Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami....”
“Juga Koai-lojin tidak mampu....?”
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”
“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami....”
“Sumpah apakah, locianpwe?”
Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....”
“Iihhh...., kejam....!” seru Lulu.
“Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas.
Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri akibatnya....” Kakek itu mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik,
“Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....”
Kakek itu mencium kening nenek itu.
“Sie Han.... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami.... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu.... engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau....”
Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
“Suhu....! Subo....!”
Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me.... mereka.... sudah mati.... oohhh....!”
Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur mereka....”
“Hayo kita pergi. Han-ko...., aku takut sekali....”
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulan sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala.
“Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini....” kata Han Han.
Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh.... aduh.... perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....!”
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata,
“Lekas, mari kugendong....”
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya.
Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi, dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan,
“Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih.
Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah! Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau, ya?”
Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang.
Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan....” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.”
Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko...., ada apakah....? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah....”
“Kakimu dipotong....? Tidak....! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi.... pergi....!”
Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, kesini....! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!”
Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut.
“Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu.... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, suhu.... bukan....!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring,
“Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!”
Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.
“Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini....”
Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan....!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk.
“Hemmm...., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau....”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya.
Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut.
Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko.... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”
“Aku.... aku.... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi.... mereka jahat sekali....”
“Hushhh, diamlah....”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad....! Murid durhaka....!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu....!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut.
Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu kebelakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu....! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu....! Dia....! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan.... tertidur.
Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami....”
“Juga Koai-lojin tidak mampu....?”
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”
“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami....”
“Sumpah apakah, locianpwe?”
Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....”
“Iihhh...., kejam....!” seru Lulu.
“Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas.
Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri akibatnya....” Kakek itu mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik,
“Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....”
Kakek itu mencium kening nenek itu.
“Sie Han.... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami.... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu.... engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau....”
Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
“Suhu....! Subo....!”
Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me.... mereka.... sudah mati.... oohhh....!”
Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur mereka....”
“Hayo kita pergi. Han-ko...., aku takut sekali....”
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulan sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala.
“Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini....” kata Han Han.
Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh.... aduh.... perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....!”
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata,
“Lekas, mari kugendong....”
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya.
Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi, dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan,
“Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih.
Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah! Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau, ya?”
Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang.
Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan....” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.”
Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko...., ada apakah....? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah....”
“Kakimu dipotong....? Tidak....! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi.... pergi....!”
Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, kesini....! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!”
Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut.
“Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu.... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, suhu.... bukan....!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring,
“Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!”
Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.
“Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini....”
Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan....!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk.
“Hemmm...., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau....”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya.
Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut.
Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko.... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”
“Aku.... aku.... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi.... mereka jahat sekali....”
“Hushhh, diamlah....”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad....! Murid durhaka....!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu....!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut.
Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu kebelakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu....! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu....! Dia....! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan.... tertidur.
Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar