FB

FB


Ads

Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 075

Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja!

Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin!

Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.

“Huhhhhh.... dinginnnnn....!”

Suara Hian Ceng membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa!

Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!

Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.

Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih “selimut” ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik “selimut” itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han.

Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng. Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas.

Akan tetapi tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, “mematikan” perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.

Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.

“In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”

Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguhpun tidak ia sengaja.

“Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?”

Nona itu tertawa.
“Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”

Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.

Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata,

“Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.”

“Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?”

“Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”

“Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!”

“Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua daripadamu, Nona.”

“Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”

“Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?”

“Hemmm, kalau engkau begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku akan menyebutmu kakak.”

Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup.

“Baiklah, Moi-moi. Baiklah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”

“Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!”

Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.

“Adikku yang baik, namaku Sie Han. Akan tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”

“Han-twako!”

Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.






Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka bermalam di puncak terakhir.

“Sekali ini terpaksa kita harus bermalam dibawah pohon, Twako.”

Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu.

Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu, melepaskan lelah. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.

“Lima tahun yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,”

Kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?”

Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.

“Kami diserang halimun beracun....”

“Halimun beracun? Apa itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”

“Apa penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”

“Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah ditubuh mereka membeku!”

Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sin-kang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.

“Twako, celaka....!”

Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap, rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tampak sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!

“Han-twako.... halim.... mun.... beracun.... kita lari saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak ada halimunnya....?”

Suara Hian Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.

“Han-twako....!”

“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku disini, jangan khawatir.”

“Di.... dinginnn.... tak tertahankan....”

“Menggeserlah, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”

Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa.

Ia masih dapat mendengar perintah Han Han maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung.

Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung. Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun!

Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan didekat telinganya.

“Ceng-moi, jangan tidur.... kerahkan sin-kangmu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya....!”

Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biarpun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sin-kangnya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.

Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata,
“Sudah aman.... kabut dingin sudah lewat!”

Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!

Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikimya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.

“Alangkah cantiknya.... bibir itu.... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel.... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.

“Gila engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”

“Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan....” suara itu makin lembut, “Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang....”

“Tidak!” Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”

“Bukan mencuri....” bantah suara ke dua halus, “baru saja kau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra.... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh....?”

Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biarpun hanya satu kali, biarpun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra! Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan berahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!

Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mujijat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?

Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak,

“Bedebah Suma Hoat....!”

Tangannya yang mengerahkan tenaga sin-kang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!

“Aihhhhh....! Ada.... ada apa....?”

Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sin-kang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.

“Si keparat engkau, Suma Hoat....!” Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.

“Han-koko....!”

Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.

“Lulu....!” bisiknya mengandung isak.

Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
“Han-koko....! Kau kenapakah....?”

Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu berahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu berahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.

“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan....”

Tubuh gadis itu menggigil.
“Aihhh.... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?”

Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya.

“Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”

Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.

“Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”

“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”

“Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku daripada bahaya yang mengerikan sekali, ke dua menyelamatkan aku daripada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali....”

“Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi....” Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah....”

“Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu.... Twako, kau berjanjilah.... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”

“Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Tidurlah....”

Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.

Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata,

“Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali.... ah, percayalah, Koko, aku akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu....”

Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.

“Ceng-moi.... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri.... tidurlah dan besok pagi kita bicarakan lagi....!”

Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar dan mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.

Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.

“Aku ke Cung-king, tak pertu dikawal. Sampai jumpa.”

Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biarpun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya.

Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan “iblis” yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!

Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang.

Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacad akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang.

Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain. Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah.

Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.

“Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”

Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang inipun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.

“Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.

“Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, aku pun kehilangan sebelah kakiku dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal, jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekalipun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!”

Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, namun orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, melainkan untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.

Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan tidak menimbulkan kecurigaan, ia membenarkan bahwa ia kehilangan kaki ketika ia membantu fihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.

“Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukanlah anggauta pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”

Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi,

“Orang muda, di fihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu?”

Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya.
“Aku tidak tahu, aku tidak difihak siapa-siapa.”

“Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.”

Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, akan tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.

“Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kau sampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan faham sehingga timbul tiga macam faham.

Pertama adalah faham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan ke dua adalah faham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan fihak Se-cuan. Nah, yang ke tiga adalah faham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu faham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti.... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!”

Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu. Ah, dia tidak akan peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana dan dia tidak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu.

Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.

Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, melainkan terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu.

Bukankah adiknya Lulu, juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan kejahatan, dari manapun juga datangnya!

Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya dan tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar