FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 074

Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang.

“Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggauta Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho....”

“Aaahhhhh....!”

“Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.”

“Ahhhhh....!”

Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata,
“Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat....!”

Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-loncat dan melayang-layang.

“Heiii.... eeeiiitttt.... eh, kita terbang....!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.

“Waduhhhhh.... hebat sekali.... eiiihh, ngeri.... terlalu tinggi kita meloncat.... aihhhhh!”

Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!

Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng.

“Kita sudah aman, Nona.”

Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum.

“In-kong, aku kagum sekali.... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”

Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.

“Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”

“Ah, adikmu tentu cantik jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng ketika mereka melanjutkan perjalanan.

“Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona.”

“Dan dia tentu amat lihai.”

“Memang dia amat lihai!”

“Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”

“Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”

Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah,

“Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”

Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han.
“Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?”

Dia benar-benar tidak mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat disiang hari!

“In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”

Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi.

“Oohhh.... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.”

“Akan tetapi dia cantik manis....”

“Engkau juga.... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati....”

Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat,
“Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan keras.”

Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan.
“Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”

Gadis itu mengangguk.
“Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur, yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”






Han Han bergidik, teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.

“Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?”

“Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”

“Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa....”

“Bagi yang tidak mengerti bagaimana akalnya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat....” dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, “kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”

Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru.

“Kau maksudkan sungai itu, Nona?”

“Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”

“Naik perahu?”

“Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api....!”

“Habis, bagaimana?”

Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi “pemimpin”!

“Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!”

Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan yang curam. Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling.

Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.

Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.

“Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.

Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik,

“Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itupun tidak ada gunanya bagi kita.”

Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar keras.

Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini. Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah.

Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya. Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya.

Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itupun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!

“Lalu.... bagaimana....?” bisiknya.

“Kau pandai renang.... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa....” Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.

Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.

“Akan tetapi memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”

Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!

“Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”

Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya.

“Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air.”

Han Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya.

Dengan tubuh dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar. Seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata,

“Aku akan mencari batang pohon itu di sana.”

Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya!

Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.

“Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.

“Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”

Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya!

Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi diantara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas.

Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air kuat juga di bagian itu. Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?

Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengan Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu.

Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.

“Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”

Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!

Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air!

Han Han kagum sekali melihat betapa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng.

Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengan tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak terlihat oleh tentara lain.

“Kita harus membawa mayat mereka ke tepi, kalau terhanyut, kita celaka....” kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.

“Biarkan aku melempar mereka ke darat!”

Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!

Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok.

Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.

“Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!”

Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali.

Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk-garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.

“Heiiiiii....! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya.

Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!

“Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,”

Kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.

“Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”

“Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”

“Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”

Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.

Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han dapat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.

“Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.

“Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”

“Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.”

Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian. Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar!

Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biarpun tertutup semak-semak.

Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.

“In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!”

Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki puncak itu dan kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!

Tak lama kemudian tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera.

“Lihatlah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali fihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung.

Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san.”

Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.

“Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal.

Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.”

“Dan kau sendiri, Nona?”

“Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”

“Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”

“Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”

Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.

Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih. Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring.

Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di atas dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandang. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.

“In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”

Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya.

“Tidurlah, Nona.”

“Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar