FB

FB


Ads

Senin, 29 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 094

“Engkau memang nekat! Marilah!” Han Han berkata, jengkel juga melihat desakan dara ini.

“Sambut ini!”

Nirahai sudah menerjang cepat dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emas. Terdengar suara aneh seolah-olah suling itu ditiup, tampak sinar gemerlapan menyilaukan mata dan terbentuklah gulungan sinar kuning emas melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi!

Perlu diketahui bahwa Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar sakti Suling Emas, dan memang paling tepat dimainkan dengan senjata keramat ini. Malam tadi Nirahai sudah mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han Han akan tetapi dia tidak berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang payung. Kini setelah ia mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya menjadi berlipat ganda sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat.

Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengandalkan kecepatannya, akan tetapi ia lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang sehingga setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia dicium ujung suling, yaitu pada pangkal lengan kirinya dan pada pahanya sehingga baju di bagian itu robek dan kulitnya berdarah.

Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran membuat dia melakukan perlawanan sekuatnya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan sin-kangnya untuk mengalahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan mengakibatkan Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat desakan Nirahai yang seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia melawan.

Ketika sinar kuning emas yang menyilaukan matanya itu menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis dan terus mengerahkan sin-kang sehingga suling itu melekat pada tongkatnya.

Nirahai mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba suling yang dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak tangannya terasa panas sekali. Maklumlah ia bahwa pemuda itu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang. Ia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan sedangkan tangan kirinya ia hantamkan ke perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han Han menerima pukulan ini dengan telapak tangan kanannya sambil mengerahkan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang.

“Plakkk!”

Kepalan tangan Nirahai menempel pada telapak tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu menggigil!

“Lepaskan sulingmu....!” Han Han membentak, suaranya halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara itu.

“Tidak!”

Nirahai membantah biarpun tangannya yang memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan kirinya menjalar hawa dingin yang membuat ia menggigil.

Kedua orang muda itu berdiri seperti arca, saling tidak mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar tidak mencelakakan lawan! Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, tentu Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini.

Di lain fihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin benar bahwa dia tidak dapat mengalahkan Han Han, diam-diam menjadi kagum sekali dan kini ia membuat ujian terakhir, yaitu ingin melihat apa yang akan dilakukan Han Han. Akan membunuhnya? Ataukah.... seperti yang dia harapkan, pemuda ini menaruh hati sayang kepadanya?

“Memalukan!”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.

“Subo....!”

Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.

“Subo....!” Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw Bwee.

Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.

“Suci....!”

Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.

“Sumoi....! Syukur.... engkau masih hidup....!”

Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi dibalik kata-katanya.

Han Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.

“Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu!”

Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang menjawab,
“Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu? Kulihat, Han Han yang mengalah tadi!”

“Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai daripada muridmu!” bentak Nenek Maya tidak mau kalah.

Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya keren,

“Han Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan seluruh tenagamu di saat terakhir? Mengapa engkau mengalah?”

Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata,

“Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah.”

Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.

“Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nyawanya? Mengapa engkau mengalah?” Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.






“Maaf, subo. Teecu.... teecu tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah!”

Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pencurahan seribu kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya segera menunduk kembali dengan jantung berdebar.

“Hemmm.... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi? Sumoi, marilah kita lanjutkan sendiri!”

Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek.
“Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah, tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci.”

Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa!

“Sumoi, sekarang pun engkau masih takkan dapat mengalahkan aku!”

“Bagus! Kau kira setelah kakiku buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku?” Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.

“Majulah, Khu Siauw Bwee!”

Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya.

Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoinya. Dua lengan bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee mencelat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain fihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat menangkis sambil balas memukul. Pertandingan hebat sekali terjadi.

Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat itu, suci dan sumoi! Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat daripada pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Bwee menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah.

Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring, tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan kedua orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.

“Plak! Plak!”

“Celaka....!”

Han Han dan Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.

“Suci, engkau memang hebat!”

“Sumoi, engkau lihai! Pukulanmu mendatangkan maut....!”

“Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada....”

“Ah, sumoi.... Siauw Bwee.... aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun hidup menderita karena sebelah kakimu kubikin buntung.... kau maafkan aku sumoi....”

“Tidak, Suci Maya.... akulah yang menaruh kasihan kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau.... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau menderita batin yang hebat....”

“Sumoi....!”

“Suci....!”

Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis! Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata! Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata,

“Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat?”

“Maksudmu?”

“Murid-murid kita....!” Khu Siauw Bwee berkata.

Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya tadi. Ia mengangguk.

Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul sucinya.
“Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci.... mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku....”

Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak.

“Baik.... kuterima pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas.... Nirahai menjadi isteri Suma Han....! Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan....”

“Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bukan?”

Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat.

“Subo, teecu.... teecu mana berharga untuk....?”

“Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau tidak? Jawab!” Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan dadanya.

Han Han mengangguk dan tidak berani melirik ke arah Nirahai.
“Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali, teecu mau, subo.”

“Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki! Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini? Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana?”

Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih,

“Teccu.... menurut perintah subo.”

“Eh, bukan jawaban gagah itu! Engkau mau atau tidak? Jawab!” Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi.

Nirahai menunduk makin dalam.
“Teecu.... teecu mau....”

Dua orang nenek itu tertawa, tertawa bergelak-gelak sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan air mata.

“Subo....!”

“Subo....!”

Seperti berlumba cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!

Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.

“Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakamkan?”

Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih,
“Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi.”

“Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita.”

Nirahai memandang wajah pemuda itu.
“Mengapa begitu?”

“Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita, bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita?”

Nirahai menjadi merah mukanya. Mereka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik,

“Marilah kita menggali tanah untuk makam mereka....”

Han Han meloncat bangun dan pemuda ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah pohon di pinggir padang rumput.

Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang yang memiliki tenaga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali.

Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara, mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir permukaan batu nisan dengan ujung tongkat dan ujung payung.

Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi :
MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA.

Adapun ukiran Nirahai berbunyi sebaliknya:
MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE.

Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam.

Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas panjang dan berkata.

“Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita, berilmu tinggi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang....”

“Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku?”

Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.

“Telah lama sekali aku jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es....”

“Heee....? Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu....! Betapa mungkin?”

“Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu, pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat.... dan aku telah jatuh cinta!”

Percakapan itu mengusir rasa canggung kedua fihak dan Nirahai tertawa geli.
“Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau! Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!”

“Memang bukan engkau, Nirahai, melainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu orang yang arcanya membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau? Serasa kejatuhan bulan purnama....!”

Pada saat itu, bulan purnama mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan dara itu yang duduk di sampingnya.

“Nirahai.... betapa cantik jelita engkau....”

Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum. Wanita manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji cantik? Apalagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!

“Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu....”

“Engkau tidak kalah! Dan mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan?”

“Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkan aku. Dan aku semenjak mendengar obrolan Lulu tentang dirimu, bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa menyesal sekali andai kata engkau kalah olehku.”

Bukan main besar hati Han Han mendengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini.

Han Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu!

“Han Han, katakanlah. Mengapa engkau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kau katakan serupa benar dengan aku itu? Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku?”

Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaannya di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya, lalu berkata girang.

“Aku tahu! Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karena pertama-tama karena matamu!”

Nirahai terkekeh dan mendekap mulutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar,

“Karena mataku? Hi-hik! Mataku kenapa?”

“Matamu begini indah.... seperti sepasang bintang di langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyutkan....” jawab Han Han sambil memandang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu!

“Ihhh, seperti laut yang menghanyutkan? Mengerikan!”

“Tidak! Sama sekali tidak! Aku akan rela dan bahagia sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan kembar....!”

“Hi-hik, kau aneh....”

Nirahai memejamkan matanya sehingga “bulan kembar” itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan menggairahkan di atas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main!

“Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah yang kedua?” Tanya Nirahai tanpa membuka matanya.

“Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah.... mulutmu, Nirahai!”

Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.
“Mulutku....? Ada apa dengan mulutku....?” suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.

“Mulutmu.... bibirmu....”

Han Han berbisik dan suaranya gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam,

“entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu.... bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melihat buah apel yang masak....! Aku.... aku....”

Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu, mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya!

Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu.

Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian, kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati masing-masing lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.

“Ahhh, maafkan aku....!”

Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.

“Bukan.... bukan salahmu, Han Han....”

Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka dia pun tidak bergerak, bersandar pada batang pohon tidak mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya pulas.

Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.

“Nirahai, kekasih pujaan hatiku.... terima kasih....”

Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan.

“Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?”

“Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt....”

Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar