Mulai malam itu, dimulai dengan penyerbuan pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun, terjadilah perang yang seru dan dahsyat, yang mengerikan karena semenjak malam itu sampai beberapa hari lamanya terjadilah pembunuhan dan pembantaian antara manusia, bahkan antara bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia tewas di ujung senjata tajam!
Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika tiba-tiba ada laporan bahwa Koan-bun diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu berahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan.
Mereka semua mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu oleh Hektiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan liar Tambolon.
Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul. Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!
Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua perajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng.
Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan. Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para perajurit pemberontak yang dahulu adalah bekas anak buahnya.
Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha pemberontakan berhasil seluruhnya.
“Kim Bouw Sin pemberontak rendah!”
Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar perajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng.
“Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau menakluk dan mengakui dosamu daripada mengorbankan nyawa ribuan perajurit yang hanya terkena hasutanmu!”
“Keparat dia! Hujani anak panah!”
Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para perajurit, karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan perajurit yang berada di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.
“Lepaskan anak panah!”
Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.
Para perajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao dan tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu.
“Taihiap, kau lindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!”
Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang kini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.
“Ciangkun, awas....!”
Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu sehingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring dan seorang perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia tewas seketika.
Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu dan mulailah perang yang amat dahsyat terjadi di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.
Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika tiba-tiba ada laporan bahwa Koan-bun diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu berahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan.
Mereka semua mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu oleh Hektiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan liar Tambolon.
Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul. Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!
Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua perajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng.
Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan. Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para perajurit pemberontak yang dahulu adalah bekas anak buahnya.
Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha pemberontakan berhasil seluruhnya.
“Kim Bouw Sin pemberontak rendah!”
Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar perajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng.
“Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau menakluk dan mengakui dosamu daripada mengorbankan nyawa ribuan perajurit yang hanya terkena hasutanmu!”
“Keparat dia! Hujani anak panah!”
Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para perajurit, karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan perajurit yang berada di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.
“Lepaskan anak panah!”
Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.
Para perajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao dan tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu.
“Taihiap, kau lindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!”
Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang kini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.
“Ciangkun, awas....!”
Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu sehingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring dan seorang perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia tewas seketika.
Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu dan mulailah perang yang amat dahsyat terjadi di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.
Maka terjadilah perang tanding di luar pintu gerbang benteng sebelah selatan. Memang perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dan dia hendak menggunakan kemenangan jumlah pasukan ini untuk menggempur dan menghancurkan pasukan Jenderal Kao.
Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya. Segera dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya berpencar, sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai di barat kota Teng-bun.
Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula membagi bagi pasukannya dan karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-rubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di selatan itulah yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.
Akan tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah paglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidaklah mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Dua hari dua malam perang telah berlangsung dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing.
Pada hari ke tiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun.
Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan tergabung ini melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para perajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.
Biarpun pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka telah goyah, pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah kelelahan dan turun semangat. Semua ini tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah.
Dia dan kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat. Demikian takutnya dia sehingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.
Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan.
Memang sejak dahulu dia merasa jerih terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su. Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan kalah, dan andaikata keadaan mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng.
Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana datang membantu Jenderal Kao Lian. Dan atas permintaannya, terpaksa Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin.
Mulailah Tek Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang berhasil membangkitkan semangat para perajurit pemberontak, dan kini pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari ke empat, bobollah pintu selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para perajurit pemberontak yang terus mundur memasuki kota.
Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan timur, merobohkan banyak perajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.
Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan harinya.
Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang campuh tadi.
Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong, untuk merebut kemuliaan di kota raja!
Biarpun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andaikata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi. Dan dia merasa pula bahwa betapapun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan.
Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya? Sungguhpun dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.
Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apabila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng.
Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapapun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.
“Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?” terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.
“Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu akan hal ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja.”
“Untung kita!” Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. “Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!”
“Sstttt...., kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu,” bisik Lam-thian Lo-mo. Kereta berhenti di belakang Istana yang gelap.
Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.
Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta.
“Kau tunggu di sini sebentar!”
Kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti perajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang. Kusir itu menjawab singkat,
“Baik, Locianpwe.”
Memang semua perajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim, mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semua menyebut mereka “locianpwe”. Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk menanti dan memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, sesuai dengan kehendak pangeran agar tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua perajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.
Beberapa saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung.
Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka.
Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta. Di depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya dan berkata, suaranya tetap tenang namun penuh penyesalan dan kemarahan.
“Pangeran, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tak kusangka bahwa aku akan dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota raja.”
“Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke manapun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm.... kita akan bersenang-senang....”
“Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau pangeran sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!”
Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.
“Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apapun juga selalu cerewet!” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!” Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.
“Perempuan memang harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya.”
Pak-thian Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.
Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang kasar ini. Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu daripada dipaksa.
Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat mengganggunya, dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan tabah. Masih belum terlambat baginya untuk mempergunakan pisau yang disembunyikan di dalam lipatan bajunya apabila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.
Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.
“Kusir dungu! Hayo jalan!”
Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.
“Baik, Locianpwe!” jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.
Kereta bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.
“Locianpwe, saya belum tahu harus pergi ke mana....” Kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.
“Pangeran, harap memberitahukan jalannya,” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Terus saja,”
Kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang lain saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek Hoat.
“Setelah tiba di pintu gerbang barat, membelok ke selatan kurang lebih satu li.”
Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu seorang yang berpakaian perajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.
Setelah tiba di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang.
Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan kereta melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.
“Terus masuk ke dalam hutan,” Pangeran Liong berkata. “Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan.”
Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.
“Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi,” kata Pangeran itu. “Perhatian mereka akan tercurah ke benteng semua sehingga kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju ke selatan.”
Kusir kereta itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil bercakap-cakap.
Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh,
“Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari kereta.”
“Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?” Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.
“Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat daripada di dekat api ini.” Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.
Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah.
Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka. Kini, melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun.
Akan tetapi mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.
Karena senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.
“Apa katamu?” Hek-wan Kui-bo bicara lirih kepada Pat-thian Lo-mo. “Kalau sampai di kota raja kedua pangeran itu gagal? Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa gagal? Setidaknya sebelum aku pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan untuk mengambil banyak barang berharga dari istana dan hasil itu pun sudah lumayan untuk menutup kegagalanku.”
“Uhh, apa artinya harta kekayaan bagi kita yang sudah tua?” Lam-thian Lo-mo mencela.
“Kalau begitu, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal pula di istana?” tanya nenek itu.
“Kami tidak mau mencuri barang berharga akan tetapi kami akan membawa dia....” Lam-thian Lo-mo menggerakkan kepalanya ke arah kereta.
“Eihh....? Puteri Bhutan?” nenek itu bertanya dan melihat dua orang kakek itu mengangguk, dia bertanya, “Untuk apa? Apakah kalian ini kiranya bandot-bandot tua bangka pula seperti Pangeran Liong?”
“Bodoh!” Pak-thian Lo-mo mencela. “Kami antar dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan berusaha mencapai kedudukan tinggi.”
“Aih, kiranya kalian benar-benar gila pangkat.” Nenek itu berkata geli dan pada saat itu, terdengar jerit tertahan dari dalam kereta.
“Hi-hi-hik, Pangeran itu sungguh tidak sabar lagi!” Hek-wan Kui-bo terkekeh. “Apa dia hendak memaksa Puteri Bhutan di ruangan kereta yang sempit itu?”
“Tidak....! Jangan menyentuhku!” Terdengar suara Syanti Dewi menjerit marah. “Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau hanyalah seorang laki-laki keji dan hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat menyentuhku, lihat apa yang kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih dulu aku akan menjadi mayat!” .
Tiga orang tua lihai yang tadinya hanya tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta, menjadi kaget juga mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak makin heran dan kaget ketika mereka melihat betapa kusir kereta yang tadinya menggunakan kain menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini menghampiri pintu kereta dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.
“Heiii, kusir tolol! Mau apa kau?” Hek-wan Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka melihat kusir itu membuka pintu kereta dengan paksa lalu meloncat ke dalam kereta. Terdengar teriakan Pangeran Liong, teriakan mengerikan dan disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir tadi yang telah memondong tubuh Syanti Dewi yang meronta-ronta dan berteriak-teriak,
“Lepaskan aku!”
Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya. Segera dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya berpencar, sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai di barat kota Teng-bun.
Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula membagi bagi pasukannya dan karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-rubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di selatan itulah yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.
Akan tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah paglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidaklah mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Dua hari dua malam perang telah berlangsung dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing.
Pada hari ke tiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun.
Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan tergabung ini melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para perajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.
Biarpun pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka telah goyah, pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah kelelahan dan turun semangat. Semua ini tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah.
Dia dan kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat. Demikian takutnya dia sehingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.
Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan.
Memang sejak dahulu dia merasa jerih terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su. Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan kalah, dan andaikata keadaan mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng.
Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana datang membantu Jenderal Kao Lian. Dan atas permintaannya, terpaksa Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin.
Mulailah Tek Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang berhasil membangkitkan semangat para perajurit pemberontak, dan kini pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari ke empat, bobollah pintu selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para perajurit pemberontak yang terus mundur memasuki kota.
Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan timur, merobohkan banyak perajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.
Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan harinya.
Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang campuh tadi.
Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong, untuk merebut kemuliaan di kota raja!
Biarpun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andaikata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi. Dan dia merasa pula bahwa betapapun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan.
Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya? Sungguhpun dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.
Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apabila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng.
Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapapun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.
“Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?” terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.
“Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu akan hal ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja.”
“Untung kita!” Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. “Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!”
“Sstttt...., kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu,” bisik Lam-thian Lo-mo. Kereta berhenti di belakang Istana yang gelap.
Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.
Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta.
“Kau tunggu di sini sebentar!”
Kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti perajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang. Kusir itu menjawab singkat,
“Baik, Locianpwe.”
Memang semua perajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim, mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semua menyebut mereka “locianpwe”. Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk menanti dan memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, sesuai dengan kehendak pangeran agar tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua perajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.
Beberapa saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung.
Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka.
Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta. Di depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya dan berkata, suaranya tetap tenang namun penuh penyesalan dan kemarahan.
“Pangeran, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tak kusangka bahwa aku akan dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota raja.”
“Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke manapun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm.... kita akan bersenang-senang....”
“Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau pangeran sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!”
Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.
“Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apapun juga selalu cerewet!” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!” Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.
“Perempuan memang harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya.”
Pak-thian Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.
Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang kasar ini. Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu daripada dipaksa.
Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat mengganggunya, dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan tabah. Masih belum terlambat baginya untuk mempergunakan pisau yang disembunyikan di dalam lipatan bajunya apabila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.
Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.
“Kusir dungu! Hayo jalan!”
Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.
“Baik, Locianpwe!” jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.
Kereta bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.
“Locianpwe, saya belum tahu harus pergi ke mana....” Kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.
“Pangeran, harap memberitahukan jalannya,” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Terus saja,”
Kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang lain saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek Hoat.
“Setelah tiba di pintu gerbang barat, membelok ke selatan kurang lebih satu li.”
Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu seorang yang berpakaian perajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.
Setelah tiba di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang.
Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan kereta melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.
“Terus masuk ke dalam hutan,” Pangeran Liong berkata. “Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan.”
Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.
“Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi,” kata Pangeran itu. “Perhatian mereka akan tercurah ke benteng semua sehingga kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju ke selatan.”
Kusir kereta itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil bercakap-cakap.
Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh,
“Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari kereta.”
“Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?” Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.
“Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat daripada di dekat api ini.” Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.
Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah.
Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka. Kini, melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun.
Akan tetapi mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.
Karena senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.
“Apa katamu?” Hek-wan Kui-bo bicara lirih kepada Pat-thian Lo-mo. “Kalau sampai di kota raja kedua pangeran itu gagal? Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa gagal? Setidaknya sebelum aku pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan untuk mengambil banyak barang berharga dari istana dan hasil itu pun sudah lumayan untuk menutup kegagalanku.”
“Uhh, apa artinya harta kekayaan bagi kita yang sudah tua?” Lam-thian Lo-mo mencela.
“Kalau begitu, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal pula di istana?” tanya nenek itu.
“Kami tidak mau mencuri barang berharga akan tetapi kami akan membawa dia....” Lam-thian Lo-mo menggerakkan kepalanya ke arah kereta.
“Eihh....? Puteri Bhutan?” nenek itu bertanya dan melihat dua orang kakek itu mengangguk, dia bertanya, “Untuk apa? Apakah kalian ini kiranya bandot-bandot tua bangka pula seperti Pangeran Liong?”
“Bodoh!” Pak-thian Lo-mo mencela. “Kami antar dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan berusaha mencapai kedudukan tinggi.”
“Aih, kiranya kalian benar-benar gila pangkat.” Nenek itu berkata geli dan pada saat itu, terdengar jerit tertahan dari dalam kereta.
“Hi-hi-hik, Pangeran itu sungguh tidak sabar lagi!” Hek-wan Kui-bo terkekeh. “Apa dia hendak memaksa Puteri Bhutan di ruangan kereta yang sempit itu?”
“Tidak....! Jangan menyentuhku!” Terdengar suara Syanti Dewi menjerit marah. “Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau hanyalah seorang laki-laki keji dan hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat menyentuhku, lihat apa yang kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih dulu aku akan menjadi mayat!” .
Tiga orang tua lihai yang tadinya hanya tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta, menjadi kaget juga mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak makin heran dan kaget ketika mereka melihat betapa kusir kereta yang tadinya menggunakan kain menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini menghampiri pintu kereta dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.
“Heiii, kusir tolol! Mau apa kau?” Hek-wan Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka melihat kusir itu membuka pintu kereta dengan paksa lalu meloncat ke dalam kereta. Terdengar teriakan Pangeran Liong, teriakan mengerikan dan disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir tadi yang telah memondong tubuh Syanti Dewi yang meronta-ronta dan berteriak-teriak,
“Lepaskan aku!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar