FB

FB


Ads

Kamis, 27 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 027

Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang lalu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.

Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis laut sendiri.

Adapun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bambu-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.

Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Lia bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu.

Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapapun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.

Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang diantara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.

Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biarpun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas daripada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.

“Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil….!” Teriaknya

Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah pulau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, dibagian yang agak tinggi.

Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika. Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup, dan biarpun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terendam di air laut terlalu lama, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika!

“Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus?" teriak Setan Sotak dengan nyaring dan terheran-heran.

"Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak.

Adapun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadilah di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biarpun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan.

Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.

Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah perajurit-perajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biarpun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan. Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang diantara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan serangan-serangan berganda yang ganas.

Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguhpun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apalagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya. Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih maupun kaum sesat.

Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa Koai-lojin, seorang manusia dewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing.

Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa diantara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan.

Memang sudah tentu sekali seorang diantara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang diantara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.






Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu, telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu.

Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu.

Adapun Kek Bu hwesio tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja.

Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika di mainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.

Betapapun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar.

Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput daripada luka-luka bacokan golok.

Biarpun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biarpun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi.

Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.

Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik daripada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah.

Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.

Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka.

Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es, bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai, mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.

Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti.

Tenaga manusia, betapapun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.

Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar di jauh. Karena ini, mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu.

Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat.

Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu.

Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat maupun sekutu sungguhpun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu.

Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah, tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Khok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Setan Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.

"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sutenya.

Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali.

Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam. Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo, dan dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula.

Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sutenya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.

Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukkk!”

Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam sinar pedang, akan tetapi biarpun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundak berdarah!

Pada saat itu, sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.

"Ha-ha-ha."

Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu. Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinginan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap!

Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti fihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu.

Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit. Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau, mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.

Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.

"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh dan enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha!"

Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di depan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Adapun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu. Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!

Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka, tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong.

Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat? Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka.

Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu!

Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka!

Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti itu?

Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-lahan menuju ke tempat mereka.

Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biarpun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekalipun menjadi bergidik.

Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.

"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apabila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."

Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih,

"Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."

Sementara itu, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang menyaksikan keadaan kakek ini, menjadi khawatir hati mereka. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berfihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri.

Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.

Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa, selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.

“Dessss…..! Desssss….!”

Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mujijat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk.

Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya dan tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri.

Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar,
"Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-Wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri...”

Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget,
“Koai-lojin.....!”

Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yanng melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan, sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka.

Kejadiah ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak.

Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar pedang dan.....

“Trangggg....!!”

Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat. Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang penting.

"Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan kuatnya..."

Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak pernah mereka jumpai itu.

"Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan mendapat. Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.” Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata.

“Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar."

Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ, terrnasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti iblis, tidak berani membantah lagi.

Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan mereka untuk beberapa menit saja.

Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap. Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di perahu juga lenyap semua.

Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun akhirnya tidak berhasil juga dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan.

Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek nelayan:

"Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia....!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari!"

Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin.

Akan tetapi andaikata ada yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar!

**** 27 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar