FB

FB


Ads

Kamis, 27 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 023

"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus hersiap-siap dan jangan seperti anak kecil ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di pulau itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."

"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?"

Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!

"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"

Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!

"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."

Pada saat itu, biarpun jarak diantara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!

"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”

Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat!

Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mujijat.

"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang diantara kita menjadi santapan ikan! Adapun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"

"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si MukaTengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka, menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!"

Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya.

Namun, dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Adapun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini, Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.

"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat.

Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.

"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!"

Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.

Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi, ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biarpun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!

Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang pembantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.






"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio dan benar saja.

Tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.

"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"

Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Adapun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.

Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan mempergunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa,

"Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!"

Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.

Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak, dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum.

Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.

"Koko…. aku takut….. api itu akan membakar kita….”

Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya, ombak makin membesar dan langit makin gelap.

"Lulu, lekas berdiri contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambi bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.

Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sin-kang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.

Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.

"Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.

"Tidak….! Aku takut….!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.

Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin,
"Apakah kau ingin terbakar api?"

Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.

"Hujan…!”

Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit.

Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi. Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik dan biarpun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar keluar perahu.

Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han. Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya.

Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.

Entah berapa lamanya badai mengamuk, Han Han tak dapat mengira-ngira. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama.

Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu "tertidur" lagi. Namun Han Han tetap sadar!

Ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali, keadaan amat tenangnya, Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua. Tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk dan Lulu merintih perlahan.

"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.

"Han-ko…, apakah kita sudah…. sudah mati….? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit…."

Han Han merasa kasihan sekali.
"Kita masih hidup, Lulu."

Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat daripada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biarpun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang.

Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biarpun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata,

"Perutku lapar….”

Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biarpun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.

Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai keluar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusana mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya.

Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk. Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas daripada ancaman manusia-manusia iblis itu.

Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum, dan selain perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri daripada ancaman maut ini.

Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan keluar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi, nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya daripada kehendak Tuhan.

Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biarpun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut.

Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun, pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.

Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.

"Kita mati, Koko…. kita mati…. akan tetapi jangan tinggalkan aku…. kita bersama…”

Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apapun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biarpun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.

Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!

Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.

"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar…." kata Han Han dengan suara lemah.

Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.

"Lulu…. mari kita keluar….. kita harus berusaha, untuk mendarat…."

"Oohhh…. lebih senang begini, Koko….."

Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.

Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkan saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!

Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras.
"Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"

Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.

"Koko, kitab-kitabmu tercecer…."

Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu. Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis.

Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu. Yang sebuah berjudul

“Menghimpun Tenaga Im-kang” dan yang kedua berjudul "Berlatih Samadhi dan Lwee-kang", keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo.

Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik.

Ketika mereka muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.

"Pulau Es….! Lulu, kita berada di Pulau Es !"

Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu. Lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian. Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga ketika mereka bergulingan jatuh, mereka tidak terluka. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.

“Kita selamat…! Kita mendarat….!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.

Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah, telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini, setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan keluar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar.

Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya, terlepas.

"Koko….! Han-ko…..! Ah, Han-ko, bangunlah…."

Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak. Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.

"Han-ko….! Jangan mati, Han-ko…., jangan tinggalkan aku….!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.

“Gerrrrr……!”

Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.

Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor biruang yang berbulu putih. Biruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing.

Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar