FB

FB


Ads

Selasa, 23 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 157

“Laki-laki ceriwis....!”

Lin Lin membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning, menyambar ke arah leher Suma Boan. Pemuda ini terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya maka ia segera mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan tangannya ke arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di atas kepalanya.

Namun Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang baru, yaitu Cap-sha Sin-kun, segera dapat merubah letak pedangnya yang kini membalik ke bawah, menyambar dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata pedang!

“Aaaiiihhh!”

Suma Boan yang sudah menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar kuning yang berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara berjungkir balik seperti tadi maka ia selamat.

“Bersiaplah menerima hukuman!”

Bentak Sian Eng dan kembali Suma Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran dari arah Sian Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang gerakan-gerakannya aneh sekali.

Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut pedang Lin Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil mengibaskan tangannya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya untuk menangkis.

“Wuuuttt! Wuuuttttt!”

Angin pukulan kedua fihak yang disertai tenaga sin-kang itu saling sambar dan baiknya Suma Boan adalah seorang jagoan yang terlatih maka biarpun ia merasa tergetar oleh hawa pukulan mujijat dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan tangkisannya tadi berhasil.

“Singgg....!”

Kembali sinar kuning pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah mengerikan daripada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu menerjangnya susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa dan gerakan yang amat aneh.

“Kalian hendak mengadu nyawa? Boleh!”

Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak melihat jalan keluar lagi. Betapapun juga, dalam hal ilmu silat, ia lebih banyak pengalaman kalau dibandingkan dengan dua orang gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai, di antaranya terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan pengaruhnya besar sekali.

Saking lihainya, ia sampai mendapat julukan Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah berapa banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran namanya dan kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi manusia sombong, memandang rendah orang lain, dan ke manapun ia pergi, ia tidak pernah membawa senjata karena ia menganggap bahwa kedua pukulannya sudah cukup untuk mengalahkan musuh yang bagaimanapun juga.

Diantara banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang paling hebat adalah ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Pukulan ini kalau dipergunakan, hebatnya bukan kepalang karena dapat membuat badan lawan yang terpukul menjadi hangus!

Jarang sekali Suma Boan menggunakan ilmu pukulan ini, karena sungguhpun hebat akibatnya kalau mengenai tubuh lawan, juga merugikan diri sendiri karena pengerahan sin-kang di tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti api, dapat merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada kedua lengannya.






Menghadapi pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mujijat itu, mula-mula Suma Boan menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua puluh jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan pukulan Sian Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga membuatnya terhuyung-huyung.

Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian Eng setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi berpuluh kali lebih kuat daripada dahulu.

“Hiaaattt!”

Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan memekik dan meloncat kekanan sampai meped dinding gua. Secepat kilat pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya dan digosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur memasuki telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak tangan itu kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti arang dibakar. Hawa panas segera memenuhi gua.

“Awas tangannya, Enci!”

Lin Lin berseru dengan kaget. Akan tetapi gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguhpun lawan menggunakan ilmu yang begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api itu, Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus ia menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat), sebuah diantara tiga belas jurus ilmu saktinya.

Sian Eng juga mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari atas ia menyambar turun dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti hendak mencengkeram kepala lawannya.

Diantara kedua orang pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan. Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh dendam yang hanya dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena itu, begitu melihat datangnya serangan mereka yang demikian dahsyatnya, Suma Boan segera mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar turun dari atas dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ho-tok-ciang.

Melihat ini, Sian Eng nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia temukan di gua rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua pasang tangan itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng merasa betapa hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.

Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram pedang Lin Lin yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau mencengkeram senjata tajam.

Gerakan inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andaikata ia menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan kalah kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau andaikata ia menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin Lin akan menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi perhatian dan tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik ia yang kalah kuat.

Terdengar jerit mengerikan ketika mereka bertiga itu dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil bersandar dinding gua. Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan hilang dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, akan tetapi tiba-tiba rasa sakit dari kedua tangannya tak tertahankan lagi. Tangan kanannya yang kalah kuat ketika bertemu dengan kedua tangan Sian Eng, membuat tenaga beracun Ho-tok-ciang membalik dan kini rasa panas berselubung rasa dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki dan menjalar perlahan-lahan dalam lengannya.

Bukan main nyerinya, sampai seperti menusuk-nusuk jantung. Adapun tangan kirinya yang termakan Pedang Besi Kuning, juga terasa perih dan gatal. Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka yang tidak beracun, akan tetapi mengandung khasiat anti racun. Karena lengan kiri Suma Boan tadinya penuh hawa beracun, begitu termakan oleh pedang ini, maka hawa yang anti racun itu memerangi racun di tangan itu, maka mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.

“Aduh.... aduh.... mati aku.... aduh tanganku....!”

Suma Boan tidak kuat menahan. Tubuhnya terguling, ia merintih-rintih lalu bergulingan kesana kemari seperti cacing kepanasan, mengaduh-aduh dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek semua ketika ia bergulingan, mukanya menjadi kotor dan matanya mendelik mulutnya berbusa.

“Lin-moi, pinjam pedangmu!”

Lin Lin yang pernah menyaksikan kekejaman hati Sian Eng ketika mereka membunuh It-gan Kai-ong, merasa ngeri dan ragu-ragu untuk memberikan pedangnya. Akan tetapi mendadak tangan kiri Sian Eng mencengkeram kearah mukanya dengan ganas. Lin Lin terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi pada detik selanjutnya Pedang Besi Kuning sudah terampas dari tangannya. Terpaksa ia hanya dapat berdiri memandang dengan hati ngeri.

“Eng-moi.... jangan.... ampunkan aku!”

“Ampun? Hi-hi-hik, ampun kau bilang?”

Pedang itu berkelebat dan “crok! crok!” dua kali pedang menyambar putuslah kedua lengan Suma Boan sebatas pundak!

“Aduhhh....!” Suma Boan menjerit dan bergulingan.

Darah bercucuran keluar dari kedua pundaknya yang buntung. Celaka baginya, pemuda bangsawan ini telah melatih diri sedemikian rupa sehingga daya tahan tubuhnya amat kuat. Lain orang tentu sudah roboh pingsan dan takkan merasakan sakit lagi. Akan tetapi dia tidak pingsan dan dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang ia rasakan.

“Hi-hi-hik! Kau jadi buntung! Hayo coba kulihat apakah kau masih mampu berbuat keji kepada wanita!”

Kembali Sian Eng sambil tertawa-tawa menyeramkan menggerakkan pedangnya membacok Suma Boan yang ketakutan itu mukanya pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan kesana kemari untuk membebaskan diri daripada bacokan pedang. Namun pedang itu membayanginya terus dan akhirnya “crok! crok!” disusul jeritan panjang dari mulut Suma Boan.

“Aduh.... ampun.... ampun....!”

Biarpun kedua kakinya sudah terbacok putus sebatas paha, tubuh Suma Boan masih mampu bergerak-gerak dan sepasang matanya melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari dalam rongga matanya.

“Hi-hi-hi-hik! Kau begitu ingin menjadi jago nomor satu di dunia dan untuk itu kau rela menipuku? Nah, setelah kaki tanganmu buntung, apa kau masih ingin menjadi jagoan?”

“Eng.... moi...., ampun....”

Suma Boan masih dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara serak. Akan tetapi agaknya sebutan terhadap dirinya ini menambah keganasan Sian Eng karena kembali pedangnya menyambar dan terbukalah perutnya.

Tangan kiri Sian Eng menyusul, cepat membetot keluar jantung yang basah oleh darah sehingga tangan kirinya berlepotan darah. Tubuh Suma Boan berkelojotan sebentar lalu diam terkulai. Sian Eng tertawa-tawa lagi sambil menjilati darah di tangannya kemudian ia makan jantung itu.

“Hi-hik, kuminum darahmu, kuganyang jantungmu....!”

“Enci Sian Eng....!” Lin Lin menjerit penuh kengerian sambil melompat mendekati, tangannya merampas pedang. “Enci Eng, apakah kau telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!”

Jantung itu sudah memasuki perut Sian Eng. Kini ia menunduk, memandang tubuh Suma Boan yang sudah tidak karuan macamnya, kaki tangan buntung, perut robek dan isinya berceceran keluar. Tiba-tiba Sian Eng menubruk dan menangis sambil memeluk Suma Boan.

“Suma-koko.... kenapa kau menyia-nyiakan cintaku....?”

Ia menangis menggerung-gerung, membuat Lin Lin berdiri tertegun dengan bulu roma berdiri. Hatinya tidak karuan rasanya. Jelas bahwa encinya ini tidak beres lagi otaknya.

“Enci Sian Eng, ingatlah! Dia memang jahat, akan tetapi kita sudah berhasil membunuhnya. Mari kita pergi dari sini!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar