FB

FB


Ads

Minggu, 21 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 152

“Lin-moi....!”

Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin seperti telah tak bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.

“Locianpwe.... tolonglah.... tolonglah adikku ini....! Kudapatkan dia seperti ini di dalam hutan....!”

Bu Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan dalam.

Kim-sim Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang dimana tadinya Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat gelisah.

“Hemmm.... di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh! Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa.”

Bu Sin lega hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa malu, kecewa dan berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah yang terjadi dengan kedua orang adiknya? Ia belum mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke mana, dan Lin Lin.... mengapa bisa begini?

“Tak usah kau khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah beristirahat!”

Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ. Kui Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya para keponakannya.

Nikouw ini biarpun ilmu silatnya tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat. Biarpun ia hanya berdiam di Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota raja.

Secara kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw).

Girang hati nikouw ini mendengar tentang rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya ini,

“Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga dapat pulang bersama mereka? Kau benar-benar terlalu memikirkan kepentingan sendiri. Kurasa, yang dapat menolong kita mendapatkan adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula disana, maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai-ramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang puterinya.”

Demikianlah, secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di puncak Thai-san, dimana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kakek sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mujijat nikouw ini ditolong oleh Bu Kek Siansu.

Nikouw ini tadinya gembira sekali karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali.

Akan tetapi kegembiraannya hanya sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya keadaannya.






Sampai dua hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw maupun Bu Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan puteri-puteri. Sering kali ia menjerit,

“Bukan karena tua, akan tetapi karena kau mencinta wanita lain!”

Hanya sedikit bubur encer yang memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biarpun kedua matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang matanya. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.

“Sin-ko....! Sukouw....!”

Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis.

Kui Lan Nikouw mengelus-elus rambutnya, penuh kesabaran,
“Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah sembuh, hanya perlu beristirahat.”

“Lin-moi, aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi?”

Kui Lan Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu. Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan Nikouw dan kembali merangkulnya.

“Ah, girang sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul disini? Seperti dalam mimpi saja!”

Lega hati Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah.
“Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kau perlu beristirahat kata Kim-sim Yok-ong.”

“Ah, Si Raja Obat itukah yang menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu.” Ia tersenyum dan sudah mendapatkan kegembiraannya kembali. “Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw, hanya.... lemas dan.... dan lapar sekali! Kalau begini rasanya aku sanggup menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati!” Gadis ini tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.

“Bocah nakal! Dua hari ini kau bikin hatiku penuh kekhawatiran saja.”

Nikouw ini girang bukan main. Akan tetapi biarpun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya sendiri.

Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong, Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng yang amat aneh.

“Sungguh aku merasa heran sekali melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas dirinya maka ia berubah seaneh itu?” kata Lin Lin.

“Kau sendiri pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa?”

Lin Lin tersenyum.
“Ah, kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan kumelihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya.”

“Sayang sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan keadaan Sian Eng yang aneh,” kata Kui Lan Nikouw.

“Siapa katamu, Sukouw? Kakak Bu Song....? Dimana dia....? Siapa....?”

Lin Lin bertanya dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu.

Bu Sin tertawa.
“Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum dapat menduga? Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang kita cari-cari!”

“Prakkk!”

Pecahlah cangkir yang berada di tangan Lin Lin. Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya.

“Dia....? Kakakku....?”

Bu Sin tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.

“Tentu saja dia kakakmu, Lin Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian. Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang ke dua dan ke tiga, dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah....”

“Anak pungut! Aku hanya anak angkat!” Lin Lin berseru keras.

Kini Bu Sin memandang kaget.
“Biarpun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi. Kau adik kami....!”

“Adik angkatnya! Sebetulnya orang lain!” Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang gemetar.

“Hushhh! Mengapa kau bicara begitu?” Kui Lan Nikouw menegur. “Lin Lin, kau juga puteri ayahmu, biarpun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan) Kam dan namamu Lin....”

“Bukan!”

Lin Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang Besi Kuning! Melihat ini, Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat. Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.

“Bukan! Aku bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam, dan namaku adalah Yalina! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalina! Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya....!” Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan lari keluar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.

“Lin-moi....!” Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.

“Takkan ada gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi? Begitu agung seperti puteri! Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya.”

“Korban asmara lagi....” Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada dirinya sendiri. “Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat tangan....”

lalu ia menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar