FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 072

Han Han melangkah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian perwira itu menguatkan hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan dapat melawan seorang buntung?

“Mampuslah, buntung!”

Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya dan pedangnya berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, namun pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!

Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman.
“Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jika engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil sebutan pengecut!”

Kedua kaki perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan dihantamkan kedada Han Han.

“Bukkk! Aughhh....!”

Perwira itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi terkencing-kencing!

Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di tangannya berkelebat.

“Brettt-brettt....!”

Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat. Pedang itu telah merobek semua pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil, bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu dan ia meratap.

“Taihiap.... ampunkan.... ampunkan hamba.... ampuuunnnnn....!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!

Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas daripada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!

“Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”

Giam Kok Ma mengangkat muka, ketika melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu kereta, semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya.

“Aduhhh.... ampunkan, taihiap.... apa.... apa yang akan taihiap lakukan....?”

“Apa yang akan kulakukan? Ha-ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kau lakukan kepada Ibuku? Jawablah.... heh-heh, jawab!”

“Ampunnn....!”

“Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!”

Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil momegangi tangan kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus tanpa ia rasai dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!

“Ampum.... aduh, ampun....!”

“Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!”

Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.

“Aduhhhh.... mati aku.... aduh, ampunnnn.... taihiap....!”

“Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat mengampunimu!”

Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu benar-benar amat mengerikan.

Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.

Han Han tertawa, suara ketawanya tidak seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!

“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!”

Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk. Kemudian Han Han tertawa lebih keras.

“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!”






Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri!

Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan. Sambil terus tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak tertutup lagi itu berhamburan keluar semua!

Han Han masih belum puas, karena iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!

Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah yang berceceran di depannya, matanya terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan.

Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kehilangan sinar itu, terganti sinar penuh takut dan ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip memandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia diserang demam.

“Tidak! Tidak!”

Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.

“Tidak....! Tidak mungkin....!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Iblis....! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau....? Harus kuhancurkan engkau!”

Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat ekor kudanya terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.

Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis.
“Ibu.... Ibu.... mengapa aku menjadi begini? Iblis.... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan tetapi.... ya Tuhan.... yang kulakukan tadi.... ah, jauh lebih kejam....! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik dari pada engkau....!”

Tiba-tiba Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya,

“Tuhan.... ampunkan aku.... Ayah Ibu, ampunkan aku....!”

Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan keluar dari tempat itu, menuju ke kota Toang-koan-bun kembali.

Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap manusia. Manusia adalah mahluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring, akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar.

Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itupun dikuasai nafsunya.

Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia yang lemah.

Han Han lupa bahwa dahulu ia menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah keadilan lagi namanya, melainkan kejahatan dalam bentuk lain!

Keadilan hanya murni kalau dilaksanakan tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.

Memang tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat mementingkan diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka mudah sekali menjadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri.

Terutama sekali dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukarlah untuk menekan nafsu amarah dan dendam kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam (sadistic) yang dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah mencelakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa malapetaka yang lebih sengsara lagi!

“Lulu.... ah, Adikku Lulu.... di mana engkau....?”

Han Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang dapat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara seperti ini.

Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang remang-¬remang.

“Aihhhhh....!”

Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu.

Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan yang membuat mukanya menjadi merah sekali. Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang kelihatannya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut pakaian wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek, membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.

“Kuda betina ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.

“Wah, sayang kalau dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau....?”

Wajah Lai Kwan merah sekali.
“Aku.... aku.... tidak pernah, Kongcu....”

“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, ha-ha!”

“Akan tetapi.... itu.... itu perbuatan rendah....” Lai Kwan berkata lagi.

Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan.

“Ucapanmu sungguh tolol Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah, wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”

Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan.
“Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!”

“Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu daripada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di rumput dan kau pegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”

“Tidak, Kongcu.... aku.... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia.... eh, dia terlepas....!”

Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan senjatanya, tali hitam.

“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang-Seng tertawa.

Gadis yang sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.

“Ahhh....!”

Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.

“Engkau.... Sie Han sute....?” Lai Kwan berseru kaget.

“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sutemu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.

Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapapun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigitan Han Han!

“Han Han, lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak....”

Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan muka merah.

“Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan dimaafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”

“Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”

“Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng berseru.

Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biarpun tadi sin-kangnya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan. Apalagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.

“Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”

Han Han menghela napas panjang.
“Sayang seorang muda perkasa seperti engkau, kini tidah lebih hanya seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”

“Keparat buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak, mengeluarkan suara “tar-tar!” dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah kepala Han Han.

“Wuuuttttt....!”

Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.

Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.

“Tes! Tes! Tes!”

Memang tiga kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak bergeming, apalagi roboh seperti yang disangka Lai Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan Lai Kwan yang memegang cambuk.

“Ayaaaaa....!” Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.

“Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!”

“Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!”

Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat daripada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.

Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya, pulih kembali ketabahannya melihat kawannya sudah mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh.

Agaknya karena maklum akan kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar dilawan!

=====================================

Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki pedang terbuat daripada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai dengan nama pedangnya!

Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya ternyata tidak kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan, menyerang Han Han dari belakang.

“Syuuutttt.... syuuuttt....!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.

“Ciuuutttt.... singggg....!”

“Heiii....! Ayaaa....!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han melambung ke atas dan karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri.

Dengan enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.

“Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”

Ouwyang Seng memandang marah.
“Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya dan pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han.

Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.

“Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu....” Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat menghindarkan serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung, “.... dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang....?”

Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja, gerakannya demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!

“Dia sudah minggat, mana aku tahu?”

Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han. Dulu sebelum buntung, tidak sehebat ini kelincahan Han Han. Bagaimana sekarang setelah buntung malah menjadi begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Ia hendak memapaki tubuh Han Han kalau mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.

“Ouwyang Seng bersumpahlah....”

Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.

“Syuuut.... syutttt!”

Lai Kwan berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, “.... ber sumpahlah bahwa kau benar-benar tidak tahu di mana adanya Lulu!”

“Setan! Mampuslah!”

Kembali Ouwyang Seng menyerang, ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han!

Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyambut dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.

Han Han berdiri tenang saja, menanti sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya dan tiba-tiba pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat pinggangnya, Han Han menggerakkan tangan dan seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam!

Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.

“Bersumpahlah....!”

Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, mempertahankan dengan menyalurkan sin-kang menggunakan tenaga “menempel dan menyedot”.

Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.

“Desssss....!”

Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya, seperti sebongkah batu dilempar ketelaga.

“Ayaaaaa....!”

Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar