Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya dengan penuh kebanggaan.
Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskan persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itulah yang datang mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut, apalagi karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.
Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama “Gak Bun Beng” terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.
Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Adapun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri!
Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini.
Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinaan dengan mantu tirinya ini secara berterang! Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya!
Adapun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada “Gak Bun Beng”, dan mereka takut sekali kepada pemuda ini.
Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!
Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu ketika sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang.
“Jahanam keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!”
Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu.
Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.
Akan tetapi, kemesraan diantara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan.
Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu.
Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara. Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biarpun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya dimana dia memuaskan semua kehausannya.
Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khi-kangnya berteriak keras,
“Pembunuh! Hendak lari kemana kau?” Dan dia berkali-kali berteriak “Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan keluar.
Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger.
Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.
Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskan persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itulah yang datang mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut, apalagi karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.
Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama “Gak Bun Beng” terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.
Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Adapun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri!
Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini.
Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinaan dengan mantu tirinya ini secara berterang! Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya!
Adapun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada “Gak Bun Beng”, dan mereka takut sekali kepada pemuda ini.
Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!
Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu ketika sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang.
“Jahanam keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!”
Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu.
Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.
Akan tetapi, kemesraan diantara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan.
Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu.
Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara. Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biarpun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya dimana dia memuaskan semua kehausannya.
Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khi-kangnya berteriak keras,
“Pembunuh! Hendak lari kemana kau?” Dan dia berkali-kali berteriak “Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan keluar.
Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger.
Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.
“Dia lihai sekali!” demikian dia menyambung. “Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya. Bedebah dia! Aku akan mencarinya sampai dapat! Aku tidak akan kembali kesini sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!”
Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama “Gak Bun Beng” menjadi kenangan mereka di kota itu.
Akan tetapi, banyak diantara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya!
Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala berlubang! Dan si tetangga yang diserahi rumah makan, mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, semua harta benda yang berharga telah lenyap!
Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri!
Apalagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya.
Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.
Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihaipun, begitu bertemu dengan pemuda ini, tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang.
Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng! Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini!
Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.
Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!
Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!
“Haiii....! Minggir....!” Penunggang kuda terdepan berseru.
Akan tetapi Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!
“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?”
Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping. Tubuh Tek Hoat meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan gin-kangnya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak.
Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan orang tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.
Tak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka sudah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedangkan mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.
Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah pakaiannya. Kudanyapun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya. Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk!
Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.
Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiripun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apalagi melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang “terbang” turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian sungguhpun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.
“Bocah lancang! Mundurlah kau!”
Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Biarpun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih.
Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apalagi hanya seorang wanita, dapat menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!
Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggutnya lepas sia-sia belaka. Ketika dia menoleh, orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.
“Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!”
Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tak mampu berkutik.
Ketika tubuh wanita itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.
“Bressss!”
Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang diantara pengawal yang duduk di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.
“Krekkkk!” Tombak itu patah-patah.
“Hati-hati, mundur....!”
Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi. Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.
Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.
“Bunuh dia!”
Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!
“Heiiii....!”
Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.
“Plakkk....!”
Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia mengagulkan kepandaiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!
“Hei, bocah lancang! Tunggu....!” Terdengar panglima itu berseru.
“Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!” terdengar wanita itu mencegah.
Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut diantara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata Milana.
“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali....!”
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In!
Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya!
Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!”
Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
“Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata seorang diantara mereka.
“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,” kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?”
“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!
Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikitpun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba seorang diantara mereka menegur Tek Hoat.
Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!” kata pula orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!” Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
“Huh!”
Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr.... trakkk!” Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya.
Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama “Gak Bun Beng” menjadi kenangan mereka di kota itu.
Akan tetapi, banyak diantara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya!
Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala berlubang! Dan si tetangga yang diserahi rumah makan, mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, semua harta benda yang berharga telah lenyap!
Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri!
Apalagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya.
Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.
Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihaipun, begitu bertemu dengan pemuda ini, tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang.
Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng! Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini!
Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.
Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!
Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!
“Haiii....! Minggir....!” Penunggang kuda terdepan berseru.
Akan tetapi Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!
“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?”
Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping. Tubuh Tek Hoat meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan gin-kangnya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak.
Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan orang tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.
Tak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka sudah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedangkan mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.
Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah pakaiannya. Kudanyapun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya. Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk!
Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.
Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiripun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apalagi melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang “terbang” turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian sungguhpun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.
“Bocah lancang! Mundurlah kau!”
Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Biarpun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih.
Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apalagi hanya seorang wanita, dapat menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!
Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggutnya lepas sia-sia belaka. Ketika dia menoleh, orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.
“Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!”
Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tak mampu berkutik.
Ketika tubuh wanita itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.
“Bressss!”
Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang diantara pengawal yang duduk di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.
“Krekkkk!” Tombak itu patah-patah.
“Hati-hati, mundur....!”
Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi. Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.
Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.
“Bunuh dia!”
Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!
“Heiiii....!”
Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.
“Plakkk....!”
Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia mengagulkan kepandaiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!
“Hei, bocah lancang! Tunggu....!” Terdengar panglima itu berseru.
“Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!” terdengar wanita itu mencegah.
Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut diantara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata Milana.
“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali....!”
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In!
Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya!
Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!”
Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
“Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata seorang diantara mereka.
“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,” kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?”
“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!
Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikitpun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba seorang diantara mereka menegur Tek Hoat.
Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!” kata pula orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!” Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
“Huh!”
Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr.... trakkk!” Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar