"Aku hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan hendak membunuhku!"
Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Nah, kau keluarkan suling emas itu cepat-cepat!"
Bu Song mendongkol sekali.
"Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.
Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri.
Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan).
Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki.
Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!"
Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat!
Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!"
Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum.
"Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu.
Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan.
Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!"
Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling!
Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengah sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling.
Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kau ajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,
"Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat. "Coba kau beritahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman.
Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!"
Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran.
"Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala.
"Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar.
"Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kau perdengarkan, akan kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas dan jatuh ke tanah.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Nah, kau keluarkan suling emas itu cepat-cepat!"
Bu Song mendongkol sekali.
"Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!" jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu Song.
Dari tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri.
Biarpun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan).
Empat ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah, kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil memaki-maki.
Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau... memang kau seorang manusia luar biasa!"
Sambil bicara kakek pendek itu melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat!
Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!"
Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang, terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia memandang kaget dan kagum.
"Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu.
Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan jari tangan.
Kembali Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat ini!
Pertandingan kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa. Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin berciutan.
Namun, lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!"
Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling!
Bu Song terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengah sedikit saja tentu matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad. Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya. Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu, akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling.
Beberapa kali ia berusaha meniup, bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii, hayo kau ajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,
"Bu Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha, begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song mendekat. "Coba kau beritahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song memberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku, bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman.
Lebih dua jam kakek itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung, hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik dihancurkan!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe, jangan...!"
Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang!
Kakek itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe, harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang akan rahasia suling.
Tangan yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran.
"Kau tahu pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song menggeleng kepala.
"Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar.
"Bagaimana bunyinya? Hayo perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe, syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh, boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kau perdengarkan, akan kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar