FB

FB


Ads

Rabu, 08 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 056

Biarpun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.

“Kalian sungguh cerdik!”

Dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguhpun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat.

Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.

“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!”

Katanya dan para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut membalapkan kuda dengan hati gembira.

Dia benar-benar mengalami peristiwa yang menegangkan hatinya, karena belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh. Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu.

Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.

Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh,

“Pangeran, kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena. rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi, dan rombongannya yang membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.

Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit.

Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguhpun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.

Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok!

Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.

Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk lalu berteriak,

“Apa artinya semua ini? Aku tidak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”

Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapapun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak,

“Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”

Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.

“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.”

“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculikku dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa kalian hendak minta uang tebusan?”






“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang”.

Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman. Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka itu masih menyembunyikan kehendak mereka yang sesungguh-nya? Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah seringkali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai.

Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan diam-diam mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu.

Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!

“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran, suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Suok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok,

“Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.

“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana.” jawab Si Mata Juling.

Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah payah-payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat pangeran itu. “menangkap basah” sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.

Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir kaum hidung belang dari kota-kota sekitarnya!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring,
“Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!”

Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan!

Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini lalu menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.

Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, akan tetapi karena yang dikejar menunggang kuda semalam suntuk, mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu.

Ketika mereka melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.

Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata,

“Ngo-ok dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”

“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan diapun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.

“Eh, eh.... hemmm, biarkan aku menonton pertandingan ini....”

Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.

Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.

“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, akan tetapi hatinya penuh penasaran gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.

Biarpun dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, namun nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat!

Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Ma-ta Satu ini sudah terdesak dengan hebat. Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau.

Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya!

Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah. Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimanapun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu.

Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu. Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabok dan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.

“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang.

Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.

“Dess....!”

Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.

Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring,

“Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”

Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka.

Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.

“Cringgg....!”

Dan pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw akan tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.

“Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”

Su-bi Mo-li cepat memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang pria setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.

A-hui marah sekali.
“Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!”

Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih.
“Omitohud, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”

A-hui berteriak nyaring dan menyerang, nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata,

“Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.

A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.

“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, akan tetapi hal ini amat menusuk perasaan A-kiauw karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).
“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.

Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu dengan alis berkerut, dia berkata,

“Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”

Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu.

“Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”

Wajah Su-ok dan Ngo-ok berobah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, toa-so dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ.

Adapun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat.

Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka. Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh.

Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu, adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!

Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Akan tetapi melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demikian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!

Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.

“Siapakah engkau?”

Ngo-ok bertanya tanpa melepaskan pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.

Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, dan biarpun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.

“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu.” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.

Su-ok tertawa. Dia lebih tenang daripada saudaranya.
“Eh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”

Bu-taihiap menggeleng kepala.
“Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”

Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu!

Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka kini dia tidak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!

Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja.

Akan tetapi tidak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini. Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan.

Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!

“He, sobat, engkau tidak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”

Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum.

“Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”

“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.

Bu-taihiap tertawa.
“Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”

“Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata.

“Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kau kira hidup lebih enak daripada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”

Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa.

“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.

“Taruhan?” Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari “atas” dia memandang Bu-taihiap.

Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.
“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”

Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?

Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu.

“Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”

Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?

“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”