FB

FB


Ads

Rabu, 26 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 100

Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justeru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa-dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.

Akan tetapi, para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran dan tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.

“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”

Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun.

Melihat cara pedang bersinat putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli Sin-kang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedang itu tiap kali sinarnya menyambar.

“Kau siapakah, Nona?”

“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga berhasil mewarisi gin-kang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.

Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur.
“Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”

“Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”

Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apalagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi, kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?

“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!”

Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.

“Maafkan aku!”

Setelah berkata demiklan, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.

Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.

“Ayah, cukupkah darah ini....?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.

“Dia sudah terluka!”

“Hayo kejar, dia sudah terluka!”

Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga sudah ikut mengejar.

Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas.

Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya. Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan. Diantara senjata-senjata gelap itu yang terdiri daripada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah “senjata rahasia” yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!

Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya.

Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan. Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain.

Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi.

Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh!

Ia amat mengagumi gin-kang gadis itu, karena biarpun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.

Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.

**** 100 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar