Gak Bun Beng menghela napas panjang.
“Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya.”
Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya.
Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, melainkan dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.
Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik! Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukanpun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan.
Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalaupun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.
Kalau kita melakukan sesuatu yang dianggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir maupun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Dan kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi.
Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya.
Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!
Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Daripada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidak baikan kita, akan kekotoran kita.
Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidak baikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap.
“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.
“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia kesini mengobati Paman.”
“Aihh, kalau begitu aku harus mengunjunginya dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.
“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!”
Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan “diadu” dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang dipergunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.
Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Dia lalu memegang tangan puteri itu dan berkata,
“Jangan khawatir, kita harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”
Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata,
“Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”
“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, akan tetapi aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”
Syanti Dewi terkejut.
“Begitukah? Ah, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”
Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!
“Syanti Dewi, kau baik sekali. Selama ini.... ah, takkan terlupakan selama hidupku, engkau telah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku....”
“Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya.”
Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya.
Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, melainkan dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.
Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik! Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukanpun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan.
Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalaupun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.
Kalau kita melakukan sesuatu yang dianggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir maupun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Dan kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi.
Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya.
Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!
Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Daripada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidak baikan kita, akan kekotoran kita.
Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidak baikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap.
“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.
“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia kesini mengobati Paman.”
“Aihh, kalau begitu aku harus mengunjunginya dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.
“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!”
Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan “diadu” dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang dipergunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.
Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Dia lalu memegang tangan puteri itu dan berkata,
“Jangan khawatir, kita harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”
Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata,
“Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”
“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, akan tetapi aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”
Syanti Dewi terkejut.
“Begitukah? Ah, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”
Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!
“Syanti Dewi, kau baik sekali. Selama ini.... ah, takkan terlupakan selama hidupku, engkau telah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku....”
“Sshhh...., cukuplah, Paman. Diantara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau tidak saling bantu, habis bagaimana? Pula.... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman.”
Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milanapun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!
“Kau kenapa, Paman?”
Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah.
“Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”
Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk diatas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.
“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?”
“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe dan sejak dahulupun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Benarkah kau pandai mengobati?”
Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata,
“Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu.”
Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada.
“Nah, kau boleh memeriksa!”
Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mujijat dalam dada kakek itu yang amat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.
“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Akan tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!”
“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biarpun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sin-kang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit didalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sin-kang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sin-kang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm.... kau sudah menemukan penyakitku, biarpun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andaikata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”
“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu dapat saja diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”
“Tapi.... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat....”
“Akan kucoba. Duduklah bersila dan mari kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar.”
Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya,
“Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”
Gak Bun Beng tersenyum dan menggeleng kepala.
“Bukan dari partai manapun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan.”
Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila diatas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu.
Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biarpun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sin-kang itu amat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.
Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap!
Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.
Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sin-kang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali.
Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sin-kang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan.
Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sin-kang tadi menjadi Swat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sin-kang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.
Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!
Dengan kekuatan sin-kangnya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mujijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu!
Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sin-kang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sin-kangnya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.
Uap menghitam yang membubung keluar itu makin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.
Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia sehingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, kini mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!
Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah.
Karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!
Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.
“Manusia keji....!”
Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng. Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.
“Prakkk!”
Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.
“Ouhhh.... jangan....!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Singgg....!”
Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!
“Takkk! Aughhh....!”
Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya dan dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.
Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sin-kang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mujijat itu dan terlempar ke belakang!
Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sin-kang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.
Hawa sin-kang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sin-kang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan menancap setengahnya saja.
Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.
Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak,
“Pemberontak hina, hendak lari kemana kau?”
Tangannya bergerak, jarum merah itu menyambar dan Lo-thong memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!
“Paman....!”
Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.
Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.
“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”
“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.
“Kenapa?”
“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggauta pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”
“Hemm....!”
Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.
Yok-kwi menghampirinya dan menjura.
“Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Kalau sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang terkenal.”
Gak Bun Beng tersenyum.
“Beliau adalah guruku.”
Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat.
“Ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang didepan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang kesini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana....”
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya sambll tersenyum dia berkata,
“Budi apakah yang kau terima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?”
Yok-kwi menjura lagi.
“Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau....”
“Tentu saja, dia terhitung sumoiku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?”
“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Kini, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan ada usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan disini.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk.
“Aihh, kiranya engkau seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwa).”
“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba ditempat sejauh ini?”
“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini....” Gak Bun Beng ragu-ragu.
Yok-kwi tertawa.
“Ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”
Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu.
“Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul disini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga.”
“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”
Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi.
“Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran saya.”
Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu.
“Aih, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”
Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya,
“Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”
“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh.”
Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.
“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.
“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya akan tetap tinggal disini dan siap setiap saat untuk membantu, biarpun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”
Mereka berpisah dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.
“Aahh.... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ah, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”
Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut dimana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.
Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biarpun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biarpun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.
Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.
Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao,
“Kalau Goanswe tidak berkeberatan, ijinkanlah saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini.”
Kao Liang memandang dengan wajah berseri.
“Tepat sekali. Aku memang sudah mempunyai rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada diantara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”
Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar dan dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.
Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milanapun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!
“Kau kenapa, Paman?”
Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah.
“Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”
Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk diatas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.
“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?”
“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe dan sejak dahulupun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Benarkah kau pandai mengobati?”
Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata,
“Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu.”
Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada.
“Nah, kau boleh memeriksa!”
Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mujijat dalam dada kakek itu yang amat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.
“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Akan tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!”
“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biarpun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sin-kang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit didalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sin-kang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sin-kang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm.... kau sudah menemukan penyakitku, biarpun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andaikata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”
“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu dapat saja diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”
“Tapi.... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat....”
“Akan kucoba. Duduklah bersila dan mari kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar.”
Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya,
“Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”
Gak Bun Beng tersenyum dan menggeleng kepala.
“Bukan dari partai manapun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan.”
Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila diatas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu.
Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biarpun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sin-kang itu amat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.
Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap!
Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.
Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sin-kang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali.
Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sin-kang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan.
Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sin-kang tadi menjadi Swat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sin-kang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.
Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!
Dengan kekuatan sin-kangnya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mujijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu!
Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sin-kang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sin-kangnya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.
Uap menghitam yang membubung keluar itu makin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.
Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia sehingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, kini mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!
Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah.
Karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!
Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.
“Manusia keji....!”
Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng. Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.
“Prakkk!”
Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.
“Ouhhh.... jangan....!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Singgg....!”
Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!
“Takkk! Aughhh....!”
Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya dan dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.
Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sin-kang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mujijat itu dan terlempar ke belakang!
Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sin-kang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.
Hawa sin-kang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sin-kang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan menancap setengahnya saja.
Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.
Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak,
“Pemberontak hina, hendak lari kemana kau?”
Tangannya bergerak, jarum merah itu menyambar dan Lo-thong memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!
“Paman....!”
Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.
Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.
“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”
“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.
“Kenapa?”
“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggauta pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”
“Hemm....!”
Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.
Yok-kwi menghampirinya dan menjura.
“Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Kalau sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang terkenal.”
Gak Bun Beng tersenyum.
“Beliau adalah guruku.”
Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat.
“Ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang didepan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang kesini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana....”
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya sambll tersenyum dia berkata,
“Budi apakah yang kau terima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?”
Yok-kwi menjura lagi.
“Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau....”
“Tentu saja, dia terhitung sumoiku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?”
“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Kini, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan ada usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan disini.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk.
“Aihh, kiranya engkau seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwa).”
“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba ditempat sejauh ini?”
“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini....” Gak Bun Beng ragu-ragu.
Yok-kwi tertawa.
“Ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”
Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu.
“Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul disini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga.”
“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”
Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi.
“Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran saya.”
Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu.
“Aih, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”
Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya,
“Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”
“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh.”
Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.
“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.
“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya akan tetap tinggal disini dan siap setiap saat untuk membantu, biarpun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”
Mereka berpisah dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.
“Aahh.... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ah, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”
Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut dimana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.
Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biarpun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biarpun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.
Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.
Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao,
“Kalau Goanswe tidak berkeberatan, ijinkanlah saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini.”
Kao Liang memandang dengan wajah berseri.
“Tepat sekali. Aku memang sudah mempunyai rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada diantara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”
Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar dan dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.
**** 044 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar