FB

FB


Ads

Kamis, 25 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 161

“Aku ditantang, dan memang musuhnya. Mengapa kurang ajar? Sudah semestinya musuh saling menantang dan siapa kalah harus tunduk. Nona, agaknya kaulah yang mengepalai pemberontakan ini, dan kau pula yang mempengaruhi ayahku dan teman-teman untuk memberontak. Setelah sekarang menantangku, hendak merobohkan aku dalam waktu tiga belas jurus, marilah kita membuat janji. Kalau betul kau mampu mengalahkan aku dalam waktu tiga belas jurus, aku akan menyerah tanpa syarat! Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu kau tidak mampu mengalahkan aku?”

“Kalau aku tidak mampu, akulah yang akan menyerah tanpa syarat dan akan menghentikan niatku membasmi Hek-giam-lo dam Kubakan!”

“Tuan Puteri....!” Pek-bin-ciangkun berseru kaget, Hebat janji yang keluar dari mulut Lin Lin itu, karena sekali berjanji, kalau betul tidak mampu mengalahkan Kayabu dalam tiga belas jurus, akan hancurlah semua cita-cita tadi. “Kayabu mundur kau! Kalau kau lanjutkan, aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!” Saking khawatirnya, Pek-bin-ciangkun berkata demikian.

“Ciangkun, biarkanlah. Pula, kalau kau dan teman-teman yang lain tidak menyaksikan kepandaianku, mana kalian bisa percaya atas bimbinganku?”

“Tidak, Tuan Puteri. Biarlah hamba yang menghadapi anak hamba yang durhaka ini! Kalau dia kalah, akan hamba bunuh, dan kalau hamba yang kalah, hamba rela mati dalam tangan anak kandung yang durhaka, Kayabu, hayo lawan bapakmu sendiri!”

Pek-bin-ciangkun sudah meloncat ke depan akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana, tubuhnya itu mundur sendiri seakan-akan ada tenaga tak tampak yang menariknya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Lin Lin tersenyum. Kiranya gadis itu yang tadi menariknya dengan penggunaan tenaga jarak jauh yang amat hebat!

“Ciangkun, tak tahukah kau bahwa majuku ini karena aku sayang kalau kalian ayah dan anak saling gempur? Anakmu seorang gagah perkasa, tidak semestinya dimusnahkan. Minggirlah!”

Mendengar kata-kata ini dan melihat bukti betapa lihainya Lin Lin yang mendemonstrasikan tenaga saktinya tadi, terpaksa Pek-bin-ciangkun mengundurkan diri dan menonton dari samping dengan hati cemas.

“Kayabu, kau majulah dan hitunglah jurus-jurus yang kupergunakan. Awas seranganku!”

Lin Lin merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya dalam tiga belas jurus. Tentu saja yang ia maksudkan dengan tiga belas jurus itu adalah jurus-jurus sakti yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong! Kalau ia mengandalkan ilmu silat biasa, tentu saja tiga belas jurus merupakan waktu yang terlampau sedikit untuk mengalahkan seorang panglima muda yang kelihatannya begitu gagah perkasa.

Namun, ia amat percaya akan keampuhan tiga belas jurus sakti peninggalan Pat-jiu Sin-ong, maka ia sengaja menantang untuk memperlihatkan kelihaiannya sehingga para pengikutnya akan percaya kepadanya. Apalagi kalau diingat bahwa dia tadi sudah menyatakan sanggup menghancurkan Hek-giam-lo si iblis sakti, kalau ia tidak mendemonstrasikan kepandaian yang sakti, tentu mereka itu takkan mau percaya.

“Aku sudah siap!” jawab Kayabu dengan suara lantang.

Pemuda ini merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja ia tidak menghadapi pemberontakan yang serius dan yang harus diberantasnya dengan segera, tentu ia tidak sudi menerima tantangan yang amat menghina ini. Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan besar di Khitan, hanya di “hargai” semahal tiga belas jurus saja oleh seorang gadis muda jelita? Benar-benar penghinaan yang amat hebat!

Kali ini baginya juga merupakan ujian. Ia harus memperlihatkan kepandaiannya terhadap gadis yang amat cantik jelita ini, yang agaknya adalah puteri keponakan sri baginda sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau ia sanggup bertahan sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat dipadamkan tanpa pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja bertahan sampai tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat menangkap gadis cantik ini.

“Awas serangan pertama....!”

Lin Lin berseru sambil menggerakkan Pedang Besi Kuning yang berubah menjadi gulungan sinar keemasan. Hampir saja Kayabu tertawa menyaksikan serangan jurus pertama itu. Itu sama sekali bukan merupakan serangan, mengapa dimasukkan sebagai jurus serangan?

