“Damai di bumi....” Bu Kek Siansu berbisik lirih lalu menarik napas panjang dan balas memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Pak-kek Sian-ong, siapa adanya aku bukanlah soal yang perlu diributkan, karena aku tiada bedanya dengan kalian berdua atau orang lain. Aku manusia biasa, tiada bedanya dengan kalian. Hanya sayang kalian.....”
“Kau mengenal nama kami?”
Seru Pak-kek Sian-ong terheran-heran, karena puluhan tahun mereka berdua merupakan tokoh tersembunyi dan tak seorang pun tokoh kang-ouw, apalagi yang baru-baru mengenal mereka.
“Kau siapa?” bentak Lam-kek Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk menyembunyikan nama?”
Bu Kek Siansu tersenyum,
“Aku sama sekali tidak menentang kalian.”
“Kau bilang tidak menentang akan tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”
“Aku memang turun tangan.” jawab kakek sakti itu dengan penuh kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan untuk menentang kalian!”
“Lalu, apa dasarnya?”
“Pertama, karena aku sayang kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai puluhan tahun dan kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua orang anak perempuan ini. Ke dua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah yang masih muda remaja, yang atas kehendak Thian telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan melanjutkan riwayat hidupnya dan meramaikan dunia ini dengan perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan riwayatnya sampai di sini saja. Pula, memang agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa dua orang anak ini tidak semestinya tewas pada saat ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”
“Manusia sombong!” bentak si muka merah.
“Betulkah mereka takkan tewas setelah kau datang? Heh, manusia besar mulut, kalau sekarang kami turun tangan membunuh mereka, kau mau bisa berbuat apa?”
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan ramah.
“Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan! Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak ini. Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal rahasia ini. Kalau Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya, biarpun seribu dewa takkan mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup di dunia, biarpun seribu setan takkan mampu menewaskan orang itu. Hanya orang-orang sesat saja yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya, dengan kekuatannya, dapat menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan kehendak Tuhan, karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang kekuasaan Tuhan!”
“Tua bangka besar mulut! Apakah kau anggap kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu itu. Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang berkuasa dan kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua orang gadis itu, juga kau sendiri!”
Bentak si muka merah yang agaknya lebih berangasan daripada si muka putih yang mendengarkan dan mengangguk-angguk membenarkan.
“Damai.... damai....”
Kakek itu bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan dengan wajah masih berseri ia berkata lagi.
“Alangkah kosong rasa hati mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang kau katakan itu justeru menjadi anggapan sebagian besar manusia, dan tak dapat dibantah lagi, perkembangan di dunia memang sejalan dengan pikiranmu itu. Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam, yang membuat manusia merupakan mahluk yang terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalahgunakan. Anugerah ini malah dipergunakan untuk menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila dia. Makin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada jalan pikiran yang telah kau ucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari menang. Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian dipergunakan sebagai alat pemuas nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaanmu untuk menyapu bersih segala kotoran yang menutup dan menyuramkan api suci dalam jiwa manusia....”
“Tua bangka. Pendeta kepalang tanggung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek Sian-ong.
“Eh, sahabat, kami berdua sengaja turun dari pertapaan untuk mencari tanding di seluruh permukaan bumi!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Hemmm, menandingi diri sendiri saja masih belum mampu, menandingi orang lain? Saudaraku yang baik, kau kalahkan dulu dirimu sendiri dan kau akan menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.
“Kami akan bunuh dua orang gadis ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?”
Lam-kek Sian-ong membentak dan diturut oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju. Lin Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri.
Akan tetapi Bu Kek Siansu mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk se¬mentara.
“Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul orang? Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku takkan melawan.”
“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui tanding? Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang merasa dipandang rendah.
“Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada pukulan-pukulanmu.”
“Ang-bin-siauwte, mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari kita pukul dia hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata Pak-kek Sian-ong.
Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biarpun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa!
Tubuh tua itu masih tetap berdiri disitu, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu.
Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat daya pukulannya. Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini “memindahkan” hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
“Cukupkah kalian memukul? Belum puaskah nafsumu?”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu mereka mendadak melempem seperti kayu bakar terendam air? Mereka merasa yakin bahwa pukulan mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa benar. Akan tetapi mengapa kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim ini seperti tidak merasakan sesuatu.
“Belum, belum cukup!” Pak-kek Sian-ong membentak.
“Rasakan ini!” Lak-kek Sian-ong menyambung.
Mereka lalu serentak maju dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu. Pukulan mereka ini hebat sekali. Baru hawa pukulannya saja mampu merobohkan lawan, bahkan Suling Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet oleh hawa pukulan mereka. Apalagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit lawan, dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis maupun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan sinar mata orang tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
“Buk-buk-plak!”
Beberapa kali secara bertubi-tubi telapak tangan kedua orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu Kek Siansu. Namun seperti juga tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming. Bahkan kedua orang kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jerih karena ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek sakti itu “kosong” sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu berat yang tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
“Mengapa kalian mundur? Sudah puaskah sekarang kalian memukulku? Kalau belum puas, boleh ditambah lagi kelak dengan mencari aku di puncak-puncak gunung. Cari saja dimana adanya Bu Kek Siansu....”
Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh yang tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu, dan biarpun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek sakti itu melanjutkan kata-katanya
“....bahagialah orang yang sadar akan kekurangan, kelemahan dan kebodohan sendiri.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian mereka mengeluh panjang dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
“Omitohud.... pinni (aku) merasa bahagia sekali mendapat kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan mendengar suaranya....” Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang keponakannya sambil berkata. “Dan amat menggirangkan hatiku bertemu dengan Sian Eng dan Lin Lin pula disini. Hal yang tak terduga-duga sama sekali. Akan tetapi di manakah adanya Bu Song? Benarkah dia tadi Bu Song?”
Agaknya saking tertarik oleh peristiwa munculnya kakek sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga begitu terpesona sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru sekarang mereka menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan kaget. Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali, Bu Song? Kakak tirinya yang sulung? Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song?
Tiba-tiba muncul banyak orang dari balik gerombolan pepohonan, yaitu tokoh kang-ouw yang sengaja datang hendak menonton pertandingan puncak antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan bahkan ada beberapa orang diantara mereka yang tewas. Dari dalam gelap berkelebat bayangan orang mendekati Lin Lin sambil berkata.
“Suling Emas diculik seorang wanita baju hijau, kulihat lari kearah sana!”
Mendengar ini, bagaikan kilat menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat ke arah itu, mengejar. Hatinya panas bukan main. Bukankah wanita baju hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah kuburan, yang kemudian dibawa pergi oleh Suling Emas? Dia tadi mati-matian membantu dan membela Suling Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang sekarang menggondol kekasihnya!
“Tunggu, Lin-moi....! Aku tahu....” akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam keadaan “normal” memegang tangan kakaknya dan bertanya,
“Apa yang kau ketahui, Sin-ko?”
“Tadi ada wanita baju hijau memondong Bu Song koko, ketika kukejar, dia bilang hendak menolong Koko, membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk diobati.”
“Ah, mari kita kejar....!”
Dan tiba-tiba saja Bu Sin merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik tubuhnya telah terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan mengherankan hati Bu Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini sekarang memiliki tenaga dan gin-kang begini hebat.
Seperti mereka, para tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi “penonton” kini mengelilingi Kui Lan Nikouw dan ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang demikian berani dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu Kek Siansu yang selama hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan buktikan kesaktiannya yang tak dapat diukur lagi tingkatnya.
Ketika mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, timbul kekhawatiran besar di hati para tokoh ini karena mereka maklum kalau Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua, siapa lagi yang akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia kang-ouw? Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun tidak mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
“Harap Cu-wi jangan khawatir akan hal itu,” akhirnya Kui Lan Nikouw berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, “Betapapun tingginya uap air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh kembali ke bumi menjadi hujan. Betapapun pandai dan jahatnya manusia menyeleweng daripada kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan, Cu-wi sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih lama bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari keponakan-keponakan pinni tadi.”
Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan hormat dan meninggalkan orang-orang yang masih ramai membicarakan peristiwa hebat tadi sampai pagi hari.
“Kau mengenal nama kami?”
Seru Pak-kek Sian-ong terheran-heran, karena puluhan tahun mereka berdua merupakan tokoh tersembunyi dan tak seorang pun tokoh kang-ouw, apalagi yang baru-baru mengenal mereka.
“Kau siapa?” bentak Lam-kek Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk menyembunyikan nama?”
Bu Kek Siansu tersenyum,
“Aku sama sekali tidak menentang kalian.”
“Kau bilang tidak menentang akan tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”
“Aku memang turun tangan.” jawab kakek sakti itu dengan penuh kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan untuk menentang kalian!”
“Lalu, apa dasarnya?”
“Pertama, karena aku sayang kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai puluhan tahun dan kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua orang anak perempuan ini. Ke dua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah yang masih muda remaja, yang atas kehendak Thian telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan melanjutkan riwayat hidupnya dan meramaikan dunia ini dengan perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan riwayatnya sampai di sini saja. Pula, memang agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa dua orang anak ini tidak semestinya tewas pada saat ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”
“Manusia sombong!” bentak si muka merah.
“Betulkah mereka takkan tewas setelah kau datang? Heh, manusia besar mulut, kalau sekarang kami turun tangan membunuh mereka, kau mau bisa berbuat apa?”
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan ramah.
“Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan! Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak ini. Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal rahasia ini. Kalau Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya, biarpun seribu dewa takkan mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup di dunia, biarpun seribu setan takkan mampu menewaskan orang itu. Hanya orang-orang sesat saja yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya, dengan kekuatannya, dapat menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan kehendak Tuhan, karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang kekuasaan Tuhan!”
“Tua bangka besar mulut! Apakah kau anggap kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu itu. Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang berkuasa dan kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua orang gadis itu, juga kau sendiri!”
Bentak si muka merah yang agaknya lebih berangasan daripada si muka putih yang mendengarkan dan mengangguk-angguk membenarkan.
“Damai.... damai....”
Kakek itu bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan dengan wajah masih berseri ia berkata lagi.
“Alangkah kosong rasa hati mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang kau katakan itu justeru menjadi anggapan sebagian besar manusia, dan tak dapat dibantah lagi, perkembangan di dunia memang sejalan dengan pikiranmu itu. Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam, yang membuat manusia merupakan mahluk yang terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalahgunakan. Anugerah ini malah dipergunakan untuk menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila dia. Makin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada jalan pikiran yang telah kau ucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari menang. Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian dipergunakan sebagai alat pemuas nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaanmu untuk menyapu bersih segala kotoran yang menutup dan menyuramkan api suci dalam jiwa manusia....”
“Tua bangka. Pendeta kepalang tanggung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek Sian-ong.
“Eh, sahabat, kami berdua sengaja turun dari pertapaan untuk mencari tanding di seluruh permukaan bumi!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Hemmm, menandingi diri sendiri saja masih belum mampu, menandingi orang lain? Saudaraku yang baik, kau kalahkan dulu dirimu sendiri dan kau akan menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.
“Kami akan bunuh dua orang gadis ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?”
Lam-kek Sian-ong membentak dan diturut oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju. Lin Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri.
Akan tetapi Bu Kek Siansu mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk se¬mentara.
“Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul orang? Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku takkan melawan.”
“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui tanding? Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang merasa dipandang rendah.
“Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada pukulan-pukulanmu.”
“Ang-bin-siauwte, mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari kita pukul dia hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata Pak-kek Sian-ong.
Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biarpun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa!
Tubuh tua itu masih tetap berdiri disitu, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu.
Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat daya pukulannya. Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini “memindahkan” hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
“Cukupkah kalian memukul? Belum puaskah nafsumu?”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu mereka mendadak melempem seperti kayu bakar terendam air? Mereka merasa yakin bahwa pukulan mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa benar. Akan tetapi mengapa kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim ini seperti tidak merasakan sesuatu.
“Belum, belum cukup!” Pak-kek Sian-ong membentak.
“Rasakan ini!” Lak-kek Sian-ong menyambung.
Mereka lalu serentak maju dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu. Pukulan mereka ini hebat sekali. Baru hawa pukulannya saja mampu merobohkan lawan, bahkan Suling Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet oleh hawa pukulan mereka. Apalagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit lawan, dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis maupun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan sinar mata orang tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
“Buk-buk-plak!”
Beberapa kali secara bertubi-tubi telapak tangan kedua orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu Kek Siansu. Namun seperti juga tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming. Bahkan kedua orang kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jerih karena ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek sakti itu “kosong” sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu berat yang tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
“Mengapa kalian mundur? Sudah puaskah sekarang kalian memukulku? Kalau belum puas, boleh ditambah lagi kelak dengan mencari aku di puncak-puncak gunung. Cari saja dimana adanya Bu Kek Siansu....”
Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh yang tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu, dan biarpun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek sakti itu melanjutkan kata-katanya
“....bahagialah orang yang sadar akan kekurangan, kelemahan dan kebodohan sendiri.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian mereka mengeluh panjang dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
“Omitohud.... pinni (aku) merasa bahagia sekali mendapat kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan mendengar suaranya....” Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang keponakannya sambil berkata. “Dan amat menggirangkan hatiku bertemu dengan Sian Eng dan Lin Lin pula disini. Hal yang tak terduga-duga sama sekali. Akan tetapi di manakah adanya Bu Song? Benarkah dia tadi Bu Song?”
Agaknya saking tertarik oleh peristiwa munculnya kakek sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga begitu terpesona sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru sekarang mereka menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan kaget. Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali, Bu Song? Kakak tirinya yang sulung? Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song?
Tiba-tiba muncul banyak orang dari balik gerombolan pepohonan, yaitu tokoh kang-ouw yang sengaja datang hendak menonton pertandingan puncak antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan bahkan ada beberapa orang diantara mereka yang tewas. Dari dalam gelap berkelebat bayangan orang mendekati Lin Lin sambil berkata.
“Suling Emas diculik seorang wanita baju hijau, kulihat lari kearah sana!”
Mendengar ini, bagaikan kilat menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat ke arah itu, mengejar. Hatinya panas bukan main. Bukankah wanita baju hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah kuburan, yang kemudian dibawa pergi oleh Suling Emas? Dia tadi mati-matian membantu dan membela Suling Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang sekarang menggondol kekasihnya!
“Tunggu, Lin-moi....! Aku tahu....” akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam keadaan “normal” memegang tangan kakaknya dan bertanya,
“Apa yang kau ketahui, Sin-ko?”
“Tadi ada wanita baju hijau memondong Bu Song koko, ketika kukejar, dia bilang hendak menolong Koko, membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk diobati.”
“Ah, mari kita kejar....!”
Dan tiba-tiba saja Bu Sin merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik tubuhnya telah terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan mengherankan hati Bu Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini sekarang memiliki tenaga dan gin-kang begini hebat.
Seperti mereka, para tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi “penonton” kini mengelilingi Kui Lan Nikouw dan ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang demikian berani dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu Kek Siansu yang selama hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan buktikan kesaktiannya yang tak dapat diukur lagi tingkatnya.
Ketika mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, timbul kekhawatiran besar di hati para tokoh ini karena mereka maklum kalau Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua, siapa lagi yang akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia kang-ouw? Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun tidak mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
“Harap Cu-wi jangan khawatir akan hal itu,” akhirnya Kui Lan Nikouw berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, “Betapapun tingginya uap air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh kembali ke bumi menjadi hujan. Betapapun pandai dan jahatnya manusia menyeleweng daripada kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan, Cu-wi sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih lama bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari keponakan-keponakan pinni tadi.”
Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan hormat dan meninggalkan orang-orang yang masih ramai membicarakan peristiwa hebat tadi sampai pagi hari.
**** 148 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar