FB

FB


Ads

Senin, 29 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 092

“Krakkk! Desss....!”

Golok patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur, dari telinga, mata, hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!

“Bocah setan....!”

Toat-beng Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.

Ketika Han Han menggunakan tongkatnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan mendadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Diapun mengerahkan tenaga membetot.

“Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!”

“Aihhhhh....!”

Nenek itu menjerit. Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun telinga di mana rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.

Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur anggauta kelaminnya!

“Koko, awas....!”

Tak tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru. Nirahai menonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi itu turun tangan membantu kakaknya.

Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat gerakan kedua tangan nenek itu. Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya.

Ia membiarkan lehernya tercekik, mengerahkan tenaga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu.

Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sin-kang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!

Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.

Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.

“Aku Nenek Buyutmu.... Nenek Buyutmu....!” dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!

Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan Tuhan!

“Pergilah!” seru Han Han dan ia mengerahkan semua tenaganya, mendorong dan tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang menyayat hati.

Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlempar saja dan masih selamat.

Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepalanya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih mengerikan daripada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!






Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang melepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu mendengar suara ribut-ribut di antara para perajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.

“Katanya diadakan perdamaian, kenapa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan kekerasan?” Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para perajurit.

“Sin Kiat....!” Han Han berseru girang.

“Biarkan mereka menghadap!” perintah Puteri Nirahai.

Para perajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serombongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda, Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang Nirahai dalam jolinya.

Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nirahai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah,

“Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa sahabat-sahabatku ditawan?”

Sementara itu, para murid In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak tak bernyawa.

Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata dingin.
“Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan perang, melainkan urusan pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang yang kau maksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!”

Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.

“Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Sumoi mau pergi, silahkan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun tidak akan menghalangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandaian denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap engkau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut besar!”

“Nirahai....!”

Han Han terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya. Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki kemahnya.

Lulu menarik tangan Han Han dan pergilah orang muda itu dari tempat itu. Dua orang murid In-kok-san mengangkat jenazah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sambil berkata,

“Mereka ini orang-orang jahat di waktu hidup mereka, akan tetapi ini adalah jenazah-jenazah manusia dan mengingat bahwa kami pernah menerima gemblengan mereka, kami akan memakamkan jenazah mereka sebagaimana mestinya.”

Han Han menjadi terharu dan memandang kagum. Para perajurit tidak ada yang berani menghalangi rombongan ini keluar dari daerah perbatasan. Setelah murid-murid In-kok-san membawa pergi dua jenazah itu, hanya tinggal Han Han, Lulu dan Sin Kiat yang duduk di dalam hutan.

Han Han menceritakan pengalamannya bersama Lulu, sedangkan Sin Kiat juga menceritakan betapa dia mencari-cari Han Han dan kemudian kebetulan sekali mendengar bahwa Sin Lian dan Hian Ceng tewas dalam penyerbuan mereka ke perkemahan Ouwyang Seng, mendengar pula berita mengejutkan bahwa Ouwyang Seng juga terbunuh dan Han Han ditawan bersama Lulu. Maka dengan nekat ia lalu menyusul, bertemu dengan rombongan murid In-kok-san yang kesemuanya merupakan teman-teman seperjuangan dan yang ikut pula bersamanya karena pada waktu itu perang telah dihentikan.

Setelah mereka menceritakan perjalanan masing-masing, Han Han lalu bertanya sambil memandang Sin Kiat dengan sinar mata tajam penuh selidik,

“Sin Kiat, engkau adalah sahabatku terbaik, sahabat semenjak kita kecil. Katakanlah sejujurnya, di depan adikku, apakah engkau setulus hatimu mencinta Lulu?”

Wajah Sin Kiat menjadi merah, dan Lulu yang kedua pipinya menjadi merah pula menunduk, jari-jari tangan kirinya mencabuti rumput di dekat kakinya, jantungnya berdebar. Setelah mendengar keputusan Han Han dalam kamar tahanan, begitu Sin Kiat muncul, ia amat memperhatikan pemuda itu dan memang pemuda ini tak dapat dicela, gagah perkasa dan tampan, sikapnya pun menyenangkan.

“Han Han, seorang laki-laki sejati tidak akan mempermainkan cinta kasih. Aku telah menyatakan kepada Adik Lulu tentang cinta kasihku kepadanya. Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa aku mencinta Adik Lulu sepenuh hatiku, mencinta dengan jiwa ragaku!”

Lega hati Han Han mendengar ini.
“Dan engkau berjanji akan melindunginya seperti engkau melindungi dirimu sendiri?”

“Lebih dari itu! Kalau aku diberi kehormatan besar itu, aku akan mendahulukan keselamatan dan kepentingannya. Aku rela berkorban nyawa untuk melindunginya!”

Han Han menoleh kepada Lulu yang makin menunduk, memegang tangan adiknya dan berkata,

“Nah, engkau mendengar sendiri, Lulu. Engkau tidak akan menyesal selama hidupmu. Maka sekarang jawablah terus terang saja, aku menjadi saksinya. Apakah engkau bersedia kalau dijodohkan dengan Sin Kiat?”

Sepasang mata yang indah dan lebar itu terangkat, memandang Han Han dan dua butir air mata jatuh berderai di atas kedua pipinya, bibirnya gemetar ketika ia berkata lirih,

“Kalau itu yang kau kehendaki....”

“Memang aku menghendaki engkau berjodoh dengan Sin Kiat, adikku. Akan tetapi tentu saja aku tidak akan memaksamu kalau engkau tidak setuju. Jawablah. Maukah engkau menjadi jodoh Wan Sin Kiat?”

Lulu menunduk dan menganggukkan kepalanya. Gerakan ini membuat dua butir air mata baru jatuh lagi. Sin Kiat hampir tidak dapat percaya akan mata dan telinganya sendiri. Mau rasanya ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi tentu saja ia merasa malu, hanya jantungnya yang berdebar-debar menari-nari didalam rongga dadanya.

“Sin Kiat, engkau telah melihat sendiri. Adikku sudah sepatutnya menjadi ratu rumah tangga. Sekarang harap engkau suka mengajak Lulu pergi dan mempersiapkan acara pernikahan. Siapakah yang akan menjadi walimu dan di mana kiranya upacara itu akan dilaksanakan?”

“Aku sudah mengambil keputusan untuk mohon kepada suhu agar suka menjadi waliku, adapun tempatnya, kurasa paling baik di rumah Tan-piauwsu.”

“Hemmm.... di Pek-eng-piauwkiok? Di kota Kwan-leng?”

“Benar, aku tidak mempunyai keluarga, dan Tan-piauwsu adalah orang yang amat baik, kuanggap keluarga sendiri.”

“Baiklah. Kau berangkatlah bersama Lulu ke Kwan-teng, buatlah persiapan upacara pernikahan. Tiga bulan lagi semenjak hari ini, aku akan menyusul ke sana.”

Lulu tiba-tiba mengangkat muka dan berkata,

“Koko, kenapa begitu? Kenapa engkau tidak sekalian pergi bersama kami? Engkau hendak pergi ke mana?”

“Masih ada urusan yang harus kuselesaikan, Moi-moi. Pertama-tama, malam ini aku harus memenuhi tantangan pibu dari Puteri Nirahai.”

“Aihhhhh....! Aku.... aku ikut denganmu, Koko! Puteri Nirahai adalah suciku, dan engkau adalah kakakku. Kini kalian hendak mengadu kepandaian. Suci amat sakti, Koko, bagaimana kalau.... kalau.... ahh, aku hendak menjadi saksi!”

“Tidak boleh, Lulu. Dia mengajak pibu di tengah malam di puncak Gunung Cengger Ayam, hal ini berarti bahwa dia tidak akan membawa teman dan tidak menghendaki saksi. Mungkin dia merasa malu kalau-kalau akan kalah. Tenangkanlah hatimu, aku akan berusaha mencapai kemenangan tanpa harus membunuhnya. Kau berangkatlah sekarang juga bersama Sin Kiat dan tunggu kedatanganku di Kwan-teng tiga bulan lagi.”

Wajah Lulu menjadi pucat dan ia terisak menangis.
“Bagaimana kalau.... kalau engkau tidak datang, Koko? Kita baru saja bertemu dan berkumpul dan.... dan.... engkau sudah menyuruhku pergi.... aku tidak ingin berpisah denganmu.”

Han Han merasa jantungnya perih, akan tetapi ia memaksa diri tersenyum dan memegang pundak adiknya.

“Aku pasti akan datang, Lulu. Tidak ada peristiwa yang lebih penting bagiku melebihi upacara pernikahanmu, melihat engkau berbahagia. Hanya kematian saja yang akan mampu menggagalkan kedatanganku tiga bulan mendatang di Kwan-teng, akan tetapi andaikata demikian, aku pun akan puas karena percaya bahwa di sampingmu ada Sin Kiat yang akan membela dan melindungimu dengan sepenuh jiwa raganya. Berangkatlah, Lulu dan kau sudah berjanji akan menjadi adik yang baik, yang mentaati permintaan kakaknya, bukan?”

“Koko....!”

Lulu menubruk dan karena Han Han sudah bangkit berdiri, ia merangkul kaki tunggal itu sambil menangis. Berat sekali rasa hatinya untuk pergi meninggalkan Han Han. Hampir saja Han Han tidak dapat menahan keharuan hatinya dan kalau ia sampai balas memeluk adiknya, tentu dia akan membiarkan adiknya ikut dia dan kelak bersama-sama ke Kwan-teng. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, lalu berkata kepada Sin Kiat yang memandang penuh keharuan dan bingung apa yang harus ia lakukan.

“Sin Kiat, lekas kau ajak Lulu pergi, hari sudah hampir gelap, jangan sampai kalian kemalaman dijalan dan dihutan.”

Sin Kiat menghampiri Lulu, memegang lengan gadis itu dengan mesra dan hati-hati, mengangkatnya bangun dan berkata halus,

“Marilah, Moi-moi. Kakakmu memang benar, dan sepatutnya kalau kita mentaati apa yang dikehendakinya. Tiga bulan lagi dia akan menyusul kita di Kwan-teng. Dia bukanlah orang yang tidak menepati janjinya, Moi-moi. Marilah!”

Sin Kiat menarik dengan halus dan terpaksa Lulu menurut, akan tetapi gadis itu terisak-isak dan sambil berjalan digandeng Sin Kiat, ia menoleh memandang ke arah kakaknya yang berdiri tegak sambil tersenyum, malah Han Han melambaikan tangan, berkata.

“Selamat jalan, Lulu adikku. Selamat berpisah sampai jumpa kembali. Jangan kau nakal, ya?”

Tiba-tiba Lulu merenggutkan lengannya terlepas dari gandengan Sin Kiat, lari menghampiri Han Han, merangkul leher dan mencium pipi Han Han sambil tersedu-sedu.

“Koko.... Koko.... sudah tetapkah keputusanmu....?”

Han Han menahan air matanya yang memenuhi pelupuk mata.
“Pergilah, adikku sayang. Pergilah, doaku bersamamu....”

Lulu terisak, melepaskan rangkulan lalu lari meninggalkan Han Han. Terpaksa Sin Kiat juga lari dan dari jauh Han Han melihat kedua orang muda itu lari cepat berdampingan. Air matanya tak dapat ia tahan lagi, mengalir turun ke atas kedua pipinya, bersatu dengan air mata Lulu yang membasahi mukanya, matanya tak pernah berkedip sampai bayangan kedua orang itu lenyap.

“Bodoh! Lemah!”

Han Han memaki diri sendiri untuk menguatkan hatinya, akan tetapi kaki tunggalnya menjadi lemas dan ia menjatuhkan diri berlutut di tempat itu, merasa kehilangan, merasa sunyi dan mulutnya berbisik-bisik,

“Semoga Tuhan memberkahimu, Lulu adikku tersayang....!”

Han Han termenung dalam keadaan itu, di tempat sunyi, sesunyi hatinya yang terasa kosong. Setelah kegelapan menyelimuti dirinya, barulah ia teringat akan tantangan Nirahai dan ia lalu meloncat bangun, menyambar tongkat yang tadi ia buat dari ranting pohon, dan melesatlah tubuhnya cepat sekali menuju ke gunung kecil Cengger Ayam untuk menghadapi Puteri Nirahai!

**** 092 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar