang, melainkan juga Yu Hwi dan Ci Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu menceritakan riwayatnya yang seharusnya merupakan rahasia bagi seorang wanita, akan tetapi kini dia ceritakan kepada orang lain tanpa malu-malu, seolah-olah hendak membuka rahasia kebusukannya sendiri! Memang aneh-aneh watak dari orang-orang dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!

Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi karena dia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik dan lihai berjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar dan tokoh besar dari keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas.

Cu San Bu seketika jatuh cinta kepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah. Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertarik sekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudara tertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, adalah suaminya itu telah berusia tigapuluh dua tahun!

Setelah menjadi isteri Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka mempelajari ilmu silat itu memperoleh kemajuan hebat. Suaminya yang.amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepada isterinya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikian hebatnya sehingga tidak berselisih jauh sekali dari para kakak beradik Cu itu sehingga dia diterima sebagai seorang tokoh Lembah Suling Emas pula.

Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karena memang watak mereka pun berbeda, Cu San Bu adalah seorang pendekar yang lebih banyak menahan nafsu-nafsunya dan lebih banyak bersamadhi, sebaliknya Tang Cun Ciu adalah seorang wanita yang berdarah panas, maka dalam pernikahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewa dan banyak menderita tekanan batin!

Suami itu terlalu “dingin” baginya sehingga sering kali dia merasa tersiksa oleh gairah nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan karena suaminya hanya amat jarang mau menggaulinya. Dan karena ketidak serasian ini agaknya maka biarpun sudah menikah bertahun-tahun mereka berdua tidak mendapatkan keturunan.

Makin dewasa usia Tang-Cun Ciu, makin tersiksalah dia karena suaminya menjadi semakin tua dan semakin dingin dalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang panas-panasnya gejolak berahinya, suaminya yang baru berusia empat puluh dua tahun itu sudah jarang mau mendekatinya!

Keadaan seperti ini agaknya tidak akan menimbulkan apa-apa dan lambat laun Tang Cun Ciu tentu akan terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasang suami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling emas. Mereka ini adalah sepasang pendekar yang berusia sekitar tiga puluhan tahun.

Pendekar itu dikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang wanita yang cantik dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakak tertua di antara saudara-saudara Cu itu yang memang merupakan satu-satunya orang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak merantau.

Mereka, suami isteri itu, diterima sebagai seorang sahabat, bahkan mereka ditahan untuk tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempat yang baik untuk bertapa. Memang suami isteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu yang baru saja mereka dapatkan. Dan pada waktu itulah terjadi godaan yang amat hebat menggerogoti hati Tang-Cun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara itu!

Wajah Bu-taihiap yang tampan, tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinar cinta asmara berkilatan dari pandang mata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Dan Bu-taihiap biarpun dia merupakan seorang pendekar sakti yang selain berilmu tinggi juga berbatin kuat, tetap saja masih seorang manusia biasa, seorang manusia laki-laki yang masih muda dan akhirnya diapun tidak kuat menghadapi godaan sinar-sinar cinta asmara yang dikobarkan oleh Tang-Cun Ciu yang kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun terjadilah. Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinaan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap!

Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminya yang kurang memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan kini bertemu dengan seorang pria muda yang berdarah panas dan tidak kalah besar gelora berahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikan seorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar.

Tak puas-puasnya dia meneguk air menyegarkan itu, tak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi isteri pria lain dan bahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggelora dan panas itu adalah suami dari seorang wanita lain!

Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semua orang ditempat itu, termasuk suami Tang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, adalah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudah dikelabuhi dan akhirnya perbuatan mereka berdua itu ketahuan!

Namun, sebagai seorang pendekar besar yang tidak lagi dimabok berahi dan mudah dikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkan keributan. Bu-taihiap merasa malu sendiri. Kalau seandainya suami wanita itu marah-marah dan menyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukul dan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidak marah itu lebih menyakitkan hati bagi Bu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan Lembah Suling Emas bersama isterinya dan semenjak itu tidak pernah nampak lagi atau terdengar beritanya.

Bercerita sampai disini, Tang-Cun Ciu memejamkan kedua matanya dan diam sampai beberapa lama. Ketika dia membuka lagi matanya, kedua mata yang jernih tajam itu agak basah. Dia menarik napas panjang. Dadanya yang masih membusung penuh itu naik turun.

“Sampai sekarang pun aku tak pernah dapat melupakan dia! Aku mencinta mendiang suamiku, hatiku mencinta suamiku yang amat baik kepadaku, akan tetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap.”

Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi, menjadi merah mukanya mendengar cerita subonya dan mendengar pengakuan itu. Pengakuan yang terang-terangan dan yang menurut pendapat dan pandangan umum merupakan pengakuan tidak tahu malu dari seorang isteri!

Wanita itu melanjutkan ceritanya. Biarpun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yang berjina dengan tamunya itu tidak melukai hatinya, namun sesungguhnya dia merasa tertikam batinnya. Dia amat mencinta isterinya, akan tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsu berahi. Dia tidak menyesal karena merasa dirugikan, hanya merasa menyesal mengapa isterinya melakukan perbuatan yang begitu rendah dan memalukan.

Yang lebih memberatkan perasaan batin pendekar ini adalah sikap adik-adiknya. Cu San Bu adalah seorang anak angkat dari ayah ketiga orang saudara Cu. Biarpun dia sudah dianggap anak sendiri dan memakai she Cu, namun tiga orang adiknya itu tahu bahwa dia bukanlah darah daging keluarga Cu.

Biasanya memang sikap Cu-Han Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu kepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesar yang selain paling lihai ilmunya, juga dapat mereka hormati karena sikap dan perbuatan Cu San Bu yang gagah perkasa dan baik, yang selalu menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinaan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekar itu berubah sama sekali!

Tiga orang kakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan twaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa twaso mereka itu terlampau besar dan biarpun twako mereka tidak menganggapnya sebagai dosa, akan tetapi mereka berpendapat bahwa twaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikap twako mereka yang mendiamkannya saja perbuatan hina dan rendah itu, membuat mereka diam-diam merasa penasaran dan membenci twako mereka!

Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batin yang tertekan. Akhirnya, pendekar ini meninggal dunia dalam usia baru empat puluh tahun lebih! Dan sebelum mati, dia sempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada tiga orang adiknya itu agar mereka suka memaafkan Tang-Cun Ciu dan agar wanita itu tetap diperlakukan sebagai twaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tega untuk menentang atau menolaknya.

“Mereka bertiga menerima pesan suamiku, dengan syarat bahwa aku harus tinggal di luar Lembah Suling Emas, dan demikianlah, aku memilih tempat ini, dikaki gunung dan di sebelah bawah dari lembah itu.” Tang Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang amat menarik perhatian tiga orang pendengarnya.

Akan tetapi kakek berkulit hitam itu, yang biarpun selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkap-perangkap cinta asmara namun pandangannya sudah sedemikian waspada sehingga cerita yang didengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidak aneh, lalu bertanya, nadanya penasaran,

“Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu dengan teka-tekimu?”

“Tiga tahun yang lalu, aku mendapat tugas untuk menghadapimu, dan karena dalam ilmu silat kita seimbang dan sukar untuk menentukan siapa kalah siapa menang, maka timbul niatku untuk membuka perasaan hatiku yang penasaran terhadap adik-adik suamiku itu melalui teka-teki ini. Nah, itulah sebabnya maka aku mengajukan teka-teki kepadamu, dengan harapan selain engkau tidak akan mampu menebaknya, juga tiga orang adik suamiku itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat cinta pria dan wanita. Sebagai isteri mendiang suamiku yang sungguh kucinta karena kebaikannya, sebagai seorang wanita, aku membutuhkan kasih sayang yang diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh dicinta dengan mesra, dengan lembut, butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi sikap suamiku yang dingin itu mendatangkan perasaan kepadaku seolah-olah aku tidak dibutuhkannya lagi, tidak dicinta lagi. Seorang wanita, dari yang muda sampai yang tua sekalipun, baru percaya akan cinta kasih seorang pria kalau pria itu memperlihatkannya dengan bukti dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi kemesraan baru akan percaya bahwa dia memang dicintai, maka anehkah kalau aku menyerahkan segala-galanya. Suamiku bersikap dingin, dan sebaliknya, Bu-taihiap bersikap mesra sekali kepadaku, maka anehkah kalau aku menyerahkan diri kepadanya untuk memuaskan kehausanku?”

Makin lama makin merah dan jengah rasa hati YuHwi mendengarkan kata-kata gurunya itu. Sebagai seorang wanita dewasa, tentu saja dia mengerti semua yang dibicarakan. Sedangkan Ci-Sian hanya mendengarkan dengan bengong, biarpun dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak begitu mengerti tentang urusan cinta-mencinta itu.

“Akan tetapi, apakah hubungannya orang she Bu itu denganaku?”

Tiba-tiba Ci-Sian bertanya, suaranya lantang dan mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak menyangka-nyangka akan datang pertanyaan dari bocah itu. Dia memandang wajah Ci-Sian dan alisnya berkerut, pandangannya menjadi tajam dan tidak senang.

“Mukamu sama benar dengan isteri Bu-taihiap! Dan engkau she Bu pula, maka aku menduga bahwa engkau tentulah puteri mereka!”

Ci Sian adalah seorang yang cerdik. Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar karena bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang diceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayah bundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi? Akan tetapi, karena tidak ada bukti dan semua itu hanya dugaan saja, lebih baik kalau dia tidak mengakui hal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan permusuhan dari wanita yang lihai ini.

“Hemm, biarpun aku she Bu, akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa aku adalah puteri mereka, karena itu jangan engkau sembarangan saja menduga-duga dan secara sewenang-wenang hendak membunuhku.” kata Ci Sian, suaranya bernada teguran sehingga Tang Cun Ciu merasa terpukul dan malu.

Untuk menutupi rasa malunya ditegur oleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong.
“Eh, Coa-ong, engkau sekarang mempunyai seorang murid yang agaknya akan menjadi orang yang lihai, biarpun sekarang yang lihai hanya baru mulutnya saja! Pertandingan antara kita sudah selesai, maka marilah kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu she Bu ini, dan aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan kita pertandingkan mereka....”

“Yu Hwi....?”

Tiba-tiba Ci-Sian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng Sian-li itu, memandang tajam karena baru sekarang dia tertarik sedangkan sejak tadi perhatiannya dicurahkan seluruhnya kepada Cui-beng Sian-li. Dia mulai melangkah maju mendekati Yu Hwi yang juga memandangnya penuh perhatian, diam-diam Ci-Sian harus mengakui bahwa Yu Hwi memiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yang putih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.

“Ada apakah dengan engkau?”

Yu Hwi membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa setelah tadi mengucapkan namanya.

“YuHwi....? Mengapa engkau meninggalkan Kam-Hong....?”

Karena tiba-tiba timbul rasa iba kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri pendekar itu yang bernama Yu Hwi telah lari meninggalkannya, maka kini Ci Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.

Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah.

“Apa.... maksudmu....?”

“Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam Hong?”

Kini wajah Yu Hwi berobah merah sekali.
“Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku?”

“Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai mereka.”

“Keparat!”

“Jahanam bermulut lancang!”

Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.

“Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!” teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.

Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang kepada muridnya dan dengan pandang mata tajam dia bertanya.

“Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu?”

“Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri.”

“Dan pemuda itu bernama Hong?”

Yu Hwi mengangguk, lalu dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.

“Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu tidak membalas cinta teecu agaknya. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain. Setelah teecu memberitahu tentang pertunangan itu. Maka ketika dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi.”

Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian, Cun Ciu menarik napas panjang.

“Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!”

“Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!” Yu Hwi berkata. “Teecu tidak menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia? Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu? Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!”

“Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam guha. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun.”

Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subonya kembali ke pondok kecil mungil yang dibangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk twaso mereka. Biarpun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka.

**** 024 ****