Ia melihat gadis itu menggerakkan pedang ke depan dada dan tangan kiri merangkap tangan kanan merupakan sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke atas kepala dengan pedang dibalik masuk ke belakang lengan kanan, seperti gerakan orang yang menengadah dan memohon berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Inikah jurus serangan? Akan tetapi sesungguhnyalah, inilah jurus pertama atau jurus pembukaan dari tiga belas jurus ilmu sakti yang oleh Lin Lin disebut Co-sha Sin-kun.






Tiba-tiba Kayabu berseru keras dan terkejut bukan main. Cepat-cepat ia mengubah kedudukan kakinya dan memasang kuda-kuda yang amat kuat karena dari arah Lin Lin datang hawa pukulan yang seperti angin gunung bertiup perlahan. Bukan merupakan serangan langsung, akan tetapi karena hawa pukulan atau angin ini timbul hanya karena gadis itu menggerakkan lengan ke atas, benar-benar mengejutkan sekali.

Baru bergerak seperti itu saja sudah mengandung hawa pukulan yang terasa dalam jarak tiga meter, apalagi kalau dipergunakan untuk memukul! Kayabu sama sekali tidak tahu bahwa jurus pertama ini memang bukan jurus serangan, melainkan jurus untuk mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kang!

“Jurus kedua....!”

Kembali Lin Lin berseru dan kembali Kayabu menjadi geli karena jurus ke dua ini dimainkan dengan amat lambat sehingga Pedang Besi Kuning itu jelas sekali bergerak menusuk ke arah pundak kirinya.

Kayabu biarpun merasa geli menyaksikan jurus-jurus yang lucu dan tidak ada bahayanya sama sekali ini, tidak mau memandang rendah. Dia seorang pemuda yang cukup hati-hati dan banyak pengalamannya dalam pertandingan, maka menghadapi tusukan lambat ke arah pundaknya ini ia cepat menggerakkan golok besarnya. Tentu saja mudah baginya untuk mengelak.

Akan tetapi menurut pengalamannya, biasanya serangan yang lambat itu hanyalah merupakan pancingan dan serangan sesungguhnya baru akan datang setelah yang diserang mengelak. Inilah sebabnya sengaja Kayabu tidak mau mengelak, melainkan ia menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena ia berniat mengakhiri pertempuran tak seimbang ini dengan memukul runtuh pedang gadis itu.

“Cringgg....!”

Kayabu mengeluh dan meloncat ke belakang. Sabetan goloknya tadi keras sekali, akan tetapi ia merasa betapa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya oleh gagang goloknya sendiri.

Kiranya dengan sin-kang yang mujijat, gadis itu telah membuat Pedang Besi Kuning yang ditusukkan dengan lambat itu tergetar amat kuat dan halus sehingga tidak tampak. Maka begitu golok lawan membentur pedangnya, getaran kuat ini menjalar melalui golok dan sampai ke gagang, membuat telapak tangan lawan menjadi panas dan sakit-sakit.

Makin keras Kayabu menangkis, makin keras pula telapak tangannya terkena getaran. Pemuda Khitan itu cepat mengatur keseimbangan tubuhnya dan siap-siap menghadapi serangan selanjutnya. Kini ia tidak berani memandang ringan sama sekali, bahkan timbul rasa ngeri dan khawatir di hatinya.

“Awas jurus ke tiga....!”

Lin Lin berseru dan pandang mata Kayabu berkunang-kunang karena tiba-tiba gadis itu lenyap sama sekali, terbungkus oleh gulungan sinar pedang kuning yang mendatangkan angin berpusing-pusing.

Gadis itu seakan-akan telah berubah menjadi angin puyuh yang berputar-putar makin mendekatinya! Kayabu tidak tahu bahwa Lin Lin telah mengeluarkan jurus yang amat hebat dari ilmu sakti Cap-sha Sin-kun, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat). Karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi gulungan sinar kuning yang berpusing itu, Kayabu lalu mengeluarkan seruan keras goloknya berkelebat membacok ke depan.

“Wesss.... wesss....!”

Aneh sekali, sinar goloknya membabat gulungan sinar, seakan-akan membabat bayangan saja, tidak mengenai apa-apa. Dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar kuning itu menyambar ujung Pedang Besi Kuning seakan-akan kilat cepatnya.

“Aiiihhhhh!”

Kayabu menjerit dan goloknya terlepas karena kulit tangannya tergores pedang dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, lutut kakinya terkena totokan ujung sepatu Lin Lin dan tak tertahankan lagi ia roboh tertelungkup!

Pek-bin-ciangkun dan para perwira lainnya memandang dengan bengong. Kejadian itu bagi mereka teramat aneh. Para perajurit yang merasa simpati kepada Lin Lin bersorak gemuruh, sedangkan Kayabu bangkit berdiri dengan muka merah.

“Bagaimana, Kayabu? Sudah puaskah kau ataukah kau hendak melanjutkan percobaanmu?”

“Aku bukanlah seorang yang buta dan nekat. Aku tahu bahwa kepandaian Nona amat tinggi dan aku bukan lawan Nona. Setelah aku kalah, silakan Nona gerakkan pedang itu membunuhku!”

“Tidak, Kayabu. Aku tidak akan membunuhmu, malah aku minta sukalah kau membantuku menumbangkan kedudukan paman tiriku yang dibantu oleh iblis Hek-giam-lo untuk melepaskan bangsa kita daripada penindasan si lalim.”

Sepasang mata pemuda itu seakan-akan mengeluarkan kilat.
“Aku adalah seorang perajurit sejati, bagiku tidak ada pilihan lain, mati dalam perjuangan atau menang. Tak perlu kau membujukku, setelah kalah, mati bukan apa-apa bagiku!” Sambil berkata demikian, pemuda ini menggerakkan goloknya ke arah lehernya sendiri.

“Kayabu....!”

Pek-bin-ciangkun memekik penuh kekhawatiran. Sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak khawatir atau ngeri melihat putera tunggalnya menghadapi maut, akan tetapi ia benar-benar akan merasa hancur hatinya kalau puteranya itu tewas membunuh diri, suatu perbuatan yang dianggap pengecut dan rendah.

Sama sekali ia tidak menyangka puteranya akan melakukan perbuatan itu sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Pek-bin-ciangkun untuk mencegahnya. Akan tetapi, sinar kuning menyambar dari tangan Lin Lin, terdengar suara keras dan golok di tangan Kayabu patah-patah dan terlempar sampai jauh. Pemuda itu mencelat mundur dengan muka pucat.

Pek-bin-ciangkun melangkah maju dan melayangkan tangannya menampar pipi puteranya dua kali sehingga pipi itu menjadi merah dan dari ujung bibirnya keluar sedikit darah.

“Huh, anak durhaka! Apakah kau hendak meninggalkan aib pada ayahmu dengan cara pengecut? Membunuh diri? Ihhh, Kayabu, sampai hatikah kau melakukan hal itu di depan ayahmu?”

Suara orang tua ini menjadi serak dan dari matanya yang melotot lebar itu keluar beberapa butir air mata.

Kayabu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya.
“Ayah, ampunkan anakmu yang lupa dan gila karena kekecewaan. Bukan hanya kecewa karena anak tidak dapat memenuhi tugas sebagaimana mestinya, melainkan terutama melihat ayah sebagai junjungan dan pujaanku ternyata hendak menjadi pengkhianat dan membantu pemberontak. Ayah, di manakah kegagahan kita dan bagaimana kita kelak dapat mempertanggung-jawabkannya di depan nenek moyang kita?”

Pek-bin-ciangkun memegang pundak anaknya dan ditariknya berdiri. Mereka berhadapan muka, ayah dan anak yang sama tingginya ini, saling bertentang pandang sampai beberapa lama, kemudian si ayah berkata,

“Kau keliru, yang kau tuduhkan itu sesungguhnya kebalikan daripada kenyataan. Sekarang ini ayahmu bukan berdiri di fihak pemberontak atau pengkhianat, bahkan sebaliknya daripada itu. Ketahuilah, Kayabu, yang selama ini kita bela, sesungguhnya adalah fihak pengkhianat. Kita terpaksa membela pengkhianat karena dia yang berhak telah melenyapkan diri. Dan sekarang, Tuan Puteri Mahkota Yalina yang berhak akan tahta kerajaan, telah muncul kembali. Aku dahulu adalah panglima dari kakeknya, kemudian ibunya, setelah kedudukan terampas oleh paman tirinya dan dia sendiri lenyap, terpaksa aku membantu pengkhianat. Sekarang tiba waktunya untuk membasmi para pengkhianat.”

Selanjutnya panglima tua itu menceritakan puteranya tentang semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu, juga tentang Hek-giam-lo yang sesungguhnya adalah Bayisan, panglima pengkhianat yang melarikan diri (baca cerita Suling Emas).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar