Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak ke dua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan liar Tambolon. Apalagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya, Mauw Siauw Mo-li.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biarpun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah.
Setelah merebahkan tubuh yang mukanya kini pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di ludahnya sekalipun!
Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Andaikata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan bingung.
Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja dia mengerahkan sin-kangnya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng.
Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apalagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.
“Jangan....! Hentikan itu....!” katanya sambil bangkit duduk.
“Tenanglah, Nona. Aku akan berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu....”
“Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu.... engkau mencari celaka sendiri....!” Ceng Ceng menolakkan kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri. “Engkau malah meracuni dirimu sendiri....” katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.
“Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi....”
“Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka.... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu.”
Kian Lee memandang kedua telapak tangannya.
“Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut.”
Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut ketika dia bertanya,
“Engkau mengenalku?”
Kian Lee mengangguk.
“Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu.”
Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandang mata Pangeran Yung Hwa, sungguhpun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya!
“Kenapa.... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!”
Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala.
“Aku tidak akan mati, Nona, dan andaikata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”
“Hemm, kau siapakah namamu?”
“Namaku Suma Kian Lee dan.... ohh, engkau kenapa, Nona?”
Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, akan tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.
Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.
“Engkau pernah kulihat.... ah, lupa lagi aku di mana....”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biarpun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah.
Setelah merebahkan tubuh yang mukanya kini pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di ludahnya sekalipun!
Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Andaikata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan bingung.
Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja dia mengerahkan sin-kangnya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng.
Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apalagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.
“Jangan....! Hentikan itu....!” katanya sambil bangkit duduk.
“Tenanglah, Nona. Aku akan berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu....”
“Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu.... engkau mencari celaka sendiri....!” Ceng Ceng menolakkan kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri. “Engkau malah meracuni dirimu sendiri....” katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.
“Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi....”
“Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka.... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu.”
Kian Lee memandang kedua telapak tangannya.
“Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut.”
Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut ketika dia bertanya,
“Engkau mengenalku?”
Kian Lee mengangguk.
“Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu.”
Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandang mata Pangeran Yung Hwa, sungguhpun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya!
“Kenapa.... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!”
Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala.
“Aku tidak akan mati, Nona, dan andaikata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”
“Hemm, kau siapakah namamu?”
“Namaku Suma Kian Lee dan.... ohh, engkau kenapa, Nona?”
Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, akan tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.
Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.
“Engkau pernah kulihat.... ah, lupa lagi aku di mana....”
“Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo....”
Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.
“Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.
Ceng Ceng menggeleng kepala lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi.
“Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan.... biarkan aku pergi saja dari sini....”
“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!”
Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.
“Sute, kau kenapa....?” Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. “Ahh, kau keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.
“Dia.... dia keracunan.... ketularan oleh racun di tubuhku....” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi....” Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.
“Dia keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!”
Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok. Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi.
Biarpun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.
Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apalagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.
“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini suteku.”
Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng.
“Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau....?”
Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suhengnya, maka cepat dia berkata,
“Nona Lu, dia ini adalah suhengku, Gak Bun Beng.... Eh, kenapa?”
Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng seperti orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.
“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati....!”
Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.
“Suheng....”
Kian Lee memandang Gak Bun Beng dan dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sutenya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sutenya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.
“Yok-kwi, kalau engkau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!” kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.
Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.
“Yok-kwi, bagaimana?”
Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.
Yok-kwi menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan. “Pukulan yang diterima oleh gadis ini, pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!”
“Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?” Bun Beng membentak tak sabar.
Kakek itu memandang kepada Bun Beng.
“Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekalipun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apalagi sutemu ini memiliki sin-kang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini.... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi.... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati....”
“Tidak....!” Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati....!”
Gak Bun Beng menarik napas panjang.
“Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai seorang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”
Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali.
“Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li akan tetapi sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada, ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang ke empat adalah suhengku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri.”
“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah....” Kian Lee berkata, penuh semangat.
“Apa....? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, “Ah, maaf.... maaf.... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguhpun tidak beruntung dapat melihat ayahnya.”
“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu. “Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”
“Suheng, habis bagaimana baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya....”
Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biarpun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.
“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suhengmu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun.”
“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan suteku biarlah kukeluarkan dengan sin-kang....”
“Jangan, Gak-taihiap. Engkau sudah melihat sendiri betapa sutemu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa ini yang membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sin-kang tentu akan membuat engkau ketularan pula.”
Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.
Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia lalu meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya dan kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng,
“Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”
Gak Bun Beng terkejut dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini.
“Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian....”
Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee.
“Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu.”
Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk.
Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng!
Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan.... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!
Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya,
“Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona....” nada suaranya girang dan penuh harapan. “Bagaimana rasanya tubuhmu....?”
Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan.
“Saudara Suma Kian Lee.... bagaimana tanganmu....?”
Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata,
“Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi.”
“Berapa lamanya aku tidur.... eh, tak sadarkan diri?”
“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam....”
Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan seringkali berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.
“Dua hari dua malam....? Dan selama itu.... kau terus merawat dan menjaga aku....?”
Kian Lee tersenyum.
“Ah, sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan, engkau telah memperoleh obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi.... ah....,”
Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!
“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu.... eh, Nona, kau.... kau menangis?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi!
Seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi! Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa!
Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia.... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab. Tiba-tiba dia teringat!
“Ah, di mana dia....?”
Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.
“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh.... beristirahatlah dulu....”
Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!
Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.
“Gak-suheng....” Kian Lee berkata menyambut suhengnya.
Bun Beng tersenyum.
“Ah, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”
Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng.
“Apakah namamu Gak Bun Beng?”
Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!
“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah mendengar namaku itu?”
“Mendengar....? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!
Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee.
“Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?”
Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari.
“Harap.... harap kau jangan membohongi aku....” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati....! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”
“Ohhh....!”
“Ahhhh....!”
Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.
“Aihh, Nona Lu, sadarlah.... ingatlah.... ah, harap kau istirahat dulu....”
Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.
Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.
“Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.
Ceng Ceng menggeleng kepala lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi.
“Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan.... biarkan aku pergi saja dari sini....”
“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!”
Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.
“Sute, kau kenapa....?” Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. “Ahh, kau keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.
“Dia.... dia keracunan.... ketularan oleh racun di tubuhku....” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi....” Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.
“Dia keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!”
Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok. Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi.
Biarpun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.
Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apalagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.
“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini suteku.”
Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng.
“Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau....?”
Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suhengnya, maka cepat dia berkata,
“Nona Lu, dia ini adalah suhengku, Gak Bun Beng.... Eh, kenapa?”
Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng seperti orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.
“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati....!”
Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.
“Suheng....”
Kian Lee memandang Gak Bun Beng dan dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sutenya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sutenya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.
“Yok-kwi, kalau engkau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!” kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.
Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.
“Yok-kwi, bagaimana?”
Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.
Yok-kwi menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan. “Pukulan yang diterima oleh gadis ini, pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!”
“Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?” Bun Beng membentak tak sabar.
Kakek itu memandang kepada Bun Beng.
“Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekalipun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apalagi sutemu ini memiliki sin-kang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini.... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi.... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati....”
“Tidak....!” Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati....!”
Gak Bun Beng menarik napas panjang.
“Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai seorang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”
Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali.
“Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li akan tetapi sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada, ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang ke empat adalah suhengku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri.”
“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah....” Kian Lee berkata, penuh semangat.
“Apa....? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, “Ah, maaf.... maaf.... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguhpun tidak beruntung dapat melihat ayahnya.”
“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu. “Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”
“Suheng, habis bagaimana baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya....”
Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biarpun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.
“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suhengmu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun.”
“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan suteku biarlah kukeluarkan dengan sin-kang....”
“Jangan, Gak-taihiap. Engkau sudah melihat sendiri betapa sutemu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa ini yang membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sin-kang tentu akan membuat engkau ketularan pula.”
Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.
Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia lalu meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya dan kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng,
“Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”
Gak Bun Beng terkejut dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini.
“Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian....”
Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee.
“Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu.”
Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk.
Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng!
Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan.... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!
Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya,
“Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona....” nada suaranya girang dan penuh harapan. “Bagaimana rasanya tubuhmu....?”
Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan.
“Saudara Suma Kian Lee.... bagaimana tanganmu....?”
Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata,
“Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi.”
“Berapa lamanya aku tidur.... eh, tak sadarkan diri?”
“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam....”
Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan seringkali berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.
“Dua hari dua malam....? Dan selama itu.... kau terus merawat dan menjaga aku....?”
Kian Lee tersenyum.
“Ah, sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan, engkau telah memperoleh obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi.... ah....,”
Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!
“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu.... eh, Nona, kau.... kau menangis?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi!
Seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi! Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa!
Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia.... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab. Tiba-tiba dia teringat!
“Ah, di mana dia....?”
Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.
“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh.... beristirahatlah dulu....”
Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!
Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.
“Gak-suheng....” Kian Lee berkata menyambut suhengnya.
Bun Beng tersenyum.
“Ah, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”
Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng.
“Apakah namamu Gak Bun Beng?”
Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!
“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah mendengar namaku itu?”
“Mendengar....? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!
Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee.
“Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?”
Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari.
“Harap.... harap kau jangan membohongi aku....” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati....! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”
“Ohhh....!”
“Ahhhh....!”
Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.
“Aihh, Nona Lu, sadarlah.... ingatlah.... ah, harap kau istirahat dulu....”
Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar