FB

FB


Ads

Kamis, 27 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 028

"Han-ko....! Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!"

Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya, biruang es sedang menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia mencium ikan di bawah situ.

Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han, usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah, tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat membayangkan tenaga sakti yang amat kuat.

Adapun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang pinggangnya kecil, tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu.

Dia sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat mentakjubkan. Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar!

Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin daripada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya sampai membeku!

"Koko! Terlalu sekali kau! Masa aku kau diamkan sampai tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel!

Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam samadhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya, dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali.

Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demi sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab.

Dan ia telah mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam samadhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apabila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.

"Han-ko... Han-ko.... tolong..... Paman Beruang diserang ular....!”

Kalau lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan samadhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musuhnya sudah mulai terang, ia menoleh.

Dilihatnya Lulu, sedang menarik seekor ular dari leher biruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa biruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi menggigit leher biruang dan membelit leher itu.

Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan sin-kang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh biruang dan ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali.

Ular merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu! Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu .tidak dapat melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli.

Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.

"Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan lulu.

Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.

"Mau apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!" Lulu mengomel.

"Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat Paman Biruang itu!"

Han Han menunjuk ke bawah, Lulu menengok ke arah biruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh biruang sambil memekik-mekik memanggil.

"Paman Biruang.... Paman.....!”

Akan tetapi biruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yang putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah.






Sampai lama Lulu menangisi biruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut menangisi biruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.

"Apa yang kau lakukan itu, Koko?"

Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit!

Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andaikata ular itu dapat bersuara, tentu sudah melolong karena kesakitan.

"Han-ko, kenapa tidak kau bunuh saja dia?”

"Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Biruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum!"

"Ihhh, jijik! Aku tidak mau!"

"Mengapa, Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman Biruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian paman Biruang?"

"Tentu saja! Biar kuhancurkan kepalanya!"

"Eiiiiit, jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Biruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Biruang." Berkata demikian, sinar mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.

"Koko, kau tidak menengok... dia....?" Lulu menuding ke arah tubuh biruang yang sudah menjadi mayat.

"Perlu apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Biruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini."

Setelah berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan.

Makin deras darah menetes, makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat biruang dimana Lulu berlutut sambil membelai bulu biruang dengan penuh kesedihan.

"Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Biruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular."

Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu.

Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai.
"Ihhh, aku... jijik...., Koko!”

"Lulu," kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya. "Rasanya manis dan enak pula, apakah kau tidak mau menyenangkan arwah Paman Biruang? Dia saat ini mungkin sedang menggereng marah melihat ketidak setiaanmu."

Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai biruang itu. Kebetulan sekali muka biruang itu menghadapnya dan biruang itu mati dengan mata terbuka.

Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata biruang yang sudah mati itu mendelik marah kepadanya! Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.

"Koko.... badanku.... menjadi panas....!"

"Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kau bantu aku memanggang daging ular, kita makan didepan mayat Paman Biruang sebagai upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Biruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Biruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal kepalanya saja."

Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki depan biruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu.

“Upacara" makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu! Setelah itu, mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur mayat biruang bersama kepala ular.

Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk lubang itu. Teringat kepada biruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali dan terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan biruang.

Han Han membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan kuburan biruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat ukiran-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian membaca huruf-huruf terukir itu.

"Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?"

Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat!

Kalau begitu, suheng dari Ma-bin Lo-mo itukah penghuni Pulau Es? Patung pria yang tampan itu adakah Suma Hoat? Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah membunuh biruang?

Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik hatinya, apalagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan biruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh di bawah agar tidak tampak!

Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat Lulu menangis makin keras, sampai gadis ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya, kemudian setengah memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di taman.

"Sudahlah, Adikku. Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekalipun, Paman Biruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya.!"

Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian biruang jadi teringat akan kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han.

Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali ada ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat daripada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.

Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam bulan purnama dan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh!

"Han-ko..... ah, Han-ko....."

Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan, tubuhnya panas dan telinganya mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar bulan.

Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali!

“Lulu...!”

"Han-koko....!"

Suara gadis itu seperti mengerang lirih, muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu.

Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium bau harum yang tak pernah selamanya ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan mulutnya! Gilakah dia?

Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman mesra.

Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.

”Aku... aku.... panas sekali....” dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.

"Aku pun.... begitu..... Koko...."

Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan bertemu.

Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh.

"Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih baik kubuka bajuku!"

Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali.

Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.

"Lulu! Kau kenapa?"

Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia sengaja membentak marah untuk menutupi perasaannya.

Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk.

"Entahlah...... aku...... pun merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko....."

Gadis itu seperti dalam keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian dalamnya yang tipis. Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkangnya untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mujijat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh dan terhuyung-huyung.

"Han-ko....., kau kenapa..... hati-hati, kau bisa jatuh!"

Lulu meloncat bangun dan memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling. Akan tetapi sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu mendatangkan getaran yang mujijat dan mereka akhirnya berpelukan dan kembali mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau setengah sadar!

Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata dipejamkan.

Ketika Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi Lulu yang tidak melawan bahkan membantunya penuh gairah nafsu berahi, ia terkejut seperti disambar halilintar.

Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh lebih besar daripada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas terengah-engah dan mata terpejam, tubuh menggeliat-geliat.

"Lulu! Ini tidak benar! Engkau Adikku!!" Han Han berkata, berteriak dengan suara nyaring.

"Han-ko..... ahhh, Han-ko..... jangan tinggalkan aku.... aku bukan Adikmu, Han-ko.....!"

"Gila!"

Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk gadis itu, melanjutkan hasrat berahi yang memenuhi benak dan hatinya.

"Kita keracunan! Ular merah itu! Keparat....!"

Terlintas dalam benaknya bunyi tulisan pada batu dan kini mengertilah ia mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu berahi seperti ini. Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat keluar dari dalam pondok itu. Ia berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok dan ketika ia tiba di pantai yang berbatu-batu, ia lalu mengamuk.

Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul, menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia menggunakan tenaga Im-kang.

Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila. Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga sinkangnya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan diantara batu-batu yang sudah hancur berantakan itu.

Matahari telah naik tinggi ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan memanggil-manggil.

"Han-koko…. Han-ko….. jangan tinggalkan aku…..! Han-ko…..!!"

Han Han membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.

"Han-ko, kau kenapakah ?" Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi kedua pipinya.

Han Han menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang gadis ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan membingungkannya, sungguhpun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.

"Tidak apa…. Aku….. aku hanya mimpi buruk….. tanpa sadar, kuhantami batu-batu ini…." ia melihat kaki dan tangannya yang lecet-lecet.

"Aku pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah sekali….."

"Mimpi apa?"

Han Han memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri nengapa kini Lulu tampak lain dalam pandangannya.

"Aku tadi pagi terbangun di pondok taman dan….. dan pakaianku tidak karuan, aku mimpi….. engkau seperti bukan Kakakku, melainkan…. ah, sungguh aneh akan tetapi aku... aku senang sekali, Koko…."

Dan gadis itu menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke telinganya.

"Hushhh! Kau gila! Kita keracunan ular keparat itu!"

Lulu memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya,

"Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi…., setelah mimpi itu, aku…. heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku…”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar