FB

FB


Ads

Jumat, 26 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 090

“Sin Lian....!”

Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han.

Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.

Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!

“Prakkk! Desss....!”

Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali.

Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biarpun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.

“Han Han.... ohhhhh, Han Han....”

Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.

“Sin Lian.... aduh Sin Lian.... kau.... kau ampunkan aku, Sin Lian....! Aku terlambat menyelamatkanmu....”

Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap diulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum!

Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.

“Han Han.... ohhh, Han Han.... aku rela.... aku senang mati.... dalam pelukanmu....! Han Han.... kau.... kau menangisi aku....?”

Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu.

Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.

“Han.... Han.... aku.... cinta padamu...., aku rela mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang mencintamu pula.... selamat tinggal....” Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.

“Sin Lian.... aduhhh, Sin Lian....!”

Han Han tak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.






Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya. Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik,

“Celaka.... bocah pengacau itu datang....!” Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.

“Kak Han Han....!”

Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.

“Han-twako....!”

Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba didepan Han Han.

Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.

Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit,

“Enci Lian....! Dia kenapa....?”

Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.

“Enci Lian....! Ooohhhh, dia.... dia.... kenapa....? Mati....! Enci Lian mati....!”

Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.

“Han-koko....! Kau.... kau kenapa....? Kau terluka....?” Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.

“Ah, Lulu anak nakal....!” Han Han merangkul adiknya. “Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian.!”

“Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?”

“Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!”

“Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!”

“Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini....! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya kepadaku.... dia telah berkorban untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah aku menemaninya mati untuk membalas budinya?”

“Tidak!”

Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menudingkan telunjuknya.

“Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!”

“Lulu, jangan....! Jangan mencampuri urusan ini!” Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. “Akulah lawan mereka.!”

Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan disamping mayat Sin Lian.

“Koko....! Han-koko....! Jangan engkau mati.... jangan tinggalkan aku, Kak Han Han....!”

Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.

Baru Lulu sadar ketika sebuah tangan halus namun kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ, dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.

Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata,

“Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!”

Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi, mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata,

“Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri.”

“Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!”

Nirahai memperlebar senyumnya.
“Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati.”

Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.

“Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,”

Kata Nirahai dan terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian.

Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu “matang” mengurus tugas dan membantu pemerintah.

Han Han dan Lulu dimasukkan dalam tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu.

Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung!

**** 090 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar