FB

FB


Ads

Kamis, 27 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 022

Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas.

Tentu saja dalam keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.

“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”

Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya.

“Kita ini.... dibawa ke mana, Koko?”

“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.”

“Pulau Es? Dimana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.

“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”

“Koko....!” Lulu menangis.

“Eh, malah menangis. Ada apa?”

“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.

“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”

“Han-ko....!”

Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.

Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya.

Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget.

"Perahu di sebelah depan!"

Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam.

Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.

"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"

Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan.

Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.

Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita.

Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya sikap mereka gagah.

Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.

"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"

"Sikat saja, habiskah mereka!"

Kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.






"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah orang segolongan…." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.

Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah.
"Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan, menjadi pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"

“Tidak…. tidak takut… hanya…”

"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.”

Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!

Sementara itu, tiga beJas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang, segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.

"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."

"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" Suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.

Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal.
"Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."

"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?"

Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.

Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata.

"Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."

"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."

Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.

"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapapun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."

"He-hemmm…."

Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini, dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata.

"Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian, sekarang juga karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"

Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.

"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"

Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa.

"Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."

Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

"Adapun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."

Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacad yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.

"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"

"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini."

Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.

Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biarpun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.

"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biarpun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.

Swi Coan tersenyum lebar.
"Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"

Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san. Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih.

"Mukanya…. jangan-jangan dia…. Ma-bin Lo-mo….”

Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu.

"Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."

Tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.

"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."

"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.

"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.

"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, berteriak nyaring.

"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.

Tentu saja tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.

"Sungguh mentakjubkan! Si murid lebih bijaksana daripada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang mentaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"

"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu.

Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.

Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.

Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.

Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, mereka masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali.

Mereka terkejut dan cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.

Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andaikata tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat "memasuki" pertahanan mereka dan merobohkan seorang diantara mereka.

Akan tetapi, tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapapun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang diantara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.

Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun diantara tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar.

"Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!"

Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil.

Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan. Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali, dan terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.

Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan dan tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.

Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Dan pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengannya bergerak-gerak seperti mendorong.

Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.

Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-liat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!

"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!"

Kata Ma-bin Lo-mo, kemudian kakek sakti ini menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk!

Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

"Ohhh…. kejam sekali…. aahhh, Koko, aku takut…."

Lulu berkata lirih dan mulai menangis. Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya.

Memang mereka memiliki "pegangan" yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu, namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.

Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, melainkan merasa muak dan diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.

Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas dan kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi.

Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap, hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.

"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu, selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."

"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio, tertarik.

"Begitulah, agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"

"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?" Tanya Si Muka Tengkorak.

"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana….?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.

"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."

"Ada perahu lagi….!"

Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tanganya. Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang.

Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.

Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar