FB

FB


Ads

Senin, 29 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 093

Puncak bukit kecil itu merupakan padang rumput yang rata dan malam itu amatlah terang di situ karena bulan sedang purnama. Mengertilah Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih tempat ini. Memang sunyi dan padang rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan tempat bertanding, pula malam itu bulan purnama membuat tempat itu terang benderang seperti sinar matahari pagi.

Dia tiba di puncak menjelang tengah malam. Di tempat yang sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam merasa heran mengapa Puteri Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri itu hendak memenuhi janji, datang di tempat yang sunyi ini? Benar-benar aneh watak puteri itu. Mengajak pibu di tempat ini, tanpa saksi. Bagaimana kalau terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu, yaitu seorang di antara mereka roboh, terluka parah atau tewas? Tentu takkan ada seorang pun manusia mengetahui dan akan terlantar!

Apa boleh buat! Sebagai seorang gagah, dia harus berani menghadapi kekalahan. Dan puteri itu, ahhh, akan tegakah hatinya untuk melukai Nirahai? Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya amat tertarik oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat menimbulkan gairah hatinya.

Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai lawan! Bagaimana ia harus bersikap? Mengalah? Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa mungkin saja dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki kesaktian luar biasa seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan diketahui oleh dara itu!

Tiba-tiba Han Han meloncat berdiri ketika melihat bayangan yang amat cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar keras. Puteri Nirahai telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi bulan turun dari kahyangan, rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya bulan, wajahnya yang jelita seolah-olah diselaput emas, sepasang matanya bersinar-sinar. Puteri ini benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada tengah malam dan seorang diri! Betapa gagahnya!

“Bagus, engkau telah menanti di sini? Marilah kita mulai!” Dara itu telah melintangkan pedang payungnya di depan dada.

Terpincang-pincang dibantu tongkatnya Han Han maju tiga langkah menghadapi puteri itu.

“Puteri Nirahai, apakah perlunya diadakan pibu ini? Diantara kita tidak ada urusan sesuatu, perlu apa bertanding tanpa sebab yang hanya akan mendatangkan kematian bagi yang kalah dan penyesalan di kemudian hari bagi yang menang?”

“Hemmm.... Suma Han, tidak akan mudah bagimu untuk membunuh aku begitu saja seperti yang kau lakukan terhadap Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li siang tadi!”

Han Han tersenyum. Puteri ini cantik, lihai, cerdik akan tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan kedudukannya sebagai puteri kaisar!

“Katakanlah aku yang akan kalah dan mati di tanganmu. Apakah kelak engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang tanpa sebab dan tanpa dosa?”

“Tiada gunanya bersilat lidah. Baiklah kukatakan saja sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan menganggap aku gila bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang dahsyat, bukan? Dan aku adalah murid guruku Nenek Maya. Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa yang lebih unggul diantara kita!”

Han Han menghela napas panjang.
“Puteri Nirahai, sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan kekerasan. Membenci perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi, padahal aku tidak suka untuk bertanding, apalagi dengan engkau yang gagah perkasa dan lihai. Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari pendekar-pendekar sakti jaman dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita Mutiara Hitam, menjadi murid Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa bertanding pun aku sudah mengakui keunggulanmu dan aku mengaku kalah.”

“Suma Han, apa kau kira aku ini anak kecil yang dapat kau bujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang gula? Tidak, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk pibu dan aku hanya akan meniadakan pibu ini kalau engkau mengaku bahwa engkau takut dan pengecut, tidak berani melawanku!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia bukan seorang bodoh dan maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan kata-kata “pengecut” hanya untuk memaksanya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi seorang gagah, dianggap takut dan pengecut lebih hebat daripada mati.

“Hemm, baiklah. Agaknya engkau sudah bertekad untuk menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu pesan dan permintaanku kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai.”

“Katakanlah, engkau cerewet benar. Apa pesanmu?”

Han Han tersenyum. Sikap dara ini, biarpun seorang puteri kaisar yang angkuh, mengingatkan ia akan kegalakan Lulu!

“Kalau aku menang dan kesalahan tangan sampai membuatmu tewas dalam pertandingan ini, aku akan menyesali peristiwa ini selama hidupku, engkau akan selalu terbayang olehku dan hidupku akan selalu dibayangi penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang tewas, dan agaknya begitulah mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu, sudilah kiranya engkau tiga bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di Pek-eng-piauwkiok dan mewakili aku melaksanakan upacara pernikahan antara adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji?”

Puteri itu kelihatan kaget dan termangu-mangu.
“Sumoi.... akan.... kawin?” Akan tetapi ia sudah menguasai hatinya dan menjawab tenang, “Baiklah, aku berjanji memenuhi pesanmu itu. Mari kita mulai!”

“Aku sudah siap!”

Kata Han Han, memandang tajam penuh kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa payung itu tidak boleh dipandang ringan.

“Sambut serangan!”

Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Han Han menjadi gelap karena payung hitam itu terbuka menyembunyikan tubuh Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing itu sudah meluncur ke arah dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han kaget dan kagum, akan tetapi cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan putaran pergelangan tangannya.

“Cring-cring-cring....!”

Setelah tiga kali menangkis, baru Nirahai menghentikan tusukan bertubi-tubi dan berganti gerakan, payungnya tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar dari samping mengarah pelipis Han Han, sedangkan payung yang tertutup itu meluncur dengan totokan ke arah lutut kiri lawan!






Han Han cepat mengelak dan melihat serangan itu disusul dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara bertubi-tubi, terpaksa ia lalu bersilat dengan gerak kilat yang membuat tubuhnya seolah-olah menghilang, yaitu Ilmu Silat Soan-hong¬lui-kun! Namun dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat dara itu memutar pedang payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang payungnya itu ke atas!

Seperti diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang berdasarkan gerak kilat itu selalu menitik beratkan serangan dari atas, menggunakan kesempatan selagi tubuhnya mencelat-celat ke atas yang kecepatannya tak mungkin dapat dicapai orang yang berkaki dua.

Akan tetapi kini Nirahai memutar tubuh dan pedangnya sehingga tubuhnya bagian atas seperti diselimuti atau dilindungi benteng baja yang tak mungkin ditembus oleh air hujan sekali pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus diciptakan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun!

Han Han menjadi penasaran juga karena sama sekali dia tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan gerak kilatnya, maka ia meluncur turun dan membalas serangan lawan dengan mainkan tongkatnya, mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.

Nirahai sama sekali tidak berani memandang rendah. Tadi ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia kaget setengah mati. Cepat ia mainkan ilmu yang diajarkan subonya melindungi tubuhnya bagian atas. Ia maklum bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu baru itu, tentu dia akan tak sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu yang kecepatannya saja sudah membuat pandang matanya kabur, seolah-olah yang dihadapinya bukan manusia melainkan iblis yang pandai menghilang!

Kini setelah Han Han menyerangnya dengan tongkat yang dimainkan secara kuat dan cepat, hatinya menjadi tenang dan ia pun menggerakkan pedang payungnya mengimbangi permainan lawan sehingga kedua orang yang sama kuatnya ini bertanding secara hebat dan seru.

Berkali-kali terdengar suara nyaring ketika pedang payung bertemu dengan tongkat, dan terdengar bunyi bercuitan atau berdesingan kalau senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang menusuk tempat kosong.

Han Han merasa tidak tega kalau dia menggunakan sinkangnya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan pertandingan mengandalkan tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang pria, dan lawannya seorang wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda semenjak lahir, tentu saja pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga sin-kang sedikit saja untuk mengimbangi kekuatan Nirahai.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan sungkan ini. Ketika pedang payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia menangkis dengan tongkat, tiba-tiba tongkatnya melekat pada senjata lawan dan payung itu diputar dengan pengerahan tenaga sin-kang sedemikian kuatnya sehingga tongkatnya ikut pula terputar!

Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun masih saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan patah atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah mengerahkan delapan bagian tenaganya, barulah tongkatnya terlepas!

“Hebat!”

Tak terasa lagi Han Han berseru karena kini ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dara ini sama sekali tidak boleh dipandang rendah, bahkan belum tentu kalah oleh para datuk kaum sesat, malah agaknya sebanding dengan tenaga kedua orang pendeta Lama dari Tibet, berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya sendiri!

“Sombong! Engkau boleh mengandalkan sin-kangmu!”

Nirahai berkata dan wajah Han Han menjadi merah. Menghadapi dara secerdik ini dia harus berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya tidak mau mengandalkan sin-kangnya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai! Han Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan tongkatnya dengan Siang-mo Kiam-sut. Dasar dari ilmu pedang ini tentu saja dikenal oleh Nirahai yang telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara Hitam.

Siang-mo Kiam-sut diciptakan oleh pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, akan tetapi tidak pernah dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya tidak ada. Hanya saja, karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan pencampuran ilmu-ilmu yang dilatihnya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan bersikap hati-hati.

Pertama-tama dara ini menutup payungnya, mainkan payungnya seperti sebatang pedang dengan ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakannya liar dan ganas, sesuai dengan namanya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis). Hebat bukan main ilmu pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi masih belum dapat mendesak Han Han.

Pemuda ini pun merasa jengah dan malu kalau mengalah lagi. Biarpun dia masih tidak mau menggunakan pukulan maut, namun sambil memainkan tongkatnya, ia masih menggunakan tangan kirinya, didorongkan ke depan dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat menyambar keluar dari telapak tangannya, kadang-kadang ia menggunakan tenaga hawa panas, kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah pangkal bahu, lengan, atau paha.

Namun betapa kagumnya ketika dara itu tak sempat mengelak lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan kirinya yang mengeluarkan hawa sin-kang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa pukulannya menyeleweng!

Sampai habis semua jurus-jurus dari Pat-mo Kiam-hoat dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh tongkat Han Han. Gadis ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda seperti bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan yang tadi.

Kalau pedang payungnya tadi bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini gerakannya halus teratur rapi, kelihatannya lambat namun sesungguhnya cepat, kelihatan lemah namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga setiap kali pedang payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang! Inilah Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu dicipta sebagai lawan dari Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan dahsyat daripada ilmu pedang yang pertama, dan Han Han kagum bukan main karena segera ia terdesak hebat!

Namun ia juga mengerahkan seluruh kepandaiannya, terutama sekali mengandalkan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga perbandingan serangan menjadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.

Kembali dua ratus jurus telah lewat dan pertandingan sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin menyuram tanpa terasa dan tahu-tahu keadaan telah menjadi gelap karena bulan sudah lenyap di balik puncak.

Tiba-tiba Han han meloncat kebelakang dan menghentikan serangannya.
“Cuaca begini gelap, sebaiknya kita menghentikan pertandingan” katanya.

“Sambut seranganku!”

Nirahai yang kini hanya mengandalkan ketajaman telinganya sudah menerjang dengan luncuran ujung pedang payungnya.

“Cringgg....!”

Han Han menangkis dan kembali pemuda itu meloncat, menggunakan gerak kilat sehingga loncatannya tidak menimbulkan suara dan puteri itu menjadi bingung karena tidak tahu ke mana Han Han menyingkir, sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak mungkin lagi saking gelapnya cuaca yang kehilangan sinar bulan sedangkan matahari masih terlalu pagi untuk dapat menggantikan kedudukan bulan.

“Hemmm, Suma Han! Di mana engkau? Apakah engkau melarikan diri?”

Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang payungnya karena begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya. Sunyi tiada jawaban.

“Suma Han, apakah engkau seorang pengecut?”

Nirahai bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan diri.

“Jangan menyerang dulu! Dalam keadaan gelap seperti ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil? Kita tunggu sampai pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku lelah sekali, ingin mengaso!”

“Kita masih mempunyai telinga! Awas serangan!” Nirahai meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah datangnya suara tadi.

“Trakkk!”

Nirahai terkejut karena senjatanya menusuk sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di balik batu besar!

Han Han menahan ketawanya dan berkata,
“Nirahai, mengapa engkau seperti haus akan darahku? Aku memiliki gerakan kilat yang jika kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah menyerangmu dari belakang tanpa kau ketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang yang hendak menggunakan kelebihan ini untuk mencapai kemenangan dalam gelap. Kita menanti sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak mau melayani engkau yang haus darah!”

Nirahai penasaran dan marah sekali, tetapi ia tahu bahwa ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela napas dan segera duduk bersila di atas rumput, menjawab lirih,

“Aku akan menanti sampai sinar matahari pagi menerangi cuaca.”

Han Han menjadi lega hatinya. Bertanding melawan seorang yang sakti seperti dara itu di dalam gelap, benar-benar amat berbahaya dan kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia harus terpaksa merobohkan dara itu yang mungkin akan tewas.

Padahal dia sama sekali tidak menghendaki terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat ratus jurus lebih bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik, makin kagum dan menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaganya dan mengatur pernapasannya.

Setelah berhenti bertanding, berhenti menggerakkan tubuh, baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan betapa dinginnya hawa udara menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan memulihkan tenaga, maka tidak mau menggunakan tenaga sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi, dengan demikian ia menderita oleh hawa dingin sehingga mulutnya menggigil dan kedua baris giginya saling beradu.

Han Han adalah seorang yang telah tinggal selama bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sin-kang di sana, maka tentu saja hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya sama sekali tidak terasa dingin. Dia boleh mengaso dan memulihkan tenaga dengan tenang, sama sekali tidak menderita hawa dingin.

Akan tetapi telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara gigi dara itu yang saling beradu karena menggigil maka timbullah rasa iba di hatinya. Tanpa bicara sesuatu ia lalu pergi mencari kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai.

Semua ini ia lakukan tanpa bicara karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu tentu akan tersinggung kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-olah dia sendiri yang membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala besar, ia lalu pergi menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti datangnya pagi.

Nirahai menjadi gelisah dan tak dapat bersamadhi sebagaimana mestinya. Jantungnya berdebar-debar keras. Pemuda yang hebat sekali, kepandaiannya benar-benar luar biasa dan sukar dicari keduanya. Dan hatinya begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu, tentu ia akan menyembunyikan mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali ketika Han Han membuat api ungggun.

Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau mengeluarkan suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa pemuda itu sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia menderita kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa hangat dan dia tidak terganggu hawa dingin sehingga dapat mengaso dan memulihkan tenaga dengan bersamadhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang mengganggunya, melainkan hatinya yang berdebar keras!

Sinar matahari pagi mulai bercahaya kemerahan, perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi terang dan mulai mengusir kabut tebal yang menyelimuti puncak bukit kecil itu. Kabut lari membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya matahari dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan hangat mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua, kehijauan dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan jelita yang muda dan segar sehabis mandi pagi.

“Suma Han, mari kita lanjutkan pertandingan!”

Han Han membuka kedua matanya, sejenak ia mengagumi keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon dan rumput-rumput, kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang sudah berdiri tegak dengan pedang payung di tangan. Biarpun hampir semalam bertanding dan sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut, bahkan wajahnva segar kemerahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut namun malah menambah kecantikannya yang asli.

“Suma Han, aku sudah siap! Mari kita lanjutkan!” Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu hanya bengong memandang wajahnya.

Han Han menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan suaranya membayangkan penyesalan hatinya,

“Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi lalu minum teh panas menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku mengajak bertanding. Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi? Tiada bosan-bosannya setelah setengah malam kita bertanding?”

Sepasang alis Nirahai bergerak.
“Semalam kita belum selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku pun belum merasa kalah. Mari kita segera melanjutkan untuk menyelesaikan pibu agar diketahui siapa di antara kita yang lebih unggul!”

Han Han mengerti bahwa seorang seperti puteri ini kalau sudah menghendaki sesuatu pasti akan dikejarnya sampai dapat. Dia harus menyelesaikan pertandingan ini, dan dia akan mengalahkan Nirahai untuk menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan keangkuhannya.

“Baiklah, Nirahai, kalau demikian kehendakmu. Majulah!”

Han Han menantang sambil melintangkan tongkatnya di depan dada dan kaki tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya memandang tajam bersinar-sinar.

Ketika tadi bersamadhi, Nirahai memutar otaknya. Dia telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian malah mainkan Pat-sian Kiam-hoat, namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari tandingannya itu ternyata tidak mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepandaian pemuda berkaki satu ini. Maka begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak nyaring dan kedua tangannya bergerak.

“Sambut jarum-jarumku!”

Han Han melihat berkelebatnya sinar-sinar kecil dan mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut. Jarum-jarum yang mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat seperti menyambarnya kilat, juga bau yang harum itu memabukkan, dapat menyeret perhatian lawan sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya yang harum, Han Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang halus dan paling berbahaya, di antara segala senjata rahasia ini tentulah mengandung racun. Maka ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana sini.

Nirahai terus menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum-jarumnya ke mana pun bayangan Han Han berkelebat. Dan dara ini benar-benar kagum sekali. Jarum-jarumnya memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan gin-kang dari pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilatnya.

Dia sendiri tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan itu dengan gerakan tubuhnya, maka ia menggunakan jarum-jarumnya. Dan ternyata, jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak ada artinya sama sekali terhadap Han Han.

Sampai habis semua jarumnya disambitkan, tidak sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan ilmunya Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena jarumnya habis, barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa saja hanya matanya memandang tajam ke arah Nirahai.

Nirahai yang selain merasa kagum juga merasa penasaran sekali, cepat menerjang maju dengan pedang payungnya. Han Han sudah siap dengan tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini untuk melihat dulu sifat-sifat serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu pedang yang telah dimainkan semalam? Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali ini permainan pedang payung itu berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang sudah dimainkan semalam. Jauh lebih aneh dan hebat karena sekarang Nirahai telah membuka payungnya dan mulailah ia mainkan ilmu pedang simpanannya yang paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Payung Besi) yang merupakan penggabungan dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat dan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat!

Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai. Sehingga datangnya serangan dengan ujung payung meruncing itu sama sekali tidak dapat diduga oleh Han Han. Setelah Nirahai mainkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han Han terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya dengan loncatan dan gerak kilatnya.

Sambil mengelak ini ia diam-diam memperhatikan dan merasa kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini memang luar biasa sekali, kelihatan kacau-balau namun menyembunyikan jurus-jurus yang mengerikan. Itulah penggabungan dua macam ilmu pedang yang sesungguhnya berlawanan sifatnya!

“Kiam-sut yang aneh!”

Han Han berseru dan kini terpaksa ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga tongkatnya menggetar mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali menangkis pedang payung Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan hampir saja payung itu terlepas dari pegangannya!

Ia mengeluarkan suara melengking keras dan memperhebat desakannya. Namun, gerakan Han Han terlampau cepat baginya, apalagi pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda itu membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang mujijat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.

Kembali dua ratus jurus lewat dan dengan ilmu gabungan itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh Nirahai! Dara itu menjadi marah dan penasaran sekali, tiba-tiba ia membentak dan pedang payungnya membuat gerakan serangan yang amat ganas. Senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar melingkar-lingkar yang menutupi jalan keluar Han Han karena sudah mengurung di bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi Han Han untuk meloncat ke atas, sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan ilmu pukulan maut Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)!

Bukan main ganas dan dahsyatnya ilmu-ilmu itu sehingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia mendorong ke arah pukulan lawan.

“Krekkk! Plakkk.... desssss!”

Cepat sekali terjadinya. Payung itu patah menjadi dua, telapak tangan kiri mereka bertemu dan.... lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang mengirim tendangan kilat.

Han Han mencelat ke belakang, menyeringai menahan rasa nyeri karena biarpun ia tidak terluka dalam, ujung sepatu yang runcing itu membuat kulit lambungnya lecet! Di lain fihak, Nirahai dengan muka pucat memandang gagang payungnya.

“Maaf, Nirahai. Aku telah kena kau tendang, aku mengaku kalah.”

Nirahai memandang dengan mata mendelik, akan tetapi bagi Han Han, dara itu tampak makin menarik, mengingatkan ia kepada Lulu kalau sedang ngambek!

“Suma Han, benar bahwa pedang payungku telah patah, akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka jangan kau mentertawakan aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!” Setelah berkata demikian, Nirahai menerjang maju menyerang Han Han.

“Aiiihhhhh....!”

Han Han terkejut ketika melihat sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan tahu-tahu ada hawa yang mujijat menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu meluncur dan menusuk dada.

“Tranggggg....!” Ia menangkis dengan tongkatnya dan keduanya terpental mundur.

Han Han memandang dengan mata terbelalak.
“Aihhh.... itukah senjata keramat Suling Emas?” Ia berseru.

Nirahai tersenyum mengejek, yakin akan keampuhan senjata di tangannya.
“Payungku telah kau patahkan, akan tetapi aku masih memegang suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah engkau akan dapat mengalahkan senjata keramat ini!”

“Ahhh, Nirahai, mengapa engkau menggunakan senjata keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku? Kalau sampai aku tewas, hal itu tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu sampai minum darahku, bukankah hal itu patut disesalkan? Bukankah hal itu berarti engkau mengotorkan senjata keramah itu? Marilah kita hentikan, atau kalau dilanjutkan juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!”

“Hemmm, kau kira aku sebodoh itu mudah saja kau tipu? Engkau mengandalkan sin-kangmu yang amat kuat, kalau kita bertanding dengan tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut menghadapi aku yang bersenjata suling emas?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar