Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.
“Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka.” demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira.
Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
“Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung.
“Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!” Lulu memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah lucu!”
Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han Han berkata,
“Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang.... ha-ha-ha!”
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
“Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....!”
Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
“Lulu adikku yang terkasih, engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata,
“Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.”
“Ha....! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut dan alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih,
“Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu....! Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!”
Han Han melengak kaget,
“Eh! Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu.”
Lulu menggelengkan kepalanya pula.
“Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko.”
“Engkau harus mau!”
“Tidak mau!”
Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.
“Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya.
“Koko bukan...., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku....” Lulu terisak menangis.
“Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka.” demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira.
Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
“Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung.
“Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!” Lulu memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah lucu!”
Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han Han berkata,
“Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang.... ha-ha-ha!”
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
“Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....!”
Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
“Lulu adikku yang terkasih, engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata,
“Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.”
“Ha....! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut dan alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih,
“Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu....! Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!”
Han Han melengak kaget,
“Eh! Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu.”
Lulu menggelengkan kepalanya pula.
“Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko.”
“Engkau harus mau!”
“Tidak mau!”
Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.
“Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya.
“Koko bukan...., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku....” Lulu terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu.
“Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita....”
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya,
“Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?”
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
“Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu....” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?”
Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu.
“Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya.”
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es.
“Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta didunia ini!”
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya.
“Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”
“Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”
“Tentu saja!”
“Dan engkau akan meninggalkan aku?”
“Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku.”
“Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas,
“Kenapa, Lulu?”
“Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa.
“Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?”
“Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu.
“Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!”
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih,
“Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut.” Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata,
“Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
“Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga....!”
“Ssstttt, kau ikutlah saja,” kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!”
“Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!”
Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum.
“Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok!
Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru,
“Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”
Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai.
Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para panglima dan perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu, para perajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
“Tidak bisa! Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya!
Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!”
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan,
“Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”
“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diselingi suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya.
“Apakah tidak dapat menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan,
“Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?”
“Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Han menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!”
Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para perajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa,
“Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!”
Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.
“Siapa yang mengeluarkan kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.
“Suci, akulah yang memaksa keluar,” kata Lulu.
“Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!”
“Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas.
“Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!”
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu.
Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
“Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!”
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.
“Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurang ajaranmu menantangku!”
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek.
“Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andaikata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula!
Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kau buntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?”
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.
“Lulu, mundur!” Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah didepan kakinya!
“Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....!”
Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
“Singgg.... ngiuuukkkkk....!”
Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
“Cuat-cuattt....!”
Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata bergerak cepat dan bersikap waspada.
“Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!”
Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.
“Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!” Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab, mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi.
Han Han tetap mainkan ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat daripada tenaga sin-kang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sin-kang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya.
Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak ubannya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah!
Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan perhatian bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sin-kang kuat, dapat menggetarkan jantungnya.
Baiknya para perajurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak dan mengejar terus.
Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa mereka seperti perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerakkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang.
Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
“Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita....”
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya,
“Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?”
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
“Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu....” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?”
Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu.
“Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya.”
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es.
“Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta didunia ini!”
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya.
“Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”
“Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”
“Tentu saja!”
“Dan engkau akan meninggalkan aku?”
“Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku.”
“Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas,
“Kenapa, Lulu?”
“Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa.
“Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?”
“Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu.
“Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!”
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih,
“Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut.” Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata,
“Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
“Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga....!”
“Ssstttt, kau ikutlah saja,” kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!”
“Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!”
Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum.
“Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok!
Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru,
“Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”
Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai.
Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para panglima dan perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu, para perajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
“Tidak bisa! Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya!
Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!”
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan,
“Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”
“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diselingi suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya.
“Apakah tidak dapat menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan,
“Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?”
“Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Han menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!”
Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para perajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa,
“Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!”
Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.
“Siapa yang mengeluarkan kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.
“Suci, akulah yang memaksa keluar,” kata Lulu.
“Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!”
“Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas.
“Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!”
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu.
Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
“Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!”
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.
“Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurang ajaranmu menantangku!”
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek.
“Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andaikata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula!
Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kau buntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?”
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.
“Lulu, mundur!” Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah didepan kakinya!
“Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....!”
Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
“Singgg.... ngiuuukkkkk....!”
Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
“Cuat-cuattt....!”
Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata bergerak cepat dan bersikap waspada.
“Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!”
Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.
“Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!” Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab, mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi.
Han Han tetap mainkan ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat daripada tenaga sin-kang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sin-kang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya.
Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak ubannya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah!
Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan perhatian bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sin-kang kuat, dapat menggetarkan jantungnya.
Baiknya para perajurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak dan mengejar terus.
Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa mereka seperti perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerakkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang.
Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar