Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mujijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja.
Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata,
“Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh.
Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat dimana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa rumah itu,” kata Panglima Jayin.
“Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita disana....”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu.
Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk.
Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap diantara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu kemana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak panah.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja.
Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata,
“Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh.
Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat dimana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa rumah itu,” kata Panglima Jayin.
“Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita disana....”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu.
Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk.
Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap diantara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu kemana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak panah.
Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kasar untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya.
Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang.
“Ke kiri melalui tiga obor....!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
“Maju melalui sebatang obor....” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu.
“Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat.
Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja.
Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk kesini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit.
“Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan berkata halus,
“Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apalagi hanya aku! Bangkitlah dan mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.
Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar.”
Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapapun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi “menuntun” Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu.
Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang diantara kita lari memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi,
“Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu,
“Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.”
Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja.
“Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.”
Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun disitu untuk tempat raja beristirahat apabila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak,
“Sudah ada diantara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata,
“Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya,
“Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata,
“Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada disini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
Kembali pendekar itu menarik napas panjang.
“Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor. Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar.
Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap diantara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata,
“Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai “menghilang” ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras,
“Cepat serbu kesana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih disana dikeroyok musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja.
Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu.
Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang.
“Ke kiri melalui tiga obor....!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
“Maju melalui sebatang obor....” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu.
“Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat.
Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja.
Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk kesini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit.
“Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan berkata halus,
“Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apalagi hanya aku! Bangkitlah dan mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.
Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar.”
Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapapun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi “menuntun” Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu.
Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang diantara kita lari memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi,
“Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu,
“Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.”
Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja.
“Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.”
Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun disitu untuk tempat raja beristirahat apabila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak,
“Sudah ada diantara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata,
“Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya,
“Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata,
“Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada disini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
Kembali pendekar itu menarik napas panjang.
“Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor. Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar.
Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap diantara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata,
“Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai “menghilang” ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras,
“Cepat serbu kesana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih disana dikeroyok musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja.
Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu.
Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
**** 018 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar