Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itupun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,”
Kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai.
Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, dimana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.
“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut,
“Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi “orang kedua”!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.”
Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata,
“Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia disini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab,
“Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.”
Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar!
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,”
Kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai.
Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, dimana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.
“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut,
“Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi “orang kedua”!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.”
Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata,
“Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia disini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab,
“Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.”
Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar!
Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan diapun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?”
Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang,
“Hemmm...., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi kesini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang kesini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala.
“Tidak ada, ayah. Aihhh, kemana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal disini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan....”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihh, kemana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali disini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka....” Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu....!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang.” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangeran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu. Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh....! Bhutan....? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal disana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan.” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam.
“Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana menunduk.
“Aku.... aku ingin sekali seperti dulu....”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala.
“Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu disini. Biarlah mereka disini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana.
“Ayah....”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah....” suaranya lirih sekali, gemetar dan parau, “pernahkah ayah mendengar tentang.... dia....?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik,
“Aku tidak pernah mendengar.... entah dimana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku....”
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita!
Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia. Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca cerita Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis) kini menimpa pula diri puterinya! Kasihan Milana....!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?”
Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang,
“Hemmm...., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi kesini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang kesini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala.
“Tidak ada, ayah. Aihhh, kemana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal disini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan....”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihh, kemana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali disini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka....” Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu....!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang.” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangeran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu. Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh....! Bhutan....? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal disana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan.” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam.
“Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana menunduk.
“Aku.... aku ingin sekali seperti dulu....”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala.
“Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu disini. Biarlah mereka disini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana.
“Ayah....”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah....” suaranya lirih sekali, gemetar dan parau, “pernahkah ayah mendengar tentang.... dia....?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik,
“Aku tidak pernah mendengar.... entah dimana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku....”
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita!
Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia. Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca cerita Pendekar Super Sakti dan Sepasang Pedang Iblis) kini menimpa pula diri puterinya! Kasihan Milana....!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.
**** 018a ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar