Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap.
“Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?"
Biarpun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.
“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang kesini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.”
Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong.
“Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!”
Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu.
Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping. Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini, pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!”
Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya. Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatan-loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapapun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing.
Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapapun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu.
Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah. Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya “terbuka” dan tidak terlindung.
Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka, karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan “menyedot” sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada, tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa.
Akan tetapi, karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas daripada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar! Pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?”
Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya.
“Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong, kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh, keduanya tidak main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya.
Adapun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!”
Tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek, dan pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi, dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan.
Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah “lubang” dan hal ini berbahaya.
Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biarpun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya.
Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek. Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapapun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja.
Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak. Memang harus diakui bahwa fihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal!
Di lain fihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sin-kangnya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apalagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!”
Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan.... air itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan “ilmu” meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa....!”
“Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?"
Biarpun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.
“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang kesini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.”
Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong.
“Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!”
Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu.
Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping. Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini, pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!”
Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya. Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatan-loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapapun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing.
Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapapun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu.
Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah. Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya “terbuka” dan tidak terlindung.
Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka, karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan “menyedot” sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada, tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa.
Akan tetapi, karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas daripada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar! Pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?”
Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya.
“Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong, kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh, keduanya tidak main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya.
Adapun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!”
Tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek, dan pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi, dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan.
Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah “lubang” dan hal ini berbahaya.
Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biarpun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya.
Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek. Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapapun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja.
Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak. Memang harus diakui bahwa fihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal!
Di lain fihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sin-kangnya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apalagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!”
Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan.... air itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan “ilmu” meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa....!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar