Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi.
Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh. Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak pernah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan.
Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapl ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol, akan tetapi apapun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali!
Inilah sebabnya, biar dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti), karena sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, dan tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biarpun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit!
Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak diantara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding diluar kuil, dibawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya.
Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah.
Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada diluar kuil, mereka berhenti. Biarpun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang diantara mereka, yang masih muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri....” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya.
“Huh, kau berkelahi?”
Tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya....”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya.... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas....”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!”
Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya sehingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.
“Dukkkk....! Uakkhh....!”
Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe....! Aihhh.... dadaku.... sudah tidak terasa sakit lagi....!” Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biarpun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!”
Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!
Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh. Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak pernah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan.
Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapl ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol, akan tetapi apapun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali!
Inilah sebabnya, biar dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti), karena sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, dan tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biarpun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit!
Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak diantara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding diluar kuil, dibawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya.
Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah.
Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada diluar kuil, mereka berhenti. Biarpun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang diantara mereka, yang masih muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri....” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya.
“Huh, kau berkelahi?”
Tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya....”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya.... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas....”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!”
Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya sehingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.
“Dukkkk....! Uakkhh....!”
Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe....! Aihhh.... dadaku.... sudah tidak terasa sakit lagi....!” Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biarpun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!”
Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!
Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jerih dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi.
Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan suaminya sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kai membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata,
“Mohon maaf, Locianpwe.... saya.... eh, kami.... mohon obat kepada Locianpwe.... agar kami berdua.... dapat dikurniai anak....”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu,
“Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka berubah merah sekali wanita itu tanpa berani mengangkat mukanya menjawab lirih,
“Benar.... Locianpwe....”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan.
“Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap,
“Akan tetapi.... Locianpwe, ini.... ini adalah....”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ.
“Hayo cepat pergi....” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok.
“Kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain....!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi.
Pemuda tadi telah disembuhkanya dengan cara pukulan sin-kang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Adapun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya. Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan kurang ajar dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti bisa memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannyapun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak,
“Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya.
“Apa.... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya gagap sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Diantara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali, pikirnya.
Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak,
“Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”
Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biarpun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapapun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?
“Hayo pergi....!”
Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.
“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit dan kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apalagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”
Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai seorang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukan wanita sembarangan. Akan tetapi mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?
“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biarpun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apapun, asal dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!”
Suara kakek itu keren dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus.
Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa, maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini pergi mengobati Gak Bun Beng.
“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, akan tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?”
Kakek itu makin marah.
“Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa perdulimu dengan itu semua?”
Diam-diam, biarpun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.
Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata,
“Locianpwe, harap jangan marah-marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai daripada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”
“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”
Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapapun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,
“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai maupun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang diantara keduanya. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Akan tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”
“Apa....?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”
Biarpun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah.
“Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan dua pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”
“Bodoh....! Bodoh....! Mengapa aku sampai susah payah tinggal disini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan maupun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?”
Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum.
“Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, akan tetapi Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe .”
“Omong kosong!”
“Mari kita buktikan saja! Mari, kalau Locianpwe berani ikut bersama saya dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa diantara kalian yang lebih sakti!”
Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi.
“Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, akan tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga.”
“Boleh, itu taruhanku!”
Jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.
Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada disitu menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak.
Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tidak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar dimana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.
“Paman....!”
Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.
“Dewi, apa yang kau lakukan? Kemana kau pergi....?”
“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”
Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, karena dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu. Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata,
“Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kau mengobati aku, kalau kau mampu!”
Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni.
Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.
“Ahhh....!”
Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng. Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya.
Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka diapun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.
Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biarpun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!
“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekalipun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!”
Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguhpun tidak sukar untuk dicari. Diantara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!
“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!”
Kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa memperdulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.
Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak memperdulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.
Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!
Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.
“Paman, kau sudah sembuh....!” Syanti Dewi berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.
“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”
“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”
“Ahh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.
“Ah, Taihiap.... kamilah yang harus berterima kasih.”
Dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng. Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu.
“Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”
Keduanya menjura.
“Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang baik-baik.”
Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan suaminya sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kai membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata,
“Mohon maaf, Locianpwe.... saya.... eh, kami.... mohon obat kepada Locianpwe.... agar kami berdua.... dapat dikurniai anak....”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu,
“Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka berubah merah sekali wanita itu tanpa berani mengangkat mukanya menjawab lirih,
“Benar.... Locianpwe....”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan.
“Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap,
“Akan tetapi.... Locianpwe, ini.... ini adalah....”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ.
“Hayo cepat pergi....” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok.
“Kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain....!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi.
Pemuda tadi telah disembuhkanya dengan cara pukulan sin-kang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Adapun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya. Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan kurang ajar dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti bisa memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannyapun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak,
“Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya.
“Apa.... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya gagap sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Diantara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali, pikirnya.
Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak,
“Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”
Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biarpun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapapun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?
“Hayo pergi....!”
Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.
“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit dan kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apalagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”
Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai seorang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukan wanita sembarangan. Akan tetapi mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?
“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biarpun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apapun, asal dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!”
Suara kakek itu keren dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus.
Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa, maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini pergi mengobati Gak Bun Beng.
“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, akan tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?”
Kakek itu makin marah.
“Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa perdulimu dengan itu semua?”
Diam-diam, biarpun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.
Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata,
“Locianpwe, harap jangan marah-marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai daripada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”
“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”
Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapapun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,
“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai maupun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang diantara keduanya. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Akan tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”
“Apa....?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”
Biarpun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah.
“Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan dua pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”
“Bodoh....! Bodoh....! Mengapa aku sampai susah payah tinggal disini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan maupun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?”
Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum.
“Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, akan tetapi Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe .”
“Omong kosong!”
“Mari kita buktikan saja! Mari, kalau Locianpwe berani ikut bersama saya dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa diantara kalian yang lebih sakti!”
Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi.
“Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, akan tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga.”
“Boleh, itu taruhanku!”
Jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.
Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada disitu menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak.
Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tidak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar dimana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.
“Paman....!”
Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.
“Dewi, apa yang kau lakukan? Kemana kau pergi....?”
“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”
Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, karena dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu. Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata,
“Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kau mengobati aku, kalau kau mampu!”
Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni.
Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.
“Ahhh....!”
Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng. Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya.
Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka diapun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.
Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biarpun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!
“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekalipun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!”
Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguhpun tidak sukar untuk dicari. Diantara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!
“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!”
Kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa memperdulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.
Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak memperdulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.
Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!
Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.
“Paman, kau sudah sembuh....!” Syanti Dewi berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.
“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”
“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”
“Ahh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.
“Ah, Taihiap.... kamilah yang harus berterima kasih.”
Dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng. Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu.
“Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”
Keduanya menjura.
“Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang baik-baik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar