FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 023

Walaupun tanpa pedang juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci Sian, namun saking marahnya, dia menghunus pedangnya dan siap menerjang dara remaja itu.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali, sedemikian tinggi suara itu sehingga amat halus menggetarkan jantung! A-ciu menahan gerakannya. Hatinya memang masih gentar terhadap Kam-Hong dan kalau memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia tidak akan berani menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tidak wajar ini, wajahnya berobah dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu dan membohong, pikirnya dan dia menoleh ke kanan kiri. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan bermunculanlah ular-ular dari segala jurusan datang ke tempat itu.

“Ular....!Ular....!”

Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah binatang-binatang itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular besar kecil dan bermacam-macam warnanya.

Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi itu langsung menyerang kepada A-ciu dan para anggauta rombongan itu! A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak laki-laki yang tertawan itu.

“Kalian jangan bergerak keluar dari sini!” katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya dia menggurat tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu.

Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran disitu, tidak seekorpun yang berani melanggar garis bulat yang mengelilingi Si Kembar itu! Keadaan rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul tandu itu melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita dari dalam tiga buah tandu yang dilepaskan itu.

Su-bi Mo-li tentu saja merasa jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri dari serbuan ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua belas orang pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktu singkat mereka itu sudah tergigit ular dan mereka berteriak-teriak ketakutan.

Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yang memanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka maklum bahwa dibelakang dara cilik yang bengal itu terdapat seorang sakti yang membantu. Tidak nampak Pendekar Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular sedemikian banyaknya!

Apalagi melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka dengan menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak berani menghampiri dua orang pemuda itu, maklumlah Su-bi Moli bahwa orang sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan dara cilik itu yang ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular.

Karena mereka berempat masih jerih dan belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua belas orang pemikul tandu itu roboh semua, mereka menjadi semakin jerih dan dengan cepat, mempergunakan ginkang, mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu!

Setelah mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam bibit permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah mengusir ular-ularnya yang merubung tubuh dua belas orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya mengusap tubuh orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh, begitu kena diusap oleh tangan kakek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak kembali lalu bangkit.

“Pergilah kalian dengan tenang.”

Kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu mengangguk hormat, lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Sementara itu, Ci-Sian sudah menghampiri GakJit Kong dan Gak-Goat-Kong berdua yang masih berdiri didalam lingkaran. Ci-Sian tersenyum ramah dan berkata.

“Kalian sudah terbebas dari bahaya, biarlah kubukakan belenggu kedua tangan kalian.”

“Jangan sentuh aku!” tiba-tiba Gak-JitKong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya memancarkan kemarahan.

“Engkau siluman ular!” bentak Gak-GoatKong.

Ci-Sian terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berobah merah. Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah menghinanya! Akan tetapi, dia makin menjadi terkejut melihat dua orang anak laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka dan.... belenggu-belenggu itu putus semua, kemudian pada saat berikutnya, tubuh kedua orang anak kembar itu bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan mereka lalu berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul tandu tadi!

Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya dua pemuda tanggung tadi bukan sembarangan, melainkan memiliki kepandaian yang cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai daripada dia sendiri. Ketika mematahkan belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan tawanan? Dan mengapa mereka itu marah-marah kepadanya yang telah berusaha menolong mereka?

Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa yang tertawa adalah See-thian Coa-ong.

“Kenapa kau tertawa?” Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak karena hatinya terasa semakin mengkal.

“Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain? Kau lihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau hanya merasa kecewa saja. Dua orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan, dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja ditawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali.”






“Akan tetapi.... bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!”

Ci Sian berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju, kini kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda tanggung kembar itu!

Memang demikianlah. Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan mencoba untuk melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, lalu kita sabar-sabarkan dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat kita menjadi sabar dan tenang.

Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala di dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi. Seperti api dalam sekam. Kalau mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya!

Maka kita akan terperosok kedalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan, marah lagi bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah diri kita sendiri.Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah!

Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda apabila diwaktu kemarahan timbul kita hanya mengamatinya saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang mengamati, karena begituada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan. Pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!

Dari manakah timbulnya kebencian? Kalau kita semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku merasa dirugikan,baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang, kedudukan nama dan sebagainya, maupun dirugikan secara batiniah, seperti dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah kemarahan yang melahirkan kebencian.

Kebencian ini seperti racun menggerogoti batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci, menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam!

Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran membenarkan kebencian dengan berbagai dalih, kadang-kadang pula menyalahkan.Terjadilah konflik batin ini memboroskan enersi batin. Pemborosan enersi batin ini memupuk dan memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran bekerja terus mengingat-ingat dan menghidupkan segala hal yang terjadi, yang merugikan kita dan mendatangkan kebencian itu. Padahal kebencian itu adalah aku sendiri, kebencian adalah pikiran itulah! Pikiran menciptakan aku dan karena aku dirugikan, timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.

Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada hanya pengamatan terhadap kebencian itu, berarti pikiran menjadi hening, pengamatan tanpa penilaian terhadap kebencian, maka kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh pikiran yang menilai-nilai. Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian akan lenyap dengan sendirinya, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran yang mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah merupakan bahak bakar.

Baik kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi suku,demi bangsa, dan sebagainya, pada hakekatnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung si aku yang merasa dirugikan.Si aku dapat berkembang menjadi sukuku, bangsaku, agamaku, keluargaku, dan selanjutnya.

Kembali See-thian Coa-ong tertawa mendengar gadis itu marah-marah.
“Mengapa marah? Engkau muncul di antara ratusan ekor ular, tentu dua orang muda kembar itu mengira bahwa engkau adalah siluman ular!”

“Ah, kalau begitu, Coa-ong, aku tidak sudi belajar ilmu ular!” kata Ci Sian dan dia pun lalu menjatuhkan diri duduk diatas tanah sambil menggosok kedua matanya! Hatinya sakit sekali dimaki orang sebagai siluman ular tadi!

See-thian Coa-ong tersenyum lebar.
“Aih, Ci Sian, mengapa engkau mempedulikan amat segala pendapat orang lain? Disebut Raja Ular seperti aku, atau Siluman Ular, atau sebutan apa pun, apakah artinya? Itu hanya sebutan yang diucapkan oleh bibir saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting adalah perbuatan kita dalam hidup. Apa artinya disebut dewa kalau tindakannya lebih jahat dari pada setan? Sebaliknya, apa salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau hidupnya melalui jalan benar?”

Seorang anak perempuan yang biasa dimanja seperti Ci-Sian, mana dapat menangkap ucapan seperti itu?

“Pula,kalau tidak ada sahabat-sahabat ular tadi yang membantu, apa kau kira empat orang wanita itu mau melarikan diri meninggalkan engkau?”

Ci-Sian sadar kembali dan dia dapat melihat betapa pentingnya kepandaian menguasai ular-ular itu yang sewaktu-waktu dapat dipakai membela diri dan melindungi keselamatannya dari gangguan orang- orang jahat! Maka dia berhenti menangis.

“Su-bi-Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah mengaku kepada Paman Kam bahwa mereka adalah utusan dari Sam-thaihouw. Entah siapa Sam-thaihouw itu.”

See-thian Coa-ong juga tidak mengerti dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Ci-Sian tidak dapat mengingat lagi jalan yang amat sukar dan berkeliling itu. Melalui celah-celah jurang yang amat curam, menuruni tebing dan mendaki bukit-bukit. Kalau bukan orang yang sudah benar-benar hafal akan jalan disitu, tidak akan mungkin dapat mengunjungi tempat ini. Agaknya See-thian Coa-ong sudah hafal akan jalan disitu dan beberapa hari kemudian, setelah mengelilingi sebuah gunung besar, barulah mereka tiba di perbatasan tempat yang hendak dikunjungi kakek itu.

“Nah, inilah perbatasan yang berada disebelah bawah Lembah Suling Emas. Di atas sana itulah lembah gunung itu, dan kalau tidak tahu jalan rahasia menuju ke sana, jangan harap dapat mengunjunginya. Kecuali menyeberangi jurang yang harus menggunakan jembatan tambang yang hanya dapat dipasang atas kehendak tuan rumah. Wanita yang menjadi lawanku itu tinggal di bawah sini. Hati-hati, jangan sembrono, kita sudah memasuki daerah kekuasaannya.”

“Daerah kekuasaan yang kau sebut Cui-beng Sian-li?” tanya Ci Sian berbisik dan kakek itu mengangguk.

Mereka maju terus di sepanjang dinding gunung yang amat tinggi. Ketika mereka menikung, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi. Dari jauh sudah Nampak bahwa yang berkelahi itu adalah seorang gadis cantik jelita melawan seorang pemuda tanggung yang berpakaian pemburu, memegang busur dengan tangan kiri dan di punggungnya tergantung tempat anak panah.

Biarpun pemuda tanggung itu kelihatan kuat dan mempergunakan senjata busur di tangan kiri untuk melawan, namun ternyata dia terdesak hebat oleh pukulan-pukulan wanita cantik itu yang menggunakan kedua tangannya yang dibuka dan dimiringkan, membacok-bacok seperti dua batang pedang atau golok. Dan See-thian Coa-ong terkejut bukan main melihat betapa sambaran tangan wanita cantik itu mengeluarkan suara bercuitan, tanda bahwa sinkangnya telah kuat sekali!

Sementara itu, setelah tiba dekat dan dapat melihat mereka dengan jelas, Ci-Sian segera mengenal pemuda pemburu itu sebagai pemburu muda yang pernah menolongnya ketika dia hendak dibunuh oleh Su-biMo-li dahulu! Maka, tanpa diminta, dia sudah meloncat kedepan dan membentak sambil menyerang wanita cantik itu.

Baru saja dia marah-marah kepada Su-biMo-li dan wanita itupun cantik, usianya tentu sudah duapuluh lima tahun, biarpun jauh lebih cantik dibandingkan Su-bi Mo-li, akan tetapi ada persamaannya, yaitu seorang wanita dewasa yang cantik.

“Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabatku!”

Sambil berteriak demikian Ci-Sian sudah menerjang maju dan memukul wanita itu kalang-kabut. Tentu saja wanita itu menjadi terkejut, akan tetapi dia tersenyum mengejek melihat bahwa serangan Ci Sian itu biasa dan tidak berbahaya. Dengan mudahnya wanita cantik itu mengelak dan sebelum Ci Sian menyerang lagi, pemuda tanggung itu sudah berseru kepadanya sambil melompat keluar dari kalangan pertandingan.

“Eh, Nona, harap jangan salah sangka! Kami hanya saling menguji kepandaian, bukan berkelahi!”

Mendengar ini, tentu saja Ci Sian juga tidak melanjutkan serangannya dan dia memandang dengan heran. Siapakah dua orang itu dan mengapa mereka berada di tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?

Ci Sian tidak keliru mengenal orang. Memang pemuda tanggung itu adalah Sim-Hong Bu, pemuda pemburu yang kini telah menjadi murid keluarga Cu di Lembah Suling Emas itu.

Dan baru sekarang dia bertemu dengan wanita cantik yang mengadu ilmu silat dengan dia, dan belum dikenalnya benar sungguhpun tadi wanita itu telah memperkenalkan diri. Setelah tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu di bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan Ji-suhu dan Sam-suhu baginya, yaitu guru ke dua dan guru ke tiga.

Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak pernah melupakan kesenangan memburu binatang yang telah menjadi pekerjaannya semenjak dia kecil, maka diwaktu terluang dia selalu membawa busur dan anak panah untuk memburu binatang disekitar lembah, dan hasil buruannya lalu diserahkan pekerja di dapur untuk dimasak dan untuk hidangan sekeluarga Cu. Pada pagi hari itu, ketika dia berburu dan tiba diperbatasan lembah yang hanya dapat ditempuh melalui jalan rahasia yang hanya dikenal oleh orang-orang Lembah Suling Emas, dan yang telah diberitahukan kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu!

Keduanya terkejut. Hong Bu segera menjadi curiga karena menurut para gurunya, tidak boleh ada orang luar memasuki daerah Lembah Suling Emas. Pula, daerah itu merupakan daerah rahasia yang tidak dikenal orang luar, bagaimana tahu-tahu ada wanita cantik muncul disitu?

“Siapa engkau?” tegurnya.“Berani benar engkau memasuki daerah Lembah Suling Emas tanpa ijin!”

Wanita cantik itu juga kelihatan terkejut dan heran, apalagi melihat sikap pemuda tanggung itu seperti seorang pemburu, maka dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pemburu yang salah jalan. Yang membuat dia terheran-heran adalah teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu berhak mengatur orang lain yang berada di tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek.

“Eh, bocah lancang. Engkaulah yang lancang berani memasuki daerah terlarang ini. Siapa engkau?”

Melihat sikap ini dan mendengar pertanyaan itu, Hong Bu menjadi ragu-ragu. Dia belum lama menjadi penghuni lembah itu dan belum mengenal betul semua anggauta keluarga majikan lembah. Siapa tahu kalau-kalau wanita cantik ini juga merupakan seorang anggauta keluarga, atau seorang murid, atau seorang pelayan! Maka dia pun bersikap halus dan cepat-cepat memperkenalkan diri.

“Aku adalah murid dari majikan lembah ini.”

Wanita itu tersenyum lebar dan nampak cantik sekali, akan tetapi sikapnya memandang rendah.
“Aih, kiranya engkaukah yang datang bersama Yeti itu? Subo telah bercerita tentang dirimu. Bukankah engkau yang bernama Sim-HongBu itu?”

“Benar....” Hong Bu menjadi semakin ragu karena dia yakin bahwa wanita ini tentu keluarga atau murid dari lembah itu. “Dan....siapakah engkau, Cici?”

“Aku? Engkau harus menyebut Suci (Kakak Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li Tang-Cun Ciu adalah Suboku.”

Hong-Bu terkejut mendengar ini, dan juga merasa heran. Twaso dari para gurunya itu, yang dia harus menyebut Supekbo, adalah seorang wanita yang masih kelihatan muda dan cantik. Muridnya ini juga seorang wanita dewasa yang cantik, dan kalau Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun muridnya ini tentu sudah ada dua puluh lima tahun. Pantasnya mereka itu adalah kakak beradik, bukan guru dan murid! Akan tetapi dia segera memberi hormat.

“Ah, harap Suci maafkan, karena aku belum mengenal semua keluarga, maka aku tidak tahu bahwa Suci adalah murid dari Supek-bo.”

Wanita itu tertawa.
“Tidak apa, Sute. Aku pun belum lama menjadi murid Subo. Engkau sungguh beruntung bisa menjadi murid Lembah Suling Emas, bahkan menurut Subo, engkau akan mewarisi pedang Koai-liong-pokiam. Entah bagaimana sih lihaimu maka engkau dipilih? Sute, kita adalah orang sendiri. Aku adalah Sucimu dan namaku Adalah Yu Hwi. Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih sebentar karena aku ingin sekali mengukur sampai dimana kepandaian silatmu.”

“Ah, aku belum belajar apa-apa, Suci....“ Hong Bu berkata.

Akan tetapi wanita itu mendesak dengan kata-kata yang tegas.
“Sute, murid Lembah Suling Emas tidak boleh bersikap lemah. Apalagi aku hanya ingin mengujimu, apa salahnya? Hayo, kau sambut ini!”

Dan wanita itu lalu menyerangnya. Hong-Bu terkejut sekali karena gerakan wanita itu sungguh amat lihai. Maka dia cepat mengelak dan terpaksa dia melayani sucinya itu. Namun, biarpun dia menggunakan busurnya sebagai senjata, tetap saja dia terdesak hebat.

Tentu saja, karena wanita itu adalah Yu Hwi, yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu masih mengenal wanita lihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang semenjak kecil diculik dan diambil murid oleh Hek-sin Touw-ong, raja maling yang luar biasa lihainya itu.

Seperti telah diceritakan dalam kisah Sepasang Jodoh Rajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dan suka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukan lain adalah Kam Hong! Dia merasa malu, dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasa kecewa, sungguhpun harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dan gagah dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil.

Dara yang keras hati ini melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi. Seperti telah diceritakan dibagian depan dari cerita ini, perbuatannya itu membuat KamHong, calon suaminya yang telah dijodohkan dengan dia sejak mereka berdua masih kecil, merana dan pendekar ini rnencari-carinya selama lima tahun tanpa hasil!

Dan memang dugaan dan harapan Kam-Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai orang kangouw yang menuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorang dara murid Si Raja Maling, dan dalam hal permalingan memang dia lihai bukan main, maka mendengar bahwa ada orang mencuri pedang pusaka dari istana dan membawanya lari ke Himalaya, hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Ingin dia melihat siapa malingnya yang demikian berani dan lihai, dan ingin dia menguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggegerkan dunia kang-ouw dan yang telah menarik hati semua orang kang-ouw untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.

Akhirnya, dalam perantauannya ke-Himalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dan kakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tiba di perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang-Cun Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!

Di tempat inilah bertemulah Yu Hwi dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Ketika mendengar bahwa dara cilik itu adalah murid Hek-sin Touw-ong yang hendak mencari pencuri pedang pusaka, Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya.

Yu Hwi tekejut bukan main, dan juga kagum karena ternyata kepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan masih lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling! Maka tunduklah hati dara yang keras ini dan dia pun mengangkat guru kepada Cui-beng-Sian-li yang juga merasa suka kepada Yu Hwi.

Demikianlah sedikit riwayat dari YuHwi yang kini bertemu sutenya, karena keduanya adalah para murid-murid daripara tokoh Lembah Suling Emas dan dalam kesempatan itu, Yu Hwi sengaja menguji kepandaian sutenya yang dilihat oleh Ci Sian sehingga gadis cilik ini turun tangan hendak membantu Hong Bu.

Kini Yu Hwi yang berdiri di samping Hong Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada See-thian Coa-ong dengan alis berkerut.

“Sute, engkau kenal mereka?” tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.

“Aku tidak mengenal kakek itu, Suci, dan Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju.”

Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya dua orang yang datang ini bukan keluarga atau sahabat sutenya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yang datang bersama gadis cilik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka diapun menghadapi kakek itu dan berkata dengan suara tegas.

“Kalian berdua telah memasuki daerah kami yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkan tempat ini. Kalau disengaja, harap katakan apa keperluan kalian datang kesini dan siapa adanya kalian berdua!”

See-thian Coa-ong tersenyum ramah.
“Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah See-thian Coa-ong, hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.”

Terkejutlah Yu Hwi mendengar ini dan dia menjadi semakin curiga.
“Sute, harap kau pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini.”

Hong Bu mengangguk.
“Baiklah, aku pergi dulu, Suci.”

Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak mereka berpandangan. Kedua orang muda remaja ini semenjak bertemu memang merasa saling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka bertemu lagi dalam waktu sesingkat itu, tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.

“Nona, kuharap keadaanmu akan baik selalu.” akhirnya Hong Bu berkata.

“Terima kasih, kuharap engkau pun begitu pula.” jawab Ci Sian.

“Sute, pergilah....“ desak Yu Hwi, mengingat akan pentingnya urusan yang dihadapinya.

Kakek ini jelas bukan orang Han, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subonya, tentu ada urusan yang amat gawat. Apalagi melihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmu tinggi. Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia belum berkenalan dengan gadis cilik itu. Maka dia membalik lagi dan berkata cepat,

“Namaku Sim Hong Bu.”

Ci Sian tersenyum.
“Dan namaku Bu-Ci Sian.”

Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya.
“Sampai jumpa!” katanya dan diapun berlari cepat meninggalkan tempat itu, menghilang dibalik batu-batu besar.

Dia harus melalui jalan rahasia untuk kembali ke daerah Lembah Suling Emas di atas sana, jalan rahasia terowongan yang hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Suling Emas saja.

Sementara itu, Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coa-ong.
“Guruku tidak begitu mudah ditemui, dan dia tidak suka diganggu.”