FB

FB


Ads

Senin, 29 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 095

“Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.”

“Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!” Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.

Sentuhan ciuman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu. Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.

“Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu.”

“Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han menggoda.

“Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!”

Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh,

“Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa sepengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana.”

Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.

“Nirahai....!” katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar menolak?”

Nirahai menggeleng kepala.
“Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!”

“Nirahai....!” Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.

Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata,

“Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!”

Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.

Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai!

Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.

Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap, kepala menunduk, di depan dua makam baru itu!

Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!

Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mujijat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.

“Locianpwe....!”

Han Han memanggil. Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.

Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!

“Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!”

Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!

Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia sambil berloncatan mendekat.

“Locianpwe, harap berhenti dulu....!”

Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!






“Locianpwe, tunggu....!”

Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar.

Akan tetapi mengejar sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.

Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!

Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri,

“Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”

Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata.

“Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.”

“Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”

Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....!” Han Han berkata dengan seruan girang. “Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa.”

Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan duduk didekat kakek yang sedang memancing itu.

“Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku yang telah kau rawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.”

Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja mengetahui segala hal!

“Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!”

Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas?

Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk.

“Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”

Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.

“Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andaikata tidak terjadi seperti sekarang, andaikata kaki kirimu tidak dibuntungi orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati.”

“Ahhhhh....!” Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. “Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasihatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mujijat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu.

Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kakimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”

Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak.... sejak ia melihat ibu dan encinya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?

“Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguhpun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.”

“Hemmm.... petunjuk apalagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya.

Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri daripada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bintang.”

Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.

“Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi.... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan ditelaga ini?”

“Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah!”

Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!

“Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, akan tetapi.... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan memakai batu? Mengapa suhu.... eh, bermain-main seperti anak kecil?”

“Ha-ha-ha, tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!”

Han Han tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata,

“Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh, menyentuh umpan batu ini, ha-ha!”

Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.

“Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?”

Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperlihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperoleh banyak hasil!

Ketika memasuki pondok kecil mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.

“Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini.... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”

Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin mengajak Han Han makan bersama, sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana sungguhpun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik!

Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.

“Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”

Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?

“Maaf, suhu. Teecu memang amat terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya suhu disebut Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu mengasingkan diri dari dunia ramai. Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau makan pun seadanya saja, daun dan rumput, minumpun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa daging.”

“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam segala benda dan mahluk di seluruh alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti mereka yang mencari tempat sunyi mengasingkan diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia ramai, menjauhkan diri daripada manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan ketenteraman hatiku, membuat aku kecewa dan berduka.

Manusia telah menyelimuti diri dengan kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua yang jahat, yang berakar di dalam seluruh kehidupan manusia, yang kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”

Han Han mendengarkan dengan penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso sebentar untuk minum seteguk arak wangi dari cawannya.

“Aku meninggalkan keramaian bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa dan menuntut hidup pertapa karena aku tidak mau menyiksa tubuh dan perasaan. Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan kepadaku ini. Aku pun tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi tubuhku, asal saja dapat dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”

Han Han mengangguk-angguk, takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar tidak mengkhayalkan yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan filsafat-filsafat kuno yang sering dibacanya.

“Manusia sekarang lupa bahwa makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan perut karena yang menampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk akan kesenangan sehingga untuk makan pun yang diutamakan adalah kelezatannya, yang mendatangkan rasa enak pada mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi si perut, lupa bahwa yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga terlalu sering terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”

“Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?”

“Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”

Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi,

“Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini.”

“Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”

Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya.
“Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apabila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”

Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan.”

“Ha-ha-ha! Memang amat merdu dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan! Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya, seperti judul adegan panggung serombongan badut! Karena itu, kuperingatkan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu! Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan pribadi.

Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan!

Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sin-kangmu yang sukar dilawan, gin-kangmu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang mujijat, yang masih terpendam. Tanpa kau sadari, mungkin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?”

Han Han teringat akan ilmu mujijat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadarinya ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang lain.

Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.

“Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?”

“Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amat kuat, yang timbul secara aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara.”

Dengan jelas Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.

“Engkau harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut.

Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.

Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi maka Han Han lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biarpun ia menghadapi saat yang amat menenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya bersama Nirahai.

Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu, dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.

“Suma-taihiap....!”

Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu memanggilnya, karena kini perwira itu dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.

“Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihiap!”

Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.

“Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.” Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.

Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar