FB

FB


Ads

Sabtu, 11 Mei 2019

Suling Emas Jilid 165

"Wah, ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis.

"Jangan! mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kananya yang tidak terluka untuk mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis itu!"

Suara Yu Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa pengemis kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh Liong-lokai, mereka lalu mundur. Yu Kang mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring.

"Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi kami membunuh iblis ini?"

Suling Emas menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur, bahkan sebuah daripada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka yang mengerikan! Andaikata dapat hidup terus tentu menjadi seorang yang cacad mukanya.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biarpun dia roboh oleh kalian, akan tetapi lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian kira akan dapat dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku merasa seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih baik mati daripada hidup. Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam pengeroyokan dan pembunuhan begini curang."

Sejenak Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.

"Kawan-kawan! Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada Si Jahat Pouw agaknya diantara kita akulah yang paling parah. Akan tetapi aku puas melihat dia kini dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya sesuai dengan permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah bahwa mulai detik ini kita terbebas daripada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kai-ong!"

Ratusan orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru,

"Hancurkan pengemis baju bersih!"

"Angkat Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!"

"Mari saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk membasmi pengemis baju bersih!"

Sorak-sorai makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak kuasa lagi mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa orang pengemis tua yang tinggal untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.

Suling Emas berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang biarpun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi penindas dan memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu kang, satu-satunya pengemis yang boleh diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri daripada penindasan orang-orang jahat.

Setelah semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga disitu sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik napas panjang, lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang masih pingsan itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu.

Belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari belakang. Ia kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa orang wanita cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya.






Biarlah, biar mereka itu merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan, menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat Pouw-kai-ong menjadi bertobat.

Suling Emas melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar percakapan rakyat yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya ia memasuki pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin gembira.

Ketika pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul suhunya, ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.

Akan tetapi kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa Suma Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya dan dua orang anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!

Hancur hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini, Suling Emas meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh berderai. Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan mukanya diantara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya.

Habislah sudah harapannya. Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya direnggut laki-laki lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya, mungkin sudah mati karena tidak pernah ia mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan teman dalam hidupnya?

Kakeknya! Ya benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau ibunya juga pulang kesana? Selain menghubungi keluarga yang terdekat dan masih ada, juga ia maklum bahwa disana ia akan dapat banyak belajar untuk memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong dengan penuh kagum.

Setelah duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan perubahan wajah pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.

Tiba-tiba ia meloncat bangun dan menyelinap cepat, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di pinggir jalan. Biarpun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun naluri kependekarannya tak pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok bayangan yang berlari-lari keluar dari kota raja, menimbulkan kecurigaannya sehingga ia cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.

Tiga orang yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap. Suling Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon melihat seorang nenek dan dua orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan kain kuningan dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua ini, akan tetapi dimana ia pernah bertemu. Akan tetapi begitu mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.

"A-liong, kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar lagi," kata Si Nenek Tua.

"Betul ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebar daripada kami berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti maling."

"Ihh..., aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?"

Bentak nenek itu sambil menyerahkan bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut A-liong.

Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas ini, akan tetapi karena "kalah suara" ia menerima juga bungkusan itu. akan tetapi begitu bungkusan itu dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.

"Eh-eh, kau apakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kau sentuh lalu menangis!" kata Si Nenek Tua mengomel.

"Wah, celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan," kata A-kwi. "Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang kematian ayah bundanya?"

Namun A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan bungkusan itu kembali kepada Sam Hwa sambil berkata,

"Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus tanganmu, Sam Hwa."

"Cihh! Omongan tua bangka tak bermalu!"

Kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.

"Ha-ha-ha! Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras sehingga anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.

Suling Emas mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut "pangeran cilik" yang harus diantarkan kepada Ong-ya!

Keonaran apalagi yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu dari dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh. Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.

Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenaga sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar.

Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala.

Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang, bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring daripada tadi!

"Kembalikan anakku...!"

Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!

A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Kurang ajar, berani sekali kau merampok anak orang di tengah jalan?"

Suling Emas tersenyum mengejek.
"Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, sesungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu di dalam istana."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar