FB

FB


Ads

Rabu, 17 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 145

“Iblis keji! Lepaskan dia!”

Seru Suling Emas yang terpaksa mengelak ke sana sini karena tidak mau menangkis yang akibatnya tentu menewaskan hwesio penonton yang tak bersalah itu.

Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh dan terus menerjang makin hebat. Dengan menggunakan gin-kangnya, Suling Emas mendahului meloncat ke atas dan dari atas sulingnya bergerak menghantam rambut yang mengikat hwesio itu, sedangkan tangan kirinya merampas tubuh si hwesio.

Hwesio itu dapat terampas dan terlepas, akan tetapi alangkah kaget hati Suling Emas melihat bahwa hwesio itu sudah tewas, lehernya hampir putus oleh jiratan rambut tadi! Ia melemparkan mayat itu ke samping lalu menerjang maju penuh kemarahan. Wanita iblis itu menyambutnya sambil terkekeh mengejek.

Agaknya sudah banyak berkumpul tokoh-tokoh kang-ouw yang cukup tabah untuk menonton pertandingan hebat ini, yang memang sudah tersiar luas di dunia kang-ouw. Celakanya, ketabahan harus dibayar mahal sekali sehingga dalam waktu beberapa detik saja, dua orang sudah menjadi korban.

Lebih hebat lagi, agaknya hal ini menimbulkan kegembiraan hati yang buas dan liar itu, karena terdengar It-gan Kai-ong tertawa-tawa, untuk sementara mengurangi desakannya pada Tok-sim Lo-tong dan ia meludah sejadi-jadinya ke kanan kiri.

Terdengar teriakan-teriakan dan beberapa orang sudah terluka oleh ludah-ludah itu. Sibuklah kini di balik pepohonan itu karena orang-orang yang tadinya menonton mulai jerih, beramai-ramai mengundurkan diri sambil membawa teman-teman yang tewas atau terluka.

Akan tetapi tampak sinar terang berkelebat dan dua orang di antara mereka terjungkal tanpa kepala lagi. Kiranya Hek-giam-lo tidak mau ketinggalan dan berpesta dengan senjata sabitnya. Hal ini ditambah dengan hujan batu besar dan pohon-pohon yang dilontarkan oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

Setelah para penonton yang tak diundang itu kalang-kabut pergi menjauhi tempat maut itu, pertandingan dilanjutkan, lebih gembira dan lebih dahsyat daripada tadi. Tok-sim Lo-tong kini sudah meniru kakaknya, menggunakan sebatang pohon untuk menghadapi It-gan Kai-ong.

Akan tetapi karena keistimewaannya adalah senjata ular hidup, ia tidaklah begitu cekatan seperti kakaknya dan beberapa belas jurus kemudian, tongkat It-gan Kai-ong yang gerakannya berpusing aneh itu berhasil mengetuk tangannya sehingga sambil berterik kesakitan Tok-sim Lo-tong terpaksa melepaskan senjatanya sambil bergulingan ke kiri dikejar It-gan Kai-ong yang tertawa-tawa.

Ketika Tok-sim Lo-tong terguling di dekat Hek-giam-lo, mendadak iblis hitam ini meninggalkan Toat-beng Koai-jin dan mengayun sabitnya membacok ke arah kepala Tok-sim Lo-tong! Iblis gundul kurus kering ini cepat mengelak sambil meloncat berdiri sehingga sabit itu luput makan lehernya dan amblas ke dalam tanah sambil mengeluarkan api ketika terbentur batu-batu yang terbabat seperti agar-agar saja!

Terdengar teriakan keras dan pohon besar di tangan Toat-beng Koai-jin menyambar ke arah Tok-sim Lo-tong yang baru saja terbebas dari maut di tangan Hek-giam-lo. Tok-sim Lo-tong meloncat tinggi menghindari serangan kakaknya sendiri, akan tetapi ia terhuyung-huyung oleh sambaran angin pukulan dengan batang pohon ini. Hebatnya, Siang-mou Sin-ni agaknya melupakan Suling Emas dan kini wanita itu pun menerjang Tok-sim Lo-tong yang sudah terhuyung-huyung, menggunakan rambutnya yang panjang mengirim serangan maut!

Suling Emas berdiri bengong. Lima orang itu memang patut dijuluki iblis. Mereka begitu licik dan curang sehingga dalam pertandingan menentukan kedudukan ini, mereka tidak segan-segan untuk mengeroyok Tok-sim Lo-tong yang terdesak hebat, menggunakan serangan-serangan maut. Bahkan Toat-beng Koai-jin, kakak Tok-sim Lo-tong sendiri, ikut pula mengeroyok, seakan-akan lupa bahwa yang dikeroyok itu adalah adiknya sendiri! Adakah manusia yang lebih ganas dari-pada mereka ini?

Namun, boleh dipuji kepandaian Tok-sim Lo-tong. Biarpun ia tadi terhuyung-huyung, namun menghadapi serangan Siang-mou Sin-ni, ia masih dapat menggerakkan kedua tangan mengirim pukulan-pukulan dengan sin-kang sehingga gumpalan rambut yang menyambar ke arahnya itu dapat tertahan oleh hawa pukulannya, malah kini tangannya membentuk cakar setan untuk mencengkeram rambut itu!

Pada saat itu, tampak berkelebatnya sabit Hek-giam-lo yang membabat ke arah tangannya sehingga terpaksa Tok-sim Lo-tong menarik kembali tangannya. Tongkat It-gan Kai-ong menyambutnya dari belakang dan batang pohon di tangan Toat-beng Koai-jin juga sudah menyambar pula dari depan!

Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak dan menggunakan ilmunya menggelinding seperti bola ke sana ke mari, gesit dan cepat sekali. Namun empat orang pengeroyoknya tidak memberi ampun dan pada saat ia meloncat bangun menghindarkan bacokan Hek-giam-lo, pundaknya keserempet tongkat It-gan Kai-ong. Si gundul kurus kering ini memekik kesakitan dan membalikkan tubuh hendak mengamuk. Namun cabang-cabang pada batang pohon yang menyambarnya telah menyapu kakinya sehingga ia roboh terguling.






“Tranggggg!”

Sinar kuning emas menangkis sabit yang membacok kepala Tok-sim Lo-tong dan menangkis pula tongkat It-gan Kai-ong, bahkan kipasnya mengebut rambut-rambut Siang-mou Sin-ni.

Kiranya Suling Emas yang menolong Tok-sim Lo-tong. Pendekar ini tak dapat tinggal diam saja menyaksikan pertandingan yang berat sebelah dan tidak adil. Mana ada aturan mengeroyok orang yang sudah terdesak? Benar-benar mereka itu tidak mengenal watak gagah tidak mau peduli akan norma-norma yang berlaku pada tokoh-tokoh kang-ouw.

Biasanya, sungguhpun golongan hitam yang terdiri daripada penjahat, masih enggan melakukan perbuatan yang memalukan dan bersifat pengecut. Akan tetapi iblis-iblis ini benar-benar tak tahu malu dan terpaksa Suling Emas turun tangan membantu Tok-sim Lo-tong yang dikeroyok oleh empat orang rekan-rekannya para anggauta Thian-te Liok-koai termasuk kakaknya sendiri Toat-beng Koai-jin!

Campur tangan Suling Emas membuat pertandingan menjadi kacau-balau dan secara otomatis mereka itu masing-masing memilih lawan terdekat dan di lain saat It-gan Kai-ong sudah bergebrak melawan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni bertanding dengan Toat-beng Koai-jin, sedangkan Tok-sim Lo-tong yang kini sudah menyambar sebatang pohon itu kini menyerang mati-matian kepada Suling Emas yang baru saja membebaskannya daripada ancaman maut! Semua keadaan yang tidak tahu aturan, tidak mengenal budi, dan liar ganas seenaknya sendiri ini berjalan tanpa kata-kata.

Diam-diam Suling Emas menjadi bingung juga. Ia tidak mau terlalu mendesak Tok-sim Lo-tong karena ia tahu bahwa begitu si gundul kurus kering ini ia desak, tentu yang lain-lain akan turun tangan mengeroyok Tok-sim Lo-tong! Oleh karena inilah maka ia hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan jalannya pertandingan antara pasangan-pasangan lain. Juga ia sempat melihat bahwa banyak juga tokoh kang-ouw yang masih bersembunyi menonton, akan tetapi mereka kini tidak berani terlalu mendekati tempat itu, melainkan nonton dalam jarak yang cukup aman.

Mendadak terdengar suara “cring-cring-cring” yang amat nyaring dan menggetarkan jantung. Suling Emas kaget sekali, mengenal suara itu yang ternyata keluar dari alat musik yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni!

Betul saja Toat-beng Koai-jin yang terserang suara ini karena ia bertanding melawan Siang-mou Sin-ni, tidak kuat melawan pengaruh suara yang mengikat semangat ini, ilmu yang dicuri oleh Siang-mou Sin-ni menggunakan yang-khim milik Bu Kek Siansu. Kakek berpunuk yang liar itu tiba-tiba menjadi pucat dan terhuyung-huyung ke belakang. Tahu-tahu kedua kakinya sudah terkena sambaran rambut Siang-mou Sin-ni yang menariknya sehingga kakek liar itu terjengkang ke belakang. Seperti tadi ketika Tok-sim Lo-tong terdesak, kini mereka berempat, Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong, dan Tok-sim Lo-tong bersama Siang-mou Sin-ni serentak menyerang Toat-beng Koai-jin yang sudah roboh!

“Pengecut, tahan!”

Seru Suling Emas melompat untuk membantu Toat-beng Koai-jin. Namun terlambat karena ketika ia tiba di dekat kakek itu, sabit di tangan Hek-giam-lo telah membacok kepala, sedangkan tongkat It-gan Kai-ong sudah menusuk dada dalam detik hampir berbareng, sedangkan rambut Siang-mou Sin-ni yang terbagi menjadi dua merobek tubuh kakek itu dengan menarik kedua kaki ke kanan kiri disusul oleh hantaman balok pohon oleh Tok-sim Lo-tong. Betapapun saktinya Toat-beng Koai-jin, tubuhnya seketika menjadi remuk dan terobek-robek, hancur!

“Kejam! Kalian iblis-iblis ganas!” bentak Suling Emas yang segera mengamuk dengan sulingnya.

Saking hebatnya gerakan Suling Emas, Tok-sim Lo-tong tak dapat menghindarkan dirinya dan sekali dadanya terkena totokan suling, kakek ini pun roboh dengan nyawa putus, rohnya melayang menyusul kakaknya.

“Heh-heh-heh, Toat-beng Koai-jin menjadi anggauta ke enam karena dia mampus lebih dulu. Tok-sim Lo-tong menjadi anggauta ke lima, setingkat lebih tinggi daripada kakaknya. Lucu!” kata It-gan Kai-ong tertawa-tawa.

Hek-giam-lo hanya mendengus dan Siang-mou Sin-ni cekikikan. Kini tinggal empat orang yang masih hidup dan otomatis mereka berdiri di empat sudut, memasang kuda-kuda untuk memperebutkan kemenangan.

“Kalian iblis-iblis ganas, malam ini aku Suling Emas bersumpah hendak membasmi kalian bertiga!” seru Suling Emas.

Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali dan dia sekaligus sudah membagi-bagi serangan kepada tiga orang lawannya secara beruntun. Karena maklum bahwa tiga orang lawannya ini merupakan orang-orang terlihai dari Thian-te Liok-koai, maka dalam serangannya ini Suling Emas mengeluarkan ilmunya berdasarkan Hong-in-bun-hoat yang dahulu ia terima dari Bu Kek Siansu. Tidak saja gerakannya berdasarkan ilmu silat huruf yang hebat ini, juga ia mengerahkan tenaga Kim-kong Sin-im sehingga ketika bergerak, sulingnya mengeluarkan bunyi yang dahsyat dan menggetarkan isi dada ketiga orang lawannya.

Hebat sekali gerakan Suling Emas ini, sulingnya berubah seperti halilintar menyambar, sinarnya menyilaukan mata para lawannya, apalagi dibarengi suara melengking tinggi itu, benar-benar mengejutkan lawan yang sambil memekik mereka melompat mundur dengan gerakan mempertahankan diri. Mereka selamat dari penyerangan pertama ini, namun tidak urung mereka merasa gentar juga dan jantung mereka berdebar-debar.

Tiga orang iblis ini adalah orang-orang yang cerdik dan licik. Maklumlah mereka bahwa pendekar muda ini benar-benar tak boleh dibuat main-main, kepandaiannya meningkat hebat semenjak pertemuan terakhir. Oleh karena itu, kini pendirian mereka pun berubah. Mereka tidak mau saling serang antara kawan sendiri dan bermaksud menggabungkan tenaga tiga orang untuk menghadapi Suling Emas.

Tanpa kata-kata, tiga orang iblis ini sudah bersepakat dalam hal ini, maka otomatis mereka melakukan gerakan menyudut dan mengurung Suling Emas dari sudut segi tiga.

Rambut yang hitam halus dan panjang dari Siang-mou Sin-ni melebar tegak lurus seperti duri landak, penuh tenaga dan siap dipergunakan, sedangkan alat musik khim yang berada di tangan kanannya diangkat ke atas kepala, digerak-gerakkan perlahan untuk mengubah-ubah posisi, mencari kesempatan yang baik, wanita yang cantik ini sekarang kelihatan mengerikan dan agaknya pantas kalau mulutnya yang menyeringai itu diberi tambahan caling di kanan kiri, seperti gambar siluman betina yang haus akan darah manusia.

Hek-giam-lo juga berdiri dengan siap, kedua kakinya terpentang lebar, kokoh kuat, mukanya yang berkedok tengkorak amat mengerikan karena dari lubang di bagian matanya berjelalatan, sabit yang tajam berkilau diangkat tinggi ke atas, terkena sinar bulan berkeredepan menyilaukan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorong lurus ke depan, seperti tangan setan hendak mencengkeram korbannya.

Yang paling menjijikkan adalah It-gan Kai-ong. Kakek raja pengemis ini berdiri agak terbongkok, kedua kakinya ditekuk rendah bagian lututnya, tongkat bututnya melintang di depan dada, matanya yang tinggal sebelah itu merah terbelalak tak pernah berkedip, mulutnya agak terbuka dan air liurnya menetes-netes dari ujung kanan.

Suling Emas yang terkurung di tengah-tengah tampak tenang-tenang saja. Lenyap sudah kerut merut kemarahan dari mukanya. Memang pendekar sakti ini sudah berhasil menghalau nafsu marah di hatinya dan inilah syarat utama bagi seorang pendekar silat, yaitu tidak boleh sekali-kali dipengaruhi nafsu perasaan di hatinya.

Ia berdiri dengan kuda-kuda biasa, kaki kiri diangkat ke atas dengan lutut ditekuk, kaki kanan berdiri di ujung jari kaki, suling di tangan kanan melintang di depan kening, tangan kiri memegang kipas biru yang bergerak-gerak, tertutup terbuka, perlahan-lahan tanpa mengeluarkan bunyi, sepasang matanya tidak memandang ke mana-mana, seakan-akan memandang ujung hidungnya sendiri seperti keadaan seorang dalam samadhi, namun seluruh urat syarafnya telah “dipasang” dan panca inderanya mengikuti gerak-gerik tiga orang lawannya.

Sunyi hening di saat itu. Empat orang itu seperti patung-patung mati, bahkan pernapasan mereka pun tidak terdengar. Jengkerik dan walang yang biasanya ramai berdendang menghias kesunyian puncak, kini berhenti seakan-akan mereka ikut nonton dengan penuh ketegangan dan kecemasan, seperti para tokoh kang-ouw yang sembunyi sambil menonton di sekeliling tempat itu. Tiba-tiba empat “patung” itu bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata biasa, disertai suara-suara mengejutkan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar