Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang keluar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi kemana kalian?”
Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela,
“Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”
Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!”
Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok.
Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apalagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya ke dua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!
“Roboh dia....!”
Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berfihak mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan.... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di fihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata.
“Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti dia....!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin.
Ketiganya cepat meloncat keluar pula dan menyusup diantara banyak orang yang berkumpul dan menonton diluar rumah makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?”
Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan disitu banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus.
“Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela,
“Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”
“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas.
“Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berfihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut kening Lin Lin.
“Sin-ko, kau berfihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin tersenyum.
“Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berfihak kepada wilayah sendiri, bukan?”
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa,
“Cici, kalau ada apa-apa terjadi kepadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar, ketika masuk lagi wajahnya berubah.
“Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi, suami isteri itu.”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu kemana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan daripada tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan “pensiunan” yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi kemana kalian?”
Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela,
“Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”
Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!”
Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok.
Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apalagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya ke dua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!
“Roboh dia....!”
Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berfihak mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan.... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di fihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata.
“Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti dia....!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin.
Ketiganya cepat meloncat keluar pula dan menyusup diantara banyak orang yang berkumpul dan menonton diluar rumah makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?”
Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan disitu banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus.
“Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela,
“Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”
“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas.
“Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berfihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut kening Lin Lin.
“Sin-ko, kau berfihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin tersenyum.
“Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berfihak kepada wilayah sendiri, bukan?”
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa,
“Cici, kalau ada apa-apa terjadi kepadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar, ketika masuk lagi wajahnya berubah.
“Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi, suami isteri itu.”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu kemana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan daripada tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan “pensiunan” yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar