FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 073

Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sin-kangnya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuhnya menggigil karena terasa dingin sekali.

Tadi ia dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sin-kang dan memulihkan kesehatannya maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!

“Ouwyang Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.

Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung di depannya ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan berkata.

“Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?”

Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?

“Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala.

“Bersumpahlah!”

Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian.
“Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”

Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.

“Lai Kwan, kalau aku mengingat bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat. Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan!

Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah tersesat, karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sendiri sudah mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu sendiri!”

“Han Han manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”

Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil, pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun, putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain.

Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmn, ia kini meragukan hal itu. Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!

Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.

“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!”

Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat. Han Han berkata suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat.

“Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”

“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?”

Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat!

Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali. Gadis itu memandang ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan, tidak dibunuh.

Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mujijat.

Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang halus, ia membalik menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipengaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!

“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak tahu malu....!”

Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tanpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap,

“Nona.... eh.... apa maksudmu....?”






“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?”

Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!

“Eh....! Eh, apa kau gila....?”

Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat itu.

“Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar....!”

Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan.... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya!

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya tanpa menengok berkata.

“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”

Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya.

Biarpun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.

“Sudah.... sudah kupakai.”

Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata,

“Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku.... aku memang kurang ajar, biadab.... selamat tinggal....!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.

“Eh, nanti dulu....!”

Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apalagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah.... ayah....” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu.

Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.

“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali....”

Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.

“Kau....! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?”

Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sinkang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya.

Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak!

Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah!

“Plak-plak-plak....!”

Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan!

Han Han tertarik dan kagum. Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Lian sungguhpun keistimewaan ilmu silatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki gin-kang cukup hebat, sungguhpun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!

“Eh, di mana kau....?”

Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.

“Eh, menghilang? Kau setankah....?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.

Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biarpun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh kebelakang dan berseru.

“Stoppp....! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”

Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!

“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”

Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan.... tidak mengenal budi!

“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkantah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”

“Kau mengejek, ya? Biarpun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”

Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitupun tidak betul. Lebih baik tidak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan keindahan tubuhnya dan kecantikannya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, melainkan mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.

“Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?”

Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biarpun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.

“Jadi engkau tidak mengejek aku?”

Han Han menggeleng kepala.

“Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?”

Han Han menggeleng kepala.

“Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?”

Han Han mengangguk.

Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk.

“Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?”

Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!

“Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”

Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!

Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih,
“Maafkan aku.... maafkan bahwa aku telah salah duga.... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi.... mata In-kong.... sungguh.... mengerikan hatiku....”

Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis. Biarpun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis inipun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.

“Nona Tan, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”

Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk.

“In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu.... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?”

Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab,

“Tentu saja. Marilah, Nona.”

Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!

Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Dengan suara penuh duka, setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.

“Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).”

Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.

“Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”

Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).

“Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan.”

Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biarpun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna daripada dia!

Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itupun seorang gadis Mancu pula? Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah!

Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya! Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!

Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya nerocos turun mengalir di kedua pipinya.

“In-kong.... engkau.... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku, In-kong.... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi.... kiranya In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”

Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya.
“Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”

Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri.

“Baiklah, In-kong....” ia lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya.

Han Han lalu menggunakan sin-kangnya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!

Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sin-kang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.

Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa
Tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga
TanSun, GiamKi, dan Thio Kai tiga pahlawan
patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!

“Indah sekali.... ah, In-kong hebat luar biasa....!”

Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.

“Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”

“Akan tetapi.... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?”

Hian Ceng terbelalak. Ayahnya adalah seorang ahli lwee-keh, memiliki tenaga lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga lwee-kang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.

“Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”

Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sin-kang, tongkat dipantulkan dan.... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!

“Ahhhhh.... awas! In-kong....!”

Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!

“Bukan main....!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong.... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu In-kong akan kesana, bukan?”

Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. Han Han yang memandang wajah gadis melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu, cepat ia berkata.

“Tidak, Nona. Aku.... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku.... aku hendak mencari adikku.”

Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat.... yang budiman tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin.... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya, In-kong?”

“Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun lenyap.... sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil....”

Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan.
“Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana, In-kong?”

“Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu....”

“Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.

“Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu....”

“Ah....! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”

“Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat.”

“Wah, In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”

Han Han mengangguk.
“Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian....”

“Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